Aturan Pajak dan Riset Masih Rancu

foto ilustrasi

PTN Badan Hukum Tak Ingin Disamakan BUMN
Surabaya, Bhirawa
Berbagai aturan keuangan yang digunakan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menyisakan kerisauan. Khususnya PTN-BH (Badan Hukum) yang harus menanggung beban pajak sepadan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, aturan terkait pertanggungjawaban riset yang belum sinkron antara Kemterian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kedua persoalan tersebut menjadi pembahasan khusus pada kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR RI di Universitas Airlangga kemarin, Kamis (13/9). Rektor Unair Prof M Nasih menuturkan, pertemuan tersebut berusaha mengidentifikasi permasalahan terkait PTN BH. Khususnya terkait kelembagaan yang masih agak rancu.
“Seperti apa sebenarnya PTN BH itu? Kalau PTS tapi ada PTN-nya, kalau PTN kok ada aset yang dialihkan. Ini jenis kelembagaan masih harus ada pemetaan. Khususnya ketika di-breakdown ke tingkat teknis. Mulai penggunaan anggaran dan pertanggungjawabannya,” tutur Nasih.
Pihaknya mengaku, dalam Kemenkeu posisi PTN-BH masih disamakan dengan BUMN. Padahal, PTNBH dengan BUMN misinya berbeda. PTN-BH menyelenggarakan misi negara bukan untuk mencari keuntungan. Tapi untuk mendidik dan mencerdaskan. “Profit kita adalah menghasilkan manusia yang lebih unggul. Tapi kita masih disamakan kurang lebih sama dengan BUMN,” tutur dia.
Salah satunya ialah terkait perpajakan seperti pajak progresif yang nilainya mencapai 5 – 15 persen. Selain itu, sisa anggaran yang tidak terserap untuk belanja barang masih harus kena pajak lagi. Padahal kebutuhan perguruan tinggi tidak hanya fisik. “Itu bisa kita gunakan untuk menyekolahkan dosen. Tapi penggunaannya pengembangan itu tidak dikenakan pajak jika digunakan untuk pengembangan fisik, bukan SDM,” tutur dia.
Sementara terkait anggaran riset, Nasih mengaku alokasi anggarannya di Unair belum terlalu banyak. 25 persen minimal. Tapi hal tersebut belum dapat dipenuhi karena tingginya kebutuhan. Kemudian aturan pertanggungjawabannya, seharusnya berdasarkan output bukan input. “Selama ini yang sangat menghambat para peneliti harus mempertanggungjawabkan berdasara input. Laporannya harus jelas, mau makan harus ada kwitansi, mau parkir harus ada karcisnya,” kata dia.
Sebenarnya sudah ada kesepakatan anatara Menristek Dikti dengan Kemenkeu agar pelaporannya berdasar output. Tapi aturan tersebut belum ditindak lanjuti hingga tataran teknis pelaporan.
Sementara itu, Dirjen Kelembagaan Kemenristek-Dikti Patdono Suwignjo menuturkan, PTN BH saat ini masih mengikut aturan mengenai keuangan dan perpajakan layaknya BUMN. Meskipun pada dasarnya PTN BH bersifat non provit oriented. “Harusnya jangan dikenakan aturan pajak yang profit oriented,” tutur dia.
Terkait hal ini, Kemenristek-Dikti dengan PTN BH sudah bertemu dan melaporkan ke Kemenkeu terkait perpajakan. Karena itu sekarang sedang dibuat aturan terkait perpajakan. “Karena namanya non profit, kalau ada sisa hasil usaha, maka keuntungannya tidak dibagi-bagikan kepada pemilik. Uangnya harus diinvestasikan lagi untuk kepentingan pendidikan,” tutur dia.
Sayangnya, investasi sisa hasil usaha yang dimaksud harus berupa belanja barang. Karena jika sampai sekian tahun tidak diinvestasikan, maka akan dikenakan pajak 25 persen. “Sudah banyak PT yang sisa hasil usahanya tidak diinvestasikan dalam bentuk barang. Tetapi digunakan untuk membiayai dosen kuliah. Tapi itu disebut bukan termasuk investasi,” kata dia.
Sementara terkait pertanggungjawaban riset, Patdono mengaku Kemenkeu sudah membuat aturan pelaporan sesuai output. Namun, BPK saat ini masih menggunakan aturan yang lama. Sehingga aturan dari Kemenkeu belum bisa diimplementasikan. “Kita sudah sampaikan ke BPK supaya bisa lebih dipahami terkait kebijakan pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk penelitian sudah harus berdasar out put. Bukan berbasis aktifitas,” kata dia.
Karena hal tersebut, dampaknya terhadap peneliti di perguruan tinggi menjadi males. Karena membuat pertanggungjawaban lebih sulit dari pada membuat penelitian itu sendiri.
K etua Komisi X DPR RI Djoko Udjianto mengungkapkan, dipilihnya Unair karena Unair sebagai salah satu PTN besar yang berstatus PTNBH. Sehingga progress Unair masuk World Class University membutuhkan pemantauan lebih lanjut. “Ternyata banyak kendala karena adanya aturan yang mengikat, makanya kami himpun masalah ini. Sehingga kami bisa menyampaikan permasalahan ini pada kementerian terkait,”urainya.
Salah satu permasalahan yang disoroti menurutnya yaitu pemberlakuan pajak terhadap PTNBH yang digolongkan sebagai BUMN. Pajak ini diterapkan pada dana yang tidak digunakan untuk invstasi aset.
“Padahal investasi bisa juga pada Sumber daya manusia. Ini menjadi sorotan jangan hanya melihat investasi dalam bentuk fisik,” pungkas dia. [tam]

Rate this article!
Tags: