Amerika Shut Down

Foto Ilustrasi

Rezim presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, tetap melakukan unjukrasa, menutup sebagian layanan. Pemerintah AS gagal meyakinkan kalangan senat dari partai Demokrat tentang pembangunan tembok batas negara dengan Meksiko, senilai US$ 5 milyar. Alasan senat, tembok pembatas merupakan aksi nyata “pelanggaran HAM.” Juga tidak ada negara di seluruh dunia membuat tembok pembatas, walau dalam suasana perang.
Trump memecahkan rekor American Shut Down, selama 22 hari. Pemerintahan Trump memutuskan untuk tak buka kantor sejak jelang Natal 2018. Biasa disebut sebagai Amerika “Shut-down.” Penutupan kantor pemerintah merupakan balasan. Sebelumnya, parlemen di DPR dan Senat gagal menyepakati program pembangunan tembok. Karena konon, AS telah memiliki undang-undang memberlakukan imigran.
Namun imigran juga membawa masalah. Termasuk menjadi agen narkoba. Pembangunan tembok pembatas negara (dengan Meksiko), merupakan “puncak” kekesalan Trump terhadap program Deferred Action for Child-hood Arrivals (DACA). Program imigran anak-anak, digagas oleh Barack Obama, serta diperluas pada tahun 2014. Konon, secara ke-ekonomi-an DACA menguntungkan AS.
Banyak sektor pekerjaan “yang tidak disukai” bisa ditangani oleh imigran. Upah yang baik terhadap pekerja imigran (yang semula pendatang haram), menyebabkan perekonomian keluarga meningkat. Begitu juga derajat kesehatan keluarga imigran. Anak-anak imigran juga bisa sekolah sampai tingkat menengah. Kini ditaksir terdapat sekitar 700 ribu imigram memperoleh perlindungan program DACA.
Namun pada tahun 2017, pemerintah Trump ingin menghapus program DACA. Karena “pemeliharaan” warga miskin cukup menguras belanja negara. Sampai ditunda beberapa kali, toh tiada Pengadilan di negara bagian AS yang menutup program DACA. Sehingga imigran semakin kerap berdatangan dari kawasan tetangga. Tak terkecuali, yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Juga berpotensi meningkatkan kejahatan (kriminal) jalanan.
American Shut Down, bukan tidak berisiko. Bahkan bisa memiskinkan pegawai pemerintahan. Karena lebih dari 420 ribu karyawan bekerja tanpa bayaran, dan 380 ribu lainnya diliburkan. Boleh jadi akan terjadi demo anti-Shut Down. Namun walau berisiko, pemerintah AS telah sering melakukan aksi unjuk rasa (Shut Down). Terutama, manakala gagal ber-nego dengan parlemen maupun senat tentang program yang dibiayai APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) AS.
Pemerintahan Jimmy Carter, juga melakukan Shut Down. Masalahnya, Senat AS tidak setuju meng-ongkosi seluruh biaya aborsi (medic-aid). Kecuali jika jiwa ibu terancam. Tetapi Carter, ingin semuanya dibiayai negara. Pada kasus yang sama, Carter mengulang American Shut Down, sampai tiga kali. Berakhir 12 Oktober 1979. Sekaligus menaikkan gaji DPR sebesar 5,5%.
Presiden Ronald Reagen, paling doyan Shut Down. Sampai tujuh kali. Tapi tak pernah lama, rata-rata hanya selama 3 hari. Yang paling lama pernah dilakukan Reagen selama 5 hari (sampai 21 Desember 1982). Karena DPR menolak meng-ongkosi “perang dingin” antara Reagen melawan Uni Soviet. Sejarah kelak mencatat, gagasan Reagen mem-porak-porandakan Uni Soviet, merupakan ide sangat brilian yang pernah dibuat oleh presiden AS.
Begitu pula presiden George W Bush, Clinton, hingga Barack Obama. Lazim melancarkan American Shut Down. Bahkan Obama pernah membatalkan kunjungannya ke Indonesia untuk meyakinkan DPR-nya tentang pentingnya UU Kesehatan wong cilik. Undang-Undang ini meliputi tambahan biaya kesehatan untuk sekitar 9 juta jiwa warga miskin Amerika yang belum memiliki jaminan pertanggungan kesehatan.
Beda negara, beda bangsa, beda pula altar (dan kebiasaan) politiknya. Di Indonesia, presiden tidak dapat melakukan shut down. Perbedaan antara parlemen dengan pemerintah, biasanya diselesaikan dengan musyawarah. Walau sering berujung protes (kritisi) parlemen.

——— 000 ———

Rate this article!
Amerika Shut Down,5 / 5 ( 1votes )
Tags: