Benturan Peradaban di Layar Kaca

Oleh :
Dion Maulana Prasetya
Lecturer at Department of International Relations Universitas Muhammadiyah Malang 

Pertandingan akbar antara Connor McGregor melawan Khabib Nurmagomedov Sabtu (06/10) lalu mungkin menjadi isu yang paling banyak diperbincangkan secara global dalam dua minggu terakhir. Di Russia saja, tercatat sebanyak empat juta pasang mata menonton event tersebut secara langsung di televisi. Sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak dua sampai tiga juta orang menyaksikan pertandingan yang sama.
Di Tanah Air, meski tidak ada angka pasti mengenai jumlah penonton acara tersebut, tapi satu hal yang pasti, linimasa media sosial kita dibanjiri dengan topik seputar McGregor dan Khabib. Tulisan singkat ini membahas dua hal yang kerap luput dari perbincangan masyarakat Indonesia pada umumnya: tentang industri olahraga di era globalisasi, dan; gambaran tentang “benturan antar peradaban” di layar kaca.
Industri (Hiburan) Olahraga
Ultimate Fighting Championshiop (UFC) mencatatkan rekor atas pertandingan dua raksasa seni bela diri campuran tersebut, dengan 20 ribu lebih tiket terjual – senilai 17,2 juta dollar AS atau setara dengan 261,7 milyar rupiah. Itu hanya pendapatan dari tiket saja, belum termasuk pemasukan dari penjualan hak siar live kepada tiga juta penontonAmerika yang diperkirakan mencapai lebih dari 3 trilyun rupiah. Banyak kalangan menilai nilai perputaran uang yang sesungguhnya jauh lebih besar dari itu – mengingat elemen perjudian tidak ikut dihitung.
Bagaimana dengan gaji yang diterima McGregor dan Khabib sendiri? McGregor dikabarkan memeroleh pendapatan bersih sebesar tiga juta dollar AS (45,6 milyar rupiah) sedangkan Khabib mengantongi dua juta dollar AS (30,4 milyar rupiah). Dengan kata lain, McGregor dibayar 11, 4 milyar rupiah per ronde atau 2,2 milyar rupiah setiap menitnya. Sedangkan Khabib mengantongi 7,6 milyar rupiah untuk setiap ronde atau 1,5 milyar rupiah per menitnya. Angka tersebut setara dengan rata-rata pendapatan asli daerah kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 yang hanya berkisar 40 milyar rupiah per tahun.
Angka yang lebih fantastis diperoleh oleh Floyd Mayweather dari pertandingannya melawan McGregor pada bulan Agustus tahun lalu. Ia berhasil mengantongi 4,3 trilyun rupiah hanya dalam satu malam bertanding di T-Mobile Arena, Nevada. Angka tersebut melebihi nilai kontrakgabungan tiga bintang lapangan sepakbola terkaya, Cristiano Ronaldo, LeBron James serta Lionel Messi, yang hanya mencapai 3,9 trilyun rupiah untuk masa kontrak satu musim.
Besarnya pendapatan para atlet tersebut semakin membenarkan anggapan umum bahwa olahraga kini lebih berorientasi pada industri hiburan daripada olahraga itu sendiri. Konsekuensi dari pergeseran orientasi tersebut adalah diproduksinya narasi-narasi ekstra di luar pertandingan yang dimaksudkan untuk menambah nilai jualnya.
Dalam konteks pertandingan antara Mayweather dan McGregor, narasi-narasi ekstra telah dilontarkan kedua belah pihak dalam bentuk psywar. McGregor, misalnya, ketika bertemu dengan Mayweather untuk kali pertama di Los Angeles mengatakan, dirinya akan membuat pingsan petinju tersebut dalam empat ronde. Tidak ingin kalah dari lawannya, Mayweather justru mengumbar kekayaan sebagai bukti kesuksesannya dalam dunia tinju di mana dirinya tidak pernah terkalahkan. Sisi hiburan yang dijual pada match itu adalah keberanian McGregor melewati batas profesionalitasnya sebagai atlet seni beladiri campuran dengan melawan juara tinju di lima kelas yang berbeda itu.
Benturan antar Peradaban
Berbeda dengan contoh di atas, pertandingan Khabib melawan McGregor menyajikan aspek hiburan yang berbeda dan baru, yakni konflik identitas. Pertandingan paling besar dalam sejarah UFC tersebut mengingatkan kita pada narasi “benturan antar peradaban” yang ditulis oleh Samuel Huntington di majalah Foreign Affairs tahun 1993. Di dalam artikelnya, Huntington menyatakan bahwa konflik di masa depan akan lebih bernuansa kultural daripada idelogi atau ekonomi. Garis patahan antar peradaban, lanjunya, akan menjadi bahan bakar peperangan di masa depan. Politik global pasca Perang Dingin akan didominasi oleh konflik antara peradaban Barat dan Non-Barat, termasuk Islam.
Pertandingan McGregor melawan Khabib sangat kental bernuansa “benturan antar peradaban” karena penonton disuguhkan “drama” Islam versus Barat. Menariknya, “drama” pertarungan keduanya tidak hanya bergantung pada pertandingan formal di atas ring, tetapi di ruang publik lainnya. Salah satu episode “drama” yang paling menarik adalah ketika momen konferensi press, di mana McGregor kerap bertindak kelewat batas dengan melontarkan kata-kata rasis dan kasar kepada Khabib.
McGregor yang memang sejak awal dibentuk untuk memiliki karakter sombong dan kasar, merasa perlu untuk memperkuat karakternya dengan menyebut Khabib pengecut karena tidak mau minum whiskey. Tidak cukup menghina pribadi Khabib, McGregor juga menyebut ayah Khabib pengecut dan manajernya sebagai teroris.
Penonton kemudian menangkap pertandingan UFC 229 sebagai pertarungan antar dua peradaban, yakni Barat melawan Islam. Pada titik inibercampur aduk antara aspek olahraga, sentimen etnis-agama, dengan industri hiburan. Kita saat ini sedang berada di era di mana olahraga, yang seharusnya bersifat universal, menjadi partikular.
Era di mana olahraga yang awalnya menyatukan justru menjadi bahan bakar perpecahan. Namun, di sisi lain, para pemodal kelas kakap juga menangkap ini sebagai bisnis hiburan yang prospektif. “Benturan peradaban” tidak lagi dianggap sebagai momok menakutkan yang menghantui politik global pasca Perang Dingin, seperti yang digaungkan oleh Huntington lebih dari dua dekade yang lampau. “Benturan peradaban” justru menjadi komoditas baru yang potensi pasarnya nampak akan terus berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: