Darurat Bencana Beruntun

foto ilustrasi

Bencana alam datang bersambungan, makin mendera ke-darurat-an. Longsor di Sumedang (Jawa Barat) dengan korban jiwa sebanyak 30 orang belum tertangani tuntas. Sudah menyusul bencana gema bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter, mengguncang Majene (Sulawesi Barat). Disusul banjir bandang akibat meluapnya sungai-sungai besar di Balangan, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Puluhan ribu warga harus di-evakuasi.

Guncangan gempa sampai meruntuhkan kantor gubernur Sulawesi Barat di kabupaten Mamuju. Bangunan-bangunan terbesar di ibukota propinsi Sulawesi Barat juga runtuh. Rumah sakit, dan hotel terbesar runtuh. Banyak rumah penduduk roboh, rata dengan tanah. Pemerintahan Sulawesi Barat, lumpuh. Status darurat bencana telah nyata, mendahului pengumuman penetapan pemerintah. Tim penolong daerah (dan masyarakat) bekerja sendiri menyelamatkan diri. Termasuk pasien yang menyelamatkan diri walau dalam keadaan sakit (dengan slang infus).

Harus diakui, perhatian pemerintah pusat terfokus pada pandemi CoViD-19. Serta penanganan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air di perairan kepulauan Seribu, Jakarta. Dikerahkan daya (personel dan sarana peralatan) sangat besar. Begitu pula BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang terlanjur fokus pada urusan percepatan penanganan CoViD-19, sebagai prirotas kedaruratan utama nasional.

Sesuai UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status darurat bencana dinyatakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Bisa jadi, dampak gempa bumi Mamuju berstatus darurat nasional. Karena pemerintahan Sulawesi Barat lumpuh. Seperti gempa bumi Lombok (Juli 2018), serta Poso (Setember 2018). Dengan status darurat nasional, pemerintah akan memperoleh dukungan internasional. Saat itu pemerintah memperoleh komitmen 18 negara sahabat, membantu penanganan dampak gempa.

Bantuan internasional sesuai kebutuhan, termasuk berbagai jenis sarana dan jasa. Diantaranya, pesawat angkutan yang bisa mendarat pada landasan pacu pendek (2.000 meter). Selain itu juga dibutuhkan penjernihan air (untuk kebutuhan konsumsi dan kebersihan), tenda, dan gen-set pembangkit listrik. Serta rumahsakit (RS) lapangan dan tenaga medis.

Suasana kesengsaraan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pandemi CoViD-19, terasa makin dramatik. Seketika ditemukan 34 korban jiwa dibawah reruntuhan puing gedung. Regu penolong yang dikerahkan Basarnas masih coba mengevakuasi korban lain, terutama yang masih hidup. Serta membangun tenda perawatan darurat pasien di luar rumah sakit. Selain rumah sakit Mitra Manakkarra, di Mamuju juga terdapat RSUD Regional propinsi Sulawesi Barat, yang tergoncang.

Gempa terjadi dua kali, berselang 12 jam. Gempa bumi (pertama) terjadi pada hari Kamis (14 Januari) sore waktu Indonesia tengah, berkekuatan 5,9 SR. Gempa kedua pada hari Jumat dinihari, lebih dahsyat (berkekuatan 6,2 SR), dan lebih lama mengguncang. Pusat gempa berada di timur laut Malunda kabupaten Majene (sekitar 100 kilometer arah selatan Mamuju).

Banyak warga terjebak (tertindih) reruntuhan, menambah kisah dramatik upaya pertolongan. Setelah terliput luas media sosial, kini bantuan penanganan evakuasi korban gempa Mamuju disokong kekuatan nasional. Terutama dari Kementerian, TNI, Polri, BNPB, Basarnas. Termasuk bantuan pangan, obat-obatan, pakaian, dan peralatan berat.

Sokongan nasional juga wajib “dihadirkan” di Kalimantan Selatan yang terdampak banjir. Beberapa sungai meluapnya, antaralain, sungai Balangan, sungai Batang, Tabuk, dan sungai Martapura. Lebih dari 70 ribu warga terdampak banjir, sepertiganya mengungsi. Dibutuhkan banyak perahu karet untuk mengevakuasi warga di pedalaman.

Bencana beruntun bisa menjadi keniscayaan, karena wilayah Indonesia berada di “punggung” lempeng tektonik. Di berbagai daerah gempa bumi telah menjadi legenda. Maka diperlukan manajemen penanganan bencana yang datang beruntun dengan pola sistemik, sesuai keparahan bencana. Serta asas penyelamatan korban menjadi prioritas.

——— 000 ———

Rate this article!
Darurat Bencana Beruntun,5 / 5 ( 1votes )
Tags: