Atasi Diskriminasi ABK, Tawarkan Konsep SPAH

Guru BK SMA Muhammadiyah X Surabaya Normalia saat memberikan pengarahan terhadap anak berkebutuhan Khusus (Anak Hebat).

Surabaya, Bhirawa
Anak berkebutuhan khusus menjadi perhatian utama bagi SMA Muhammadiyah X Surabaya. Penyebabnya, anak-anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dan acap mengalami diskriminasi di lingkungannya.
Melihat hal tersebut, SMAM X Surabaya menerapkan kebijakan tidak ada yang berbeda dalam pembelajaran ataupun dalam memberikan arahan terhadap mereka. Seperti yang diakui oleh guru bimbingan konseling Normalia, bahwa pihaknya memberikan konsep atau metode SPAH (Sekolah Peduli Anak Hebat) untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus.
Salah satu anak hebat, sebutan ABK di lingkungan SMAM X mengungkapkan bahwa dirinya merasa bahagia sekolah di SMAM X.
“Senang, nyaman, punya teman banyak dan bisa menyalurkan bakat saya” ungkap siswa berkebutuhan khusus kategori Slow Leaner Achmad Apriansyah.
Sekolah Peduli Anak Hebat sendiri merupakan penerapan ide awal Kepala Sekolah SMAM X Surabaya Sudarusman. SMAM X Surabaya mengklaim sebagai sekolah yang cocok untuk ABK. Di mana pihaknya tidak mengutamakan pembelajaran reguler melainkan lebih mengutamakan karakter siswa.
Dalam penerapan konsep SPAH, mereka menggunakan perbandingan 20 % : 80%. 20 persen hanya digunakan untuk penyampaian materi pengetahuan, sedang 80 persen digunakan untuk pelatihan pembentukan karakter siswa, seperti memfokuskan minat dan bakat mereka.
Menurut penuturan Normalia, sistem penilaian pembelajaran juga terdapat penilaian berupa portofolio dari Orangtua, sedangkan sistem penilaian pembelajaran sendiri bersifat autentik
Konsep SPAH sendiri dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu Integrative class, Full Inklusi dan Gifted class. Intergrative Class mendiri merupakan pembelajaran khusus untuk anak hebat (sebutan ABK, red) dengan kategori tuna grahita atau retardasi mental yang mendapatkan sosialisasi khusus di kelas reguler. Full Inklusi merupakan kategori anak hebat untuk perihal slow leaner (hyperactive) atau normal dengan kebutuhan khusus.
Siswa dengan klasifikasi ini mengikuti kelas reguler dengan modifikasi kurikulum sesuai kebutuhan siswa, karena mereka tergolong dalam lambat belajar, berpikir dan anak hiperaktif. Sedangkan untuk Gifted Class merupakan kategori anak hebat dengan siswa yang mempunyai kecerdasan istimewa.
Penerapan konsep SPAH, merupakan bagian dari pembentukan karakter yang diterapkan SMAM X sebelumnya. Pihak sekolah menjelaskan bahwa pembentukan karakter mereka di mulai dengan Sholat Dhuha, bersih-bersih dan kegiatan positif lainnya.
Selain itu, anak-anak hebat juga tergabung dalam komunitas yang berinteraksi langsung dengan teman-teman reguler. Sehingga diharapkan anak-anak hebat mempunya perasaan “aku berperan”, ungkap Normalia.
SMAM X Surabaya, bekerjasama dengan beberapa intansi luar, seperti Unesa dan sekolah-sekolah luar negeri. Kerjasama berupa kontak langsung dosen untuk penerapan SPAH.
Dalam penerapannya, tentu saja konsep SPAH mendapat berbagai tantangan. Terlebih lagi tantangan itu berasal dari orangtua siswa sendiri. pihak sekolah berupaya dalam membuka paradigma dan pola pikir wali murid mengenai passion anak-anaknya, yang berkebutuhan khusus. Selain itu jika anak mengalami perkembangan, kemudian orangtua merasa bahwa anaknya sudah normal dan tidak perlu dibimbing atau di teraphy lagi. Hal ini yang kemudian membuat permasalahan-permasalahan yang harus di hadapi oleh SMAM X.
Konsep ini sudah berjalan selam tiga tahun. dari adanya penerapan konsep ini, siswa ABK memperoleh berbagai prestasi seperti penghafal Alquran, juara harapan I lomba Pidato dan sebagainya.
Sementara itu siswa kelas XII jurusan IPA, Azmi Izzudin mengungkapkan bahwa dirinya merasa nyaman dan senang berada dalam satu lingkungan bersama dengan ABK. Dirinya tidak merasa terganggu dengan Anak-anak berkebutuhan.

“Tidak Suka, Siswa Boleh Keluar Kelas”
Mengubah paradigma pendidikan tidaklah mudah. Namun, itulah yang harus dilakukan SMA Muhammadiyah X Surabaya untuk mewujudkan sekolah yang berkarakter. Sekolah yang mendapatkan akreditasi A ini, berdiri pada tahun 2014 yang lalu, dengan prosedure dan persyaratan yang ada. Meskipun pada awal pendiriannya mendapat ketidaksetujuan dari kedinasan karena berbagai faktor, namun SMAM Muhammadiyah X Surabaya mampu meyakinkan bahwa sekolah yang didirikannya mempunyai segmentasi pendidikan yang berbeda dengan segmentasi SMA Kompleks maupun SMA Trimurti.
Pada awal berdiri, SMAM X Surabaya mampu mendapatkan enam puluh siswa, hingga di tahun ketiga total jumlah tersebut menjadi 610 siswa, dengan 20 di antaranya merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Peningkatan jumlah siswa dikarenakan sistem pembelajaran yang ditawarkan oleh SMAM X terbilang unik. Di mana mereka menawarkan sistem pembelajaran yang berkarakter sesuai dengan bakat dan minat siswanya.
“Paradigma sekolah yang kita dirikan bukan menjadi sempit lagi, tapi lebih meluas” ungkap Kepala Sekolah SMAM X Surabaya, Sudarusman.
Sudarusman berpendapat bahwa life skill yang dibentuk di sekolahnya, bukan pada vokasional-vokasional keterampilan pada umumnya. Melainkan orientasinya lebih pada bentuk kecakapan hidupnya. Dalam lingkungan SMAM X, hal pertama yang di ajarkan adalah bagaimana paradigma siswa diubah menjadi paradigma siswa yang mempunyai karakter problem solving. Pola pembelajaran karakter sendiri, tidak hanya diterapkan di lingkungan sekolah, melainkan di lingkungan keluarga juga diterapkan.
“Selepas anak-anak pulang, kita membuat grup di mana orang tua menginformasikan kegiatan yang mereka lakukan,” tutur Sudarusman.
Menurutnya, sekolah tidak lagi menggunakan system yang sudah ada, di mana siswa yang menjadi peran kedua disana. Melainkan, sekolah yang didirikannya lebih memprioritaskan kebutuhan dan minat dan bakat siswa. “Bentuk apapun siswanya kita terima, dia tidak bisa menulis-membaca kita ajarkan” lanjutnya.
Dia menegaskan bahwa subjek sekolah bukan lagi guru, melainkan subjeknya adalah siswa. Pihaknya memperbolehkan siswa keluar dari kelas jika tidak suka. Hal tersebut, menurutnya bukan sebagai bentuk pemberontakan terhadap pendidikan. Melainkan, membuka pola pikir tenaga pendidik untuk tidak memaksakan sesuatu yang tidak disukai siswa.
“Kita pahamkan kepada guru bahwa tidak semua siswa dalam suatu ruangan yang suka dengan kita” tambahnya.
Untuk menjadi sekolah yang berkarakter, dalam program ekstrakulikuler atau sekolah inklusi, SMAM X bekerjasama dengan beberapa guru praksis yang bergerak di bidang medis seperti dokter maupun pakar hukum untuk siswa yang berminat di bidang hukum dan sebagainya. [ina]

Tags: