Cerita Hebat dari Anak Kampung yang Cerdas

Judul : Si Anak Badai
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Tebal : 318 halaman
ISBN : 978-602-5734-93-9
Peresensi : Yeti Islamawati, S.S
Alumni Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar di MTsN 6 Sleman, DIY

Tere Liye, acap kali menghadirkan dunia anak pada karyanya. Demikian pula dengan novel Si Anak Badai ini. Cerita novel tersebut mengambil latar sebuah perkampungan di muara sungai. Anak-anak yang lahir dan tumbuh di Kampung Manowa sangat menikmati kehidupannya walaupun serba sederhana.
“Kami sedang menunggu kapal-kapal dari laut ke arah hulu, atau kapal dari arah hulu yang berlayar menuju lautan. Inilah kegiatan rutin kami setiap Minggu sore-atau setiap tanggal merah libur sekolah-sambil bermain-main. Kampung kami terletak persis di muara sungai besar yang menjadi perlintasan kapal-kapal berhuluan menuju desa atau kota-kota berikutnya. Satu-dua kapal itu merapat ke dermaga-jika ada penumpang dari kampung kami-tetapi lebih banyak yang hanya melintas,” (hlm 80).
Saat kapal melintas, itulah waktu mereka beraksi. Kalau yang lewat kapal barang, mereka beradu cepat menyelam melewati lambungnya, berusaha saling mengalahkan. Kalau yang lewat kapal penumpang, mereka akan berenang di samping kapal, melambaikan tangan ke arah penumpang di atasnya, menunggu mereka melemparkan uang logam ke bawah. Kemudian mereka berebutan mengambil uang itu.
Rencana pembangunan pelabuhan mengusik warga Kampung Manowa. Mereka lebih tersentak lagi karena tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pak Kapten, salah seorang tetua yang disegani tak pernah tinggal diam. Sejak pertemuan pertama, Pak Kapten sudah menunjukkan ketidaksetujuan atas pelabuhan tersebut.
Mana rela tanah kelahiran mereka dijadikan pelabuhan. Masalah tidak sesederhana itu. “Lantas rumah kami bagaimana? Sekolah anak-anak kami bagaimana? Mata pencaharian kami juga bagaimana? (hlm 85). Membangun pelabuhan tanpa menyediakan rumah baru yang tergusur. Ganti rugi yang jangankan untuk membeli rumah, membeli perahu saja tidak cukup.
“Kami tidak mau dipindah-pindah. Lebih bagus kalau pelabuhan itu yang dipindah. Terserah di mana asal tidak di tempat kami,” (hlm 86).
Pak Kapten terkenal paling vokal dan keras dalam menolak pembangunan pelabuhan. Dia kemudian disingkirkan oleh pejabat, ditangkap dengan tuduhan palsu meledakkan sebuah kapal.
Bagaimanakah nasib penduduk kampung selanjutnya setelah guru sekolah dan guru mengaji, juga kepala kampung kalah dalam negosiasi?
Hal berat, disajikan dari sudut pandang anak dengan dunianya. Siapa bilang dunia anak itu hanya berkutat urusan main? Saat itulah muncul empat anak sebagai pahlawan. Cerita novel ini menghadirkan empat sekawan. Mereka adalah Zaenal, otak dari Geng Si Anak Badai. Awang, anak yang jago berenang dan sersan (serius tapi santai). Malim, si tukang celoteh dan jago memancing, dan Ode, si tukang ngebos. Meskipun masih usia anak, Geng Si Anak Badai tak tinggal diam. Setidaknya mereka mengetahui satu fakta terkait pembangunan pelabuhan. Struktur tanah hasil kajian berbeda 180 derajat dari yang didapatnya di kampung. Tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka pun menyusun sebuah rencana hebat, siasat cerdas, dan tanpa pertumpahan darah.
Ada juga kisah mereka yang menunjukkan pentingnya sekolah dan memberi dukungan kepada teman yang ingin putus sekolah. Mereka sadar, untuk menjadi pintar mereka harus sekolah. Untuk itu mereka bahkan membujuk hingga kesebelas kalinya, “Seorang kawan tidak akan meninggalkan kawannya sendirian,” (hlm 202). Sekolah bukan hanya soal ijazah. Namun bagaimana menjadi orang yang berpengetahuan. Mau jadi apa pun kita, sekolah tetap penting.
Betapa sedihnya ketika mendapati sekolah mereka dirobohkan. “Pagi itu, nasib sekolah kami tamat. Belalai ekskavator sempurna sudah menghancurkannya. Aku tergugu saat menyaksikan kelas enam dihancurkan. Ruangan terakhir yang tersisa. Juga Ode, Malim, dan Awang. Sekuat apa pun teriakan kami, sekuat apa pun tangisan kami, tidak akan menghentikan alat berat itu. Genteng-gentengnya sudah berada di dasar sungai. Kayu-kayunya mengambang di permukaan sungai, perlahan hanyut menuju lautan,” (hlm 291).
Ada juga gambaran kasih sayang seorang ibu. “Nanti kalau jahitan ini selesai, Thiyah, Fatah, dan Zaenal akan aku bawa ke Pasar Terapung, Bang. Aku akan bebaskan mereka beli makanan apa saja. Biar mereka tahu aku sungguh sayang pada mereka bertiga,” (hlm 133). Serta merta suaminya menimpali, “Ada cara yang tidak perlu menunggu nanti-nanti, Fatma. Datangilah mereka sekarang juga. Cium satu per satu. Itu akan menjadi embun di hati kau, juga di hati mereka,” (hlm 134).
Sebuah novel bergizi yang sebaiknya dibaca oleh anak Indonesia. Novel ini berisi bagaimana menghormati dan menghargai jerih payah orang tua, membantu pekerjaan orang tua yang bisa dikerjakan oleh anak-anak, bersemangat dalam sekolah, dan juga keberanian serta tekad melindung perkampungannya. Sebuah cerita hebat dari sudut pandang seorang anak.
———– *** —————

Tags: