Bapak Mulai Gelisah

Bapak Mulai Gelisah

Oleh :
Aji Shofwan Ashari

Ketika Daru memutuskan resign dari tempatnya bekerja ia pun terlihat begitu gembira. Bayang-bayang kebebasan seolah menari-nari di atas kepalanya. Ia tak lagi memikirkan tanggung jawab ataupun job description yang harus diselesaikan di hari-hari berikutnya. Ia bisa tidur dan bangun dengan sesukanya, tidak ada yang menghalangi. Tak ada lagi bangun malam karena shifting bangsat yang membelenggu. Banyak hal lain bisa dilakukan setelah ia keluar dari tempatnya bekerja. Setidaknya begitulah bayangan Daru yang terlintas saat itu.

Hari-harinya dipenuhi dengan ngopi dan canda gurau bersama teman-temannya. Selain itu ada kegiatan baru yang dilakukan Daru, ia mulai suka mengamati aktivitas orang-orang di jalanan. Setiap pagi ia melihat anak-anak pada berangkat ke sekolah. Ada yang jalan kaki menyusuri trotoar jalan raya, ada yang bersepeda dan juga motoran.

Ada pula orang-orang yang buru-buru berkendara, mungkin mengejar waktu kerja. Ada yang dari pagi-pagi sekali sudah sibuk di warung makan, mungkin dari shift semalam. Dua orang melayani pembeli, sementara satu orang terlihat baru saja belanja dari pasar dan menyiapkan bahan-bahan masakan untuk shift kedua yang akan jaga warung. Setelahnya baru mereka bisa istirahat.

Daru bukan orang yang suka nganggur kelamaan. Ia sengaja resign bukan untuk jadi pengangguran tetap. Gila saja kalau ada pikiran seperti itu. Ia masih muda, dan ia mempelajari apa pun yang perlu dipelajari. Dan semua hal yang ia alami memberinya pengetahuan tentang kehidupan yang luas ini. Walaupun dengan semua analisis dan perhitungannya, ia masih saja salah.

Mulanya ia masih bersuka ria dengan teman-temannya, menikmati masa nganggurnya sementara. Namun, tak terasa hari-hari mulai memanjang, berganti bulan yang ikut berlari pula. Daru pun resah, dan ia bosan dengan keadaannya. Lima bulan penuh ia habiskan di tanah perantauan paska-resign sambil mendaftar ke perusahaan-perusahaan yang memungkinkannya diterima. Hanya saja, harapannya tak semulus dan tak secepat keputusannya untuk resign dari perusahaan sebelumnya.

Memasuki bulan ke-6 pengangguran, Daru menyerah, ia akhirnya pulang ke rumah. Membawa kegelisahan yang belum tuntas diselesaikan. Ibu bapaknya sudah diberitahu sebelumnya, jika ia ingin cari kerja di rumah saja, selain alasan untuk lebih dekat dengan orang tuanya. Daru mengatakan itu dengan malu, ia merasa gagal karena belum bisa jadi “Orang” di tanah perantauan.

Seperti rata-rata orang kampung yang sukses di perantauan, di tanah seberang yang jauh sana. Ia memendam kesedihan itu dalam-dalam. Walau ibu bapaknya tidak pernah menuntutnya aneh-aneh, namun bagi Daru tetap saja ia menginginkan yang terbaik, seperti harapannya sejak mula.

Dan seperti biasa, saat ada yang pulang kampung dari perantauan, orang-orang pun menyapa.

“Lho, kapan pulangnya Ru, kok baru kelihatan? Tanya Mbok Par, tetangganya, saat papasan di jalan dengan Daru.

“Baru kemarin Mbok.”

“Ee, gimana kabarnya, kapan balik lagi?”

“Alhamdulillah sehat mbok. Ini sudah boyongan kok Mbok, gak balik lagi.”

“Owalah, kenapa gak balik lagi Ru? Karmin rupanya kerasan merantau Ru, tapi alhamdulillah sudah sukses sekarang.”

Mbok Par menceritakan anaknya yang tengah merantau di Korea. Setahun lalu, Karmin cuti untuk pulang kampung dan membawa banyak uang. Sudah tiga tahun Karmin merantau di Korea, jadi wajar kalau uangnya banyak. Kini pun ia sudah membeli tanah di seberang jalan, persis di depan rumah orang tuanya. Untuk segera dibangun rumahnya sendiri setelah rumah orang tuanya selesai dipugar. Tentu saja diadakan syukuran besar, sekiranya seluruh orang kampung turut merasakannya. Daru sangat tahu perasaan Mbok Par yang melihat anaknya sukses seperti itu. Namun, tanpa disadari kata-kata Mbok Par ternyata berubah jadi kelewat tajam menusuk perasaan Daru yang lembut.

Walau tidak secara langsung, tapi perasaan Daru dapat membacanya sebagai pertanda. Mbok Par hanyalah satu potret untuk menggambarkan “Mbok Par-Mbok Par” yang lain di kampung. Dan Daru selama beberapa waktu harus siap mental untuk berhadapan dengan orang-orang seperti itu.

“Wes biasa.” Gumam Daru di sela-sela kedongkolannya. Karakter orang kampung sudah dipahaminya sejak lama, dan benar, Daru menghadapi situasi yang sudah diperkirakan sebelumnya. Hanya saja, semuanya jadi tambah pelik saat orang terdekat pun turut menyuburkan keadaan yang serba tak enak itu.

Pada mulanya, orang tua Daru terlihat biasa-biasa saja dengan kondisi anaknya yang baru dari tempatnya bekerja. Mereka memandang itu sebagai gejolak wajar dari anak muda yang masih cari-cari kenyamanan dalam bekerja. Meskipun tetap menyesalkan juga kenapa keputusan itu terkesan ingin segera lepas dari belenggu pekerjaan.

Tetapi lama kemudian, Supri, bapak Daru, mulai menunjukkan gelagat tidak nyaman karena melihat anaknya yang jadi pengangguran. Daru jadi semakin sering diperhatikan bapaknya, yang kadang-kadang meliriknya ketika melakukan suatu aktivitas atau tidak di dalam rumah. Hingga kerap melihat Daru saat sedang merokok dan berdiam diri sambil menerawang udara. Hal itu ternyata menjadikan ketidaknyamanan bagi Daru dan otomatis semakin memperbesar penyesalan akan kesalahannya. Sampai-sampai ketika bapaknya lewat di hadapannya saja sudah membuat Daru merasa tersinggung.

Dan ketika anak laki-laki mengalami penderitaan, seorang ibu pun turut merasakannya.

“Memangnya aku terlihat begitu menyedihkan ya buk?” Tanya Daru kepada ibunya suatu kali.

“Jangan pikirkan yang membuatmu tambah tertekan Ru.”

Begitulah Narti, ibunya, selalu bisa menenangkan perasaan Daru yang galau. Kata-kata ibunya seperti matahari yang menyinarinya. Terkenang oleh Daru ketika dulu ibunya bercerita tentang sebuah mimpi. Mimpi yang membuat ibunya menangis sesegukan di hadapan Pak De-nya. Narti bercerita, bahwa ia bermimpi melihat Daru berada di tengah-tengah kuburan dan Daru seperti menatapnya pilu. Hal itulah yang membuat Narti menangis mengguguk, ia khawatir terjadi sesuatu kepada anaknya yang berada jauh darinya. Waktu itu Daru sedang menempuh ujian masuk kuliah yang berlokasi di ibu kota. Dan dengan penglihatannya yang tajam, Pak De Daru pun mengatakan kepada Narti bahwa mimpi itu hanya kiasan. Daru hanya mengalami kesulitan saja, bukan sebagai suatu pertanda yang buruk.

Cerita itu selalu diingat Daru sebagai pelajaran, juga meneguhkan kecintaannya semakin besar kepada ibunya. Sebuah mimpi, sebuah pertanda, dan kekhawatiran terhadap anak adalah hal yang jamak dirasakan seorang ibu. Untuk itulah mengapa tali perasaan Narti begitu kuat dengan Daru. Tetapi berbeda dengan Supri, bapaknya. Daru tidak tahu kenapa ia tidak bisa intim berhubungan dengan bapaknya. Mungkin ada sejarah yang tidak diketahuinya sehingga mereka sulit mencapai keakraban.

***

“Gimana Ru, sudah ada panggilan kerja lagi?” Bapaknya mencoba memulai percakapan.

“Belum Pak, sepertinya agak sulit akhir-akhir ini.”

“Kalau kata orang-orang ya harus pakai orang dalam biar cepat.” Kata Bapaknya sambil melirik dengan ketajaman sorot mata yang menikamnya bertubi-tubi.

Pati, 27 April – 4 Mei 2023


———— *** ————

Tentang Penulis :
Aji Shofwan Ashari
Lahir di Pati, pernah jadi kontributor di situs berita online Tagar.id. Masih aktif mencatat dan menulis sampai sekarang.

Rate this article!
Bapak Mulai Gelisah,5 / 5 ( 2votes )
Tags: