Cerita Kekerasan Itu Kapankah Berakhir?

Oleh :
Rita Erwiyah, M.Pd
Kepala SDN Wonorejo IV/315 Surabaya

Posko pengaduan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) kembali menerima informasi terkait SMKN 3 Padang Sidimpuan, Sumatera Utara. Kali ini terkait kekerasan verbal yang dilakukan oknum guru berinisial KS terhadap lima siswi berinisial Sy, IG, PNMM, KS, dan SA. (m.republika.co.id, 14/4)
Jamak kita temui kasus penyimpangan yang dilakukan oknum guru, kasus di atas semakin menambah potret buruk kondisi pendidikan kita. Sebagai pribadi yang seharusnya menanamkan karakter kebaikan kepada siswa, tidak seharusnya sebagai seorang guru melakukan perilaku menyimpang tersebut. Bagaimana sebaiknya seorang guru dalam kacamata kearifan?
Guru seharusnya digugu dan ditiru, seorang guru profesional, harus  mampu mendidik siswa menjadi generasi berdaya saing dan memiliki moral yang baik. Oleh karenanya, pendidik hendaknya memiliki perilaku yang baik pula. Sehingga, mampu menjadi tauladan yang patut digugu lan  ditiru.
Profesionalitas guru, sebagai unsur terpenting guna menjalankan tugas dengan baik, sebagai upaya mendidik, mengarahkan dan memotivasi peserta didik untuk menjadi siswa yang pandai dan bermoral. Di sinilah upaya pembentukan karakter diri sendiri sebagai penguatan adalah sebuah urgensi bagi tiap guru, sebelum menanamkan karakter kebaikan kepada siswa.
Dalam UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen dijelaskan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Berangkat dari konsep inilah, seorang guru terlebih dahulu harus membekali dirinya dengan kompetensi yang mumpuni. Sehingga, layak menjadi seorang pendidik bagi siswanya. Lebih lanjut ditegaskan dalam  UU No. 14/2005, seorang guru semestinya mempunyai kompetensi  antara lain, kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa seorang guru tidak diperkenankan melakukan tindakan semena-mena terhadap siswa. Apalagi melakukan kekerasan fisik ataupun non fisik. Kerasan verbal yang dilakukan oknum guru yang berinisial KS adalah bentuk kekerasan yang harus dihindari oleh seorang guru. Karena sudah mengacu pada tindak pelecehan.
Menurut Najib Sulhan, (2016: 39-41) untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna, ada 2 hal yang harus diperhatikan. Pendidikan harus mengawal potensi kesucian siswa dan pendidikan sebagai bekal menjalankan khalifah di bumi. Apa jadinya, jika guru sendiri yang berulah dan justru menjauhkan siswa dari makna kesucian sendiri. Hanya lantaran biaya pendidikan yang belum terpenuhi.
Biaya, tidak semestinya menjadi kendala untuk mengenyam pendidikan. Ketika sebagian masyarakat sulit untuk mendapatkan hak pendidikan yang merupakan hak dasarnya, pihak yang berkewajiban memenuhi hak tersebut adalah pemerintah. Hal ini jelas termaktub dalam UUD 1945 pasal 28c ayat (1): “Setiap orang berhak mengambangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapat pendidikan dan mem[peroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,seni, dan budaya,demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Mengacu pada aturan tersebut, semestinya tidak perlu terjadi peristiwa yang menimpa 5 siswa SMKN 3 Padang Sidimpuan .
Lebih lanjut, regulasi tersebut semakin diperkuat melalui UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Ada beberapa solusi yang lebih baik agar peristiwa itu tidak terulang kembali. Pertama, pihak sekolah dapat memberikan keringanan kepada siswa yang tidak mampu. Hal ini bisa dilakukan dengan mendata secara detail terlebih dahulu kondisi siswa secara riil untuk menentukan siswa benar-benar tergolong tidak mampu dan berhak mendapat keringanan. Sehingga bantuan yang diberikan sekolah tepat sasaran.
Kedua, sekolah membangun kemitraan dengan wali murid yang secara ekonomi ada di atas rata-rata dan masyarakat yang peduli pendidikan. Dengan catatan, penggalangan dana ini tidak bersifat memaksa. Dari dana masyarakat ini bisa dipergunakan untuk membantu siswa yang kurang beruntung.
Ketiga, sekolah menawarkan program anak asuh kepada wali murid yang benar-benar mampu dan peduli pendidikan. Walimurid atau masyarakat sekitar yang mampu bisa menjadi orang tua suh bagi siswa yang tidak mampu. Selain meringankan beban mereka juga dapat menjalin hubungan yang erat antara anak asuh dan orangtua asuh.
Ketiga solusi itu dapat dilakukan di sekolah manapun semoga tidak lagi terjadi kekerasan verbal yang dilakukan oleh kalangan gruru di negeri tercinta kita ini.
————- *** ————–

Tags: