Antara Membeli, Membaca, dan Mengoleksi Buku

Oleh:
M. Fakhruddin Al-Razi
Penulis adalah mahasiswa rantau asal Madura yang sedang mukim di kota Malang

Ada orang yang suka baca sekaligus menumpuk buku, ada pula yang hanya suka membaca namun kurang suka menumpuk atau membeli dan mengoleksi buku. Keduanya mungkin sama-sama bisa kita katakan baik. Tapi bagaimana bila ada orang yang hanya suka membeli buku dan menumpuknya, tapi kurang suka membaca? Pastinya, yang paling buruk di antara semuanya adalah orang yang ke-4, yaitu orang yang tidak suka membaca pula tidak suka membeli, apa lagi menumpuk buku.
Bila dikategorikan, bisa jadi saya termasuk golongan orang yang ke-3. Saya suka membeli dan menumpuk buku tapi kurang hobi membacanya. Mungkin hanya sesekali saya akan membaca buku-buku yang saya beli namun tidak sampai tuntas. Bahkan ada beberapa buku yang hanya saya buka-buka, melirik-lirik penampakan beberapa halaman, menciumi aroma kertasnya, sudah itu saja. Tak ada satu gagasan atau bahkan satu paragraf pun yang saya baca. Bila ada pun itu hanya tulisan yang ada di bagian belakang sampul.
Barangkali sejumlah orang atau bahkan pembaca sendiri juga merasakan kondisi yang sama. Membeli buku menjadi sebuah kesenangan tersendiri sehingga walau tidak sepenuhnya membaca isi buku yang dibeli kita dengan sendirinya akan membeli buku lagi. Bosan dengan penampakan buku yang lama, kita akan membeli buku lagi dan terus membeli buku.
Membeli buku menjadi suatu perilaku yang dipandang bermartabat dan akan memberi nuansa akademis walau sekilas memang berkesan konsumtif. Sebab jika dibayangkan antara orang yang pergi ke mall dan toko buku keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan sesuatu. Dalam bahasa yang lebih sinis kita menyebutnya “hanya untuk mengkonsumsi belaka” dan setiap hal yang berbau konsumtif orang-orang akan memberinya label hedonistik. Tapi berbeda dengan orang yang membeli buku.
Palabelan berbeda (lebih akademis, bermartabat, atau lain-lain) terhadap orang yang membeli buku bukan tanpa alasan. Bila dipikir-pikir kembali, memang iya beli buku memiliki sisi konsumtif, akan tetapi di balik kekonsumtifannya itulah sebenarnya sisi pruduktif buku tersirat yang dalam hal ini maksudnya adalah memproduksi informasi dan pengetahuan dengan cara mengkonsumsi buku. Oleh karena itu, orang yang berjalan ke toko buku akan lebih mendapat persepsi positif daripada orang yang pergi ke mall.
Hobi membeli dan menumpuk buku walau tidak membaca sepenuhnya akan membawa kita pada perilaku mengoleksi buku. Karena sudah banyak buku yang kita beli itu kemudian orang akan menyebut kita sedang mengoleksi buku. Saya sendiri pun juga sedang mengoleksi buku. Buku-buku yang sedang saya koleksi adalah buku-buku sastra yang meliputi kumpulan puisi, cerpen, atau esai-esai. Seperti yang saya tadi tuturkan tadi bahwa dari sejumlah buku yang saya kolesi tidak satu pun buku yang saya baca sampai tuntas. Saya hanya suka mengoleksinya, suka memiliki buku. Setiap bulan setidaknya uang yang diberikan oleh orang tua saya sisihkan beberapa ribu untuk membeli minimal satu buku sastra yang akan menambah daftar koleksi.
Namun, ada hal yang sampai bisa membuat saya sedikit sakit hati (untuk tidak mengatakan tersinggung) dari komentar orang-orang tentang hobi mengoleksi buku ini. Seolah mereka sinis pada saya dan mengatakan bahwa membeli lebih-lebih mengoleki tanpa tuntas membacanya adalah perbuatan yang percuma dan tidak menguntungkan. Dengan narasi sederhana mereka akan mengatakan: “Buat apa beli buku kalau tidak dibaca?” atau dengan narasi sinis yang lebih tinggi lagi semisal: “Kamu ini beli buku terus tapi tak pernah khatam satu buku trus buat apa!?” dan narasi-narasi semacam. Intinya mereka mengatakan bahwa buku tanpa dibaca adalah sesuatu yang tidak berguna.
Ada lagi sebuah ungkapan populer yang mengatakan bahwa orang yang membawa buku tanpa dibacanya sama seperti keledai yang dipunggungnya sedang membawa setumpukan kitab. Penyamaan ini saya rasa sudah menjadi ungkapan yang turun-temurun dan banyak dipegang teguh oleh sejumlah orang. Ungkapan ini juga saya rasa akan berlaku pada orang yang membeli, mengoleksi, dan menyimpan buku tanpa membacanya. Seolah orang yang tidak sedang membaca buku sama saja seperti hewan. Menurut saya pribadi itu pun masih mending daripada tidak berteman dengan buku sama sekali.
Saya yang mempunyai hobi mengoleksi buku jadi semakin sakit hati bila ada orang yang bicara demikian. Namun untuk membantahnya secara langsung saya kira akan menjadi percuma juga pada akhirnya. Untuk menutupi dan ngapusi sakit hati saya ini ada beberapa hal yang bisa dijadikan idealisme alternatif sebagai apologi atas hobi yang kita miliki, yaitu hobi membeli dan mengoleksi buku. Berikut penjelasannya dan mungkin juga bisa digunakan pembaca sekalian yang juga memili hobi sama seperti saya.
Pertama, yang patut kita tanamkan bahwa adalah membeli, menyimpan, dan membawa buku itu penting walau kita tidak membacanya. Sebab bagaimanapun atau sebodoh-bodohnya manusia yang sedang bersama buku (baik itu membawanya, membelinya, atau menyimpannya) mereka pasti akan bisa mendapat manfaat dari buku berupa informasi dan pengetahuan. Sebab manusia mempunyai sesuatu yang tidak hewan miliki, yaitu akal dan komunikasi. Dengan akal manusia akan terus berusaha memahami apa yang belum mereka mengerti meski tidak bisa membacaya pun kita masih bisa menanyakannya pada orang lain apa isi buku tersebut, tidak seperti keledai (hewan) dalam ungkapan tadi.
Apologi ke dua, betapapun kita tidak paham dengan isi buku itu namun akan ada pihak lain yang masih bisa mengambil manfaatnya. Bisa jadi orang lain akan membaca buku yang kita miliki. Atau bila memang tidak kita masih mempunyai keluarga dan sanak saudara yang tidak menutup kemungkinan juga akan membaca buku yang kita punya. Dan pastinya buku-buku itu akan kita turunkan pada anak cucu kita nanti.
Ke tiga, sebagai bantahan atas narasi “Untuk apa beli buku kalau tidak dibaca” kita bisa menggunakan analogi seperti apabila ada orang sedang membeli payung padahal ketika itu sedang tidak hujan apakah kita akan mengatakan payung itu tidak berguna? Tentu tidak. Kita juga mengenal ungkapan “sedia payung sebelum hujan”, dan membeli atau menyimpan buku tanpa kita baca sama saja dengan menyediakan payung sebelum hujan. Bisa jadi tidak kita baca sekarang namun kelak akan kita baca entah itu beberapa hari lagi atau bahkan beberapa tahun kemudian. Bilapun seaindainya kita tidak sempat membaca sampai akhir hayat, orang lain masih berkesempatan untuk bisa mengambil manfaat dari buku yang kita punya. Pada intinya buku akan tetap memberi manfaat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Alasan terakhir adalah bahwa membaca buku tidak musti harus sampai khatam ataupun tuntas. Bagi saya inti dari membaca buku adalah adanya suatu gagasan dan informasi yang bisa kita dapat berapapun itu jumlahnya. Bahkan misal tidak ada satu informasi yang tidak bisa kita pahami pun kita masih bisa mendapat informasi tentang bahwa kemampuan memahami kita yang mungkin harus lebih ditingkatkan lagi.
Dengan ulasan dan alasan perihal hobi mengoleksi, membeli, dan menyimpan buku itu tadi, maka kita tidak perlu khawatir dan resah atas narasi-narasi sinis yang ditujukan pada hobi kita. Dengan cara membeli dan menyimpan buku itu pula kita secara tidak langsung telah memberikan kontribusi berupa apresiasi baik itu secara finansial ataupun secara moral atas berkembangnya minat baca dan literasi di negara kita tercinta ini.

———– *** ————

Tags: