Awal Puasa, NU dan Muhammadiyah Kemungkinan Sama

Surabaya, Bhirawa
Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jatim memprediksi awal puasa Ramadan 1438 Hijriyah kemungkinan bersamaan dengan penetapan dari Nahdlatul Ulama yaitu dimulai Sabtu (27/5).
“Diprediksikan bersamaan antara Muhammadiyah dan NU yang biasanya menjadi dasar penetapan pemerintah pusat,” ujar Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid, Selasa (25/4).
Menurut dia, kebersamaan penyambutan awal Ramadan ini terjadi karena posisi hilal saat ijtimak akhir Sya’ban sudah di atas empat derajat.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Jatim itu menjelaskan bahwa terdapat dua metode dalam penetapan awal bulan hijriyah, yaitu rukyah dan hisab yang keduanya berpijak dari hadist Rasulallah SAW.
“Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, selain rukyat bil’ain (mata telanjang), juga dilakukan rukyat bil ilmi (rukyat melalui perhitungan ilmiah) yang kini lebih dikenal dengan ilmu hisab atau ilmu falak,” ucapnya.
Dalam sistem rukyat bil’ain atau biasa disebut rukyah, kata dia, mengharuskan seseorang melihat hilal pada 29 bulan Qamariyah, dan jika hilal dapat dilihat ketika matahari terbenam (saat terjadinya ijtima’) maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, tapi kalau tidak maka disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kemudian dalam hisab, ia mengatakan bahwa di Indonesia ada dua aliran, yaitu Urfi atau sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Sedangkan, lanjut dia, Hisab Haqiqi didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, bahwa umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, tergantung posisi hilal setiap awal bulan. “Sehingga boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, termasuk boleh jadi bergantian,” kata mantan Sekretaris PWM Jatim itu.
Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim belum bisa memprediksi bersamaan atau tidaknya awal Ramadhn karena masih harus melakukan Rukyatul Hilal pada 29 Sya’ban atau Jumat, 26 Mei 2017.
“Belum bisa diprediksi karena harus dilakukan rukyatul hilal yang menjadi dasar utama penetapan awal bulan baru, termasuk puasa,” kata Sekretaris PWNU Jatim Akhmad Muzakki ketika dikonfirmasi terpisah.
Pihaknya memang mengaku melaksanakan dua metode untuk menentukannya, yaitu hisab dan rukyat.
“Tapi hasil dari penghitungan hisab belum menjadi dasar pasti karena harus rukyat atau melihat hilal,” kata akademisi dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya itu.
Kendati demikian, ia mengimbau jika nantinya pelaksanaan awal puasa berbeda maka masyarakat wajib menghormati serta tetap menjaga kerukunan Islam. “Bukan sebuah masalah jika harus berbeda dan semua harus menghormatinya,” kata ulama yang juga Ketua Dewan Pendidikan Jatim tersebut. [cty]

Tags: