Aktivitas BPLS Makin Liar di Kedung Bendo

LapindoSidoarjo, Bhirawa
Ketegangan antara petugas keamanan dengan korban Lumpur Lapindo di wilayah PAT (Peta Area Terdampak) mestinya bisa dihindari, bila pemeritah mematuhi aturan hukum (Mahkamah Konstitusi) yang memutuskan sisa pembayaran di PAT wajib ditanggung pemerintah.
Anggota Komisi V DPR RI, H Sungkono, Sabtu (13/12) di depan Lorban Lapindo di tanggul titik 42, Porong, mengingatkan soal kewajiban pemerintah membayar itu sudah berpayung hukum. MK sudah mengeluarkan keputusan itu sejak 6 bulan lalu. Masyarakat sudah 8 tahun menunggu penyelesaian itu dan hukum menjadi harapan yang ditunggu selama ini. Kenyataannya walaupun sudah ada putusan hukum final, namun eksekusi tak pernah ada.
Sungkono bisa memahami kekewaan korban di PAT yang melarang aktifitas BPLS di lahan milik mereka, sebelum ada penyelesaian tanah mereka dibayar. Masyarakat sudah terlalu lelah menunggu dan bahkan lahannya yang sudah tenggelam oleh lumpur dijadikan aktifitas penanggulan oleh BPLS (Badan Pengendali Lumpur Sidoarjo). Kalau tak segera mendapat penyelesaian, ketegangan antara BPLS, korban dan aparat keamanan dikuatirkan akan menjurus ke tindakan anarkis.
Sungkono mengajak korban untuk menjauhkan sikap anarki. Bersabar untuk mengalah sambil melakukan iktiar dan upaya mendapat pembayaran. Dia mempertanyakan, korban yang berada di PAT seharusnya mendapat prioritas pembayaran. Kenyataannya tak demikian, justru warga yang jauh dari PAT dibayar dulu. Sedangkan korban di PAT yang belum dibayar mencapat nilai Rp1,4 triliun.
Diskriminasi bukan saja membedakan antara korban di PAT maupun di luar PAT, bahkan di PAT juga dibedakan yakni antara korban masyarakat biasa dan pengusaha. Di lokasi PAT itu pernah berdiri puluhan pabrik, mereka juga menjadi korban. Korban masyarakat biasa belum dibayar Rp783 miliar, sisanya menjadi keharusan yang harus dibayarkan kepada pengusaha belum dibayar. ”Pengusaha itu juga korban, kenapa harus dibedakan,” tanyanya.
Sungkono berjanji akan membuka akses bagi korban untuk berbicara dan mengadu ke komisi V, bulan depan dilakukan pertemuan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo dengan komisi V DPR RI. Selama ini dalam pertemuan di Jakarta, korban tak bisa diberi akses bicara. Hanya boleh mengikuti rapat, tapi tak diizinkan bicara. ”Ini kan aneh, padahal warga sebagai penderita tak diberi kesempatan berbicara,” ujarnya. Bila warga diberi kesempatan bicara kemungkinan keluhannya akan diperhatikan.
Sebagai anggota baru DPR RI dari Sidoarjo, ia berjanji dalam forum rapat di DPR RI dengan Menteri PU dan Pansus DPRD Sidoarjo, akan membuka ruang korban untuk berbicara. Ia berkeyakinan bila ada niat baik pemerintah untuk menyelesaikan pembayaran, bisa diusulkan dalam MPAK APBN 2015. Ia yakin bila pemerintah membayar talangan Rp1,4 triliun, sudah dengan sendirinya keteganan di sekitar tanggul hilang dengan sendirinya. ”Toh nanti pemerintah bisa menagih ke PT Lapindo Brantas,” ujarnya
Sementara itu, aktifitas BPLS dalam menanggulangi aliran lumpur di desa Kedung Bendo, Kec Tanggulangin semakin liar. Lumpur dibuang melalui Sungai Ketapang, namun akhirnya lumpur itu dikeruk dan dibuang di tepi jalan kabupaten. Di daerah Kedung Bendo (utara pusat semburan), itu lumpur hasil kerukan dari sungai Ketapang berceceran ke jalan saat hujan. Lumpur yang seharusnya diarahkan pembuangannya ke selatan, kali ini juga mengalir ke utara. Suasana di Kedung Bendo, juga sedikit mencekam, setelah petugas kepolisian membangun tenda barak untuk mengawal peninggian tanggul oleh BPLS. [hds]

Tags: