Ancam Pemulihan Pendidikan, Tolak PPN

Ketua PGRI Jatim, Teguh Sumarno

Surabaya, Bhirawa
Rencana pemerintah untuk mengenalan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada sektor pendidikan atau sekolah memantik penolakan keras dari berbagai stakeholder pendidikan.
Sebab dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR tersebut, sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, sektor pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan.
Penolakan tersebut, diungkapkan Ketua PGRI Jatim, Teguh Sumarno. Menurutnya, sektor pendidikan pada prinsipnya bertujuan untuk peningkatan mutu dalam rangka kesejahteraan merupakan tanggung jawab negara. Dengan kata lain, sektor pendidikan menjadi beban negara.
“Sehingga apa yang dilakukan (dalam peningkatan mutu) pendidikan, harus disupport pemerintah. Pendidikan harus berkualitas, dan harus menjadi istimewa,” ujar dia, Rabu (16/6).
Oleh karenanya, Teguh menyarankan agar pemerintah jangan mengganggu kondisi pendidikan yang sudah dibenahi. Meski masih menjadi rencana, Teguh mengatakan jika hal tersebut tentu saja membuat situasi yang tidak nyaman dikalangan masyarakat dan para stakeholder pendidikan.
“Kami berkeinginan, jika negara butuh anggaran dan dana, gunakan instrumen lain. Misalnya dari perusahaan-perusahaan besar atau barang-barang merah. Jangan justru membebani masyarakat dengan pajak pendidikan. Ini yang perlu diperhatikan pemerintah,” tegasnya.
Apabila revisi UU KUP dipaksakan disahkan, Teguh khawatir akan berdampak buruk pada tatanan kepentingan kehidupan masyarakat, khususnya di sektor pendidikan. “Karena Indonesia negara hukum, mestinya partisipasi publik menjadi jaminan. DPRI-RI jangan gegabah. Diskusikan dulu (kebijakan revisi UU KUP) dengan PGRI, NU, Muhammadiyah yang paham pendidikan. Akan kita bersama bisa fokus berbenah disektor pendidikan,” terangnya.
Jika diskusi tidak bisa dijalankan, dan terpaksa disahkan, Teguh berujar jika pihaknya akan mendialogkan kebijakan tersebut ke mahkamah konstitusi. “Standart mutu saja harus melalui standart pembiayaan. Jadi tidak boleh masyarakat dibenani dengan hal-hal seperti ini. Jika PPN Pendidikan dilakukan akan ada efek domino. Rakyat akan menjadi tidak nyaman dengan pemerintah,” tegasnya.
Penolakan keras juga disampaikan Kepala SMA Muhammadiyah X Surabaya (SMAMX), Sudarosman. Ia menilai sektor pendidikan telah disibukkan dengan berbagai pembiayaan untuk peningkatan sarana prasarana sekolah. Karenanya, seharusnya kebijakan tersebut bisa disiasati dengan ketentuan lain.
“Bagi sekolah (swasta) kita akan susah mendapatkan siswa dan meningkatkan kualitas sekolah. Kita sering berhitung cash-flow. Pendapatan kita prosentasenya juga naik turun berdasarkan orangtua melakukan pembayaran. Tidak sedikit orangtua juga melakukan pembayaran secara mengangsur. Ini akan butuh administrasi lagi,” ujar dia.
Sebab, untuk sekolah swasta di SMA yang dipimpinnya misalnya, besaran SPP lebih banyak diperuntukkan untuk gaji guru dengan prosentase 60 persen. Sedangkan 40 persen lainnya di fokuskan pada pembangunan sarana prasaran sekolah.
Belum lagi, jika benar diterapkan maka banyak siswa yang akan putus sekolah. Orangtua akan disibukkan dalam perhitungan pembayaran pendidikan, bukan pada kualitas pembelajaran. “Lebih baik pemerintah memberikan bantuan kepada kita (jasa pendidikan) dalam peningkatan kualitas,” pungkasnya.
Sementara itu, menurut Pengamat Pendidikan Rasiyo banyak masyarakat menyebut sejatinya rencana penarikan pajak pendidikan atau sekolah kurang jelas. Sebab, selama ini sekolah sudah membayar pajak saat belanja kebutuhan sekolah dan biaya operasional lainnya yang semuanya telah dikenakan pajak.
“Pengenaan pajak sekolah yang dimaksud (pemerintah) ini belum rasional. Apalagi selama inu nasyarakat membutuhkan keberadaan sekolah gratis dan berkualitas. Jika dibebani dengan pajak, mereka akan semakin kesulitan dalam mengakses pendidikan. Padahal ini (pendidikan) menjadi hak warga negara Indonesia,” tegasnya. [ina]

Rate this article!
Tags: