Cermin Guru Sejati Tak Sebatas Mengejar Sertifikasi

Penampilan siswa SMAN 3 Kota Mojokerto dalam Festival Seni Pelajar (FSP) se Jatim di UM Surabaya, kemarin (16/3. [adit hananta utama]

Penampilan siswa SMAN 3 Kota Mojokerto dalam Festival Seni Pelajar (FSP) se Jatim di UM Surabaya, kemarin (16/3. [adit hananta utama]

Sepenggal Kisah dari Panggung Teater Pelajar
Kota Surabaya, Bhirawa
Guru mendidik tak sekadar mengajar. Karena ilmu pengetahuan saja, tak cukup membentuk anak menjadi bermoral dan berkarakter. Pesan itu tersirat lewat panggung teater Festival Seni Pelajar (FSP) se Jatim di Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya.

Mingkar mingkuring angkara
Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngèlmu luhung

Lantunan tembang pungkur serat wedhatama itu menjadi pamungkas dari penampilan anak-anak SMAN 3 Kota Mojokerto saat tampil di FSP di UM Surabaya kemarin, Rabu (16/3). Sebuah tembang yang menyiratkan makna tentang tujuan dari pendidikan dan keluhuran ilmu. Jelasnya, tembang itu berarti ; menghindarkan diri dari angkara, bila akan mendidik putra, dikemas dalam keindahan syair, dihias agar tampak indah, agar tujuan ilmu luhur ini tercapai.
“Kita ingin menunjukkan remuk-remuknya dunia pendidikan saat ini. Ada yang hilang saat pendidikan di sekolah dimentahkan dengan pengaruh televisi,” tutur Pipit Maruti, pembimbing komunitas teater Bambu Hijau SMAN 3 Kota Mojokerto. Kuatnya pengaruh televisi, lanjut dia, semakin parah dengan guru yang lebih mementingkan uang. Mengajar di sekolah, hanya sebatas untuk menggugurkan tanggung jawab lalu mendapat gaji dan tunjangan. “Pertunjukkan ini ada sosok guru sejati, ada sosok guru yang hanya mementingkan sertifikasi,” tutur dia.
Riza Agustina, siswa yang kini duduk di bangku kelas X itu memerankan sosok guru yang selalu mementingkan tunjangan sertifikasi. Sehingga anak didik yang seharusnya diperhatikan dengan baik justru diabaikan. “Ceritanya guru itu ingin punya mobil. Terus dia berusaha sebisa mungkin agar mendapat tunjangan sertifikasi. Sampai-sampai kewajibannya mengajar ditinggalkan,” tutur Riza.
Di sekolah, para siswa yang terlantar pun semakin buruk tingkahlakunya. Meniru gaya anak kekinian, seperti yang biasa terpampang di layar televisi. “Karena siswa tidak punya panutan yang bisa mengarahkan,” kata Riza.
Persoalan itu akhirnya dapat ditangani dengan munculnya Rahma Dian Sekar Pramesthi sebagai pemeran guru sejati. Penampilan Sekar digambarkan keluar dari bumi. Memberi pencerahan kepada siswa tentang perilaku mereka yang keliru. “Tembang pangkur itu isinya nasehat-nasehat yang bagus bagi siswa,” pungkas dia.
Terlepas dari alur cerita teaternya, Sekar masih yakin, sampai saat ini masih ada sosok guru yang sejati. Mengajar tidak sekadar pekerjaan untuk mendapat bayaran. Tapi mendidik agar siswa menjadi cerdas dan bermoral.
Burhanul Fatiq Soeharto yang menyutradarai teater itu mengatakan, dirinya ingin memberikan kritik sosial terhadap dunia pendidikan kini. Ketika perkembangan zaman menggerus moralitas anak, maka jawabannya adalah mendekatkan pendidikan dengan budaya. Tembang pangkur adalah simbol budaya yang tepat untuk diperhatikan setiap pendidikan. “Jangan sampai semua proses di sekolah yang menghabiskan banyak waktu, tenaga dan uang itu denan mudah dimentahkan oleh tayangan televisi,” pungkas Burhan.
Dalam festival tersebut, sedikitnya 50 kelompok teater dari jenjang SMA/SMK se Jatim terlibat. Ketua Penyelenggara FSP Inggrit Endarwati menuturkan, festival ini spesial karena digelar sebagai salah satu rangkaian dies natalis UM Surabaya. Inggrit berharap, masa depan seni dan budaya di Jatim akan terpupuk subur di tangan para pelajar. [Adit Hananta Utama]

Tags: