Ahok, Simbol Deparpolisasi Demokrasi ?

Abd Hanan.jpgOleh :
Abd Hannan
Peneliti sekaligus Akademisi Sosial, aktif  sebagai Mahasiswa Pascasarjana pada jurusan Master of Sociology, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Istilah deparpolisasi belakangan ini menjadi perbincangan hangat dibanyak kalangan, Mulai dari media, pengamat, hingga pakar politik. Berkembangnya dikursus tersebut dipicu oleh respon PDIP atas sikap Gubenur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebagaimana isu yang mencuat belakangan ini, Ahok memastikan dirinya kembali maju dalam pilgub mendatang melalui jalur perseorangan (independen).
Sikap berani Ahok melalui dukungan ratusan ribu simpatisan warga Jakarta yang mengatasnamakan Teman Ahok (TA) memicu lahirnya beragam respon.Tak sedikit pihak dibuatnya terhentak. Salah satu diantaranya datang dari orang penting sekaligus politisi ulung, pimpinan partai penguasa sekarang, PDIP, Megawati Soekarnoputri.  Ketua umum partai berlambang Banteng Moncong Putih itu langsung mengadakan rapat konsolidasi, dimana dalam rapat tersebut Megawati mengintruksikan kadernya melawan bentuk deparpolisasi.
Perlawanan terhadap deparpolisasi sebagaimana diinstruksikan oleh Megawati, jelas merupakan sikap refleks Parpol, dalam hal ini PDIP yang menilai pencalonan melalui jalur perseorangan (independent) sebagai bagian pengurangan peran Parpol dalam proses demokratisasi Indonesia, khusunya menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Sikap PDIP yang reklektif ini sontak memunculkan beragam spekulasi. Mungkinkah sikap ‘resitensi’ mereka sejauh ini tidak lain adalah bentuk luapan kekecewaan lantaran gagal ‘meminang’ Ahok dalam bursa kontestasi Pilkada DKI pada tahun mendatang? atau barangkali merupakan bentuk kegusaran atas ketidakberdayaan mereka, jika harus  melawan kekuatan Ahok effect?
Sebagai warga yang arif tentu kita tidak ingin terperangkap jauh dalam spekulasi di atas. Benar atau tidaknya tak perlu kita telusuri. Hal paling urgen adalah ketika isu deparpolisasi diangkat ke permukaan public, maka muncullah segudang pertanyaan mendasar yang perlu di renungkan bersama. Kalau memang benar pencalonan jalur independent Ahok adalah  sebuah deparpolisasi. Maka, pertanyaan besarnya adalah, siapa yang memiliki kekuatan sedemikian besar sehingga bisa menghilangkan peran Parpol, baik dalam pilkada maupun sistem demokrasi? Apakah Teman Ahok? Atau, Ahok? Atau, malah jangan-jangan partai politik itu sendiri?
Sikap Bunuh Diri ?
Apa yang digambarkan sebagai deparpolisasi demokratisasi Indonesia, secara tidak langsung telah membuka ‘aib’ Parpol itu sendiri. Terlebih wacana ini disematkan terhadap seorang Ahok yang memutuskan berkompetisi tanpa jalur kepartaian. Jelas, dalam perundangan Pemilihan Kepala Daerah, pencalonan melalui jalur perseorang sudah diatur, dan sah secara konstitusional. Karenanya, mutlak tidak dapat dibenarkan jika masih mau diperdebatkan, apalagi dipermasalahkan. Dengan demikian, adalah suatu kesalahan besar manakala sikap Ahok dinilai sebagai pengurangan peran Parpol.
Sepantasnya, elit partai politik sadar bahwa deparpolisasi yang sesungguhnya muncul dari perilaku parpol sendiri, yang selama ini tidak sepenuhnya konsisten dengan ADRT mereka selaku pilar demokrasi. Inkonsistensi tersebut melahirkan ketidakpercayaan (distrust) publik, yang memandang parpol tidak dapat menjalankan fungsi dan peran secara baik dan benar sebagai mana tertuang dalam perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (pasal 11) disebutkan, bahwa  sebuah partai politik haruslah berfungsi sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. Selain itu, Parpol juga harus mampu mendudukan diri sebagai sebuah isntitusional yang menularkan iklim kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi tergapainya kesejahteraan masyarakat secara kolektif dan menyeluruh. Pertanyaan selanjutnya, apakah partai-partai politik telah melaksanakan fungsi dan perannya sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang di atas?
Dalam konteks pertanyaan itulah kita membaca, pelontaran deparpolisasi kontestasi Ahok dalam perburuan tampuk kekuasaan DKI sebenarnya merupakan sikap blunder (elit) parpol. Public pun dapat memahami bahwa keputusan ahok untuk bertarung secara perseoarang merupakan upaya dirinya menghindari kejaran dan sandera  partai politik, yang sejauh ini tidak begitu mendapat sambutan hangat di hati masyarakat. Karenanya, jalur independen adalah sebuah jalan alternative ketika sebuah institusionalisasi politik mengalami disfungsi. Bukan sebuah pengurangan, apalagi pemandulan peran partai politik.
Lakukan Intropeksi
Munculnya tudingan pemandulan peran partai oleh Ahok beserta relawannya, Teman Ahok (TA), barangkali harus secepatnya diakhiri dan sesigap mungkin diredam. Jika seterusnya dibiarkan bergulir, perang wacana dalam ini hanya akan menimbulkan kegaduhan yang bisa berefek buruk bagi stabilitas sosial ekonomi  dan politik.
Karena itu, alangkah baiknya jika semua partai politik bergegas diri, melakukan persiapan  dan perbaikan secepat mungkin. Paling tidak, dalam jangka pendek mereka harus menyiapkan strategi  jitu untuk bisa mengimbangi kekuatan Ahok effect. Syukur-syukur jika sampai bisa mengalahkan. Menyiapkan kader terbaik, jika perlu lakukan sayembara ke seluruh daerah, menjaring pemimin-pemimpin hebat yang memiliki selling point di mata publik. Karena sebagaimana kita tahu, kursi kepemimpinan Jakarta merupakan daerah strategis yang dapat menentukan arah politik nasional.
Dalam kebutuhan jangka panjang parpol dituntut melakukan pembenahan diri, perbaikan atas segala bentuk perilaku, fungsi, dan peran mereka. Baik itu dalam hal komunikasi politik, rekrutmen politik. Utamanya menyangkut system pengkaderan. Dengan melakukan perbaikan seperti ini, diharapkan parpol akan melahirkan calon pemimpin kredibel, berintegritas, dan kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan public.
Kesimpulannya, deparpolisasi seperti yang digembar-gemborkan oleh kebanyakan Parpol tidak lain adalah perasaan anomie atas keberadaan diri mereka yang tidak sejalan dengan hati nurani rakyat. Ketika perilaku mereka tidak seirama dengan rakyat, maka jangan harap rakyat akan memberi ruang. Sebaliknya, rakyat akan menjauh, rakyat akan menutup pintu, melancarkan protes nyata dan menciptakan alternatif-alternatif di luar keterlibatan Parpol. Jalan inilah yang saat ini sedang di tempuh oleh Ahok bersama para relawannya.

                                                                                                            —————- *** —————-

Tags: