Degradasi Etika Sosial Budaya Dalam Potret Masyarakat Jawa

Judul Buku : Pasar
Penulis : Kuntowijoyo
Tahun : 2017
Cetakan : 1 (Pertama)
Penerbit : DIVA Press dan Mata Angin
Tebal : 378 Halaman
Harga : Rp 72.000,-
ISBN : 978-602-391-373-2
Peresensi : Suci Puspita Sari
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

Novel Pasar merupakan karya sastra karangan Kuntowijoyo pada tahun 1971. Novel ini menceritakan budaya masyarakat dengan mengangkat realitas kehidupan yang terjadi pada masa itu. Khususnya masyarakat Jawa dengan aktivitas dan konflik yang digambarkan dengan cerita yang sederhana. Latar cerita novel ini terjadi di kecamatan Gemolong. Tokohnya pun tidak terlalu banyak, tetapi novel ini sarat akan makna. Novel ini menceritakan tentang lunturnya nilai-nilai Jawa seperti sikap, jiwa, dan unsur kebudayaan yang selama ini dijadikan pedoman dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Kuntowijoyo adalah sastrawan dan budayawan Jawa yang pandai memadukan unsur budaya di masyarakat dengan rangkaian kata yang indah, sehingga tercipta sebuah novel yang sangat menarik untuk dibaca. Saat membaca novel ini, seolah-olah pembaca diajak untuk menyadari keadaan adanya nilai-nilai Jawa yang telah luntur dan ditinggalkan masyarakat Jawa seiring perkembangan zaman. Nilai-nilai Jawa semestinya dipegang teguh dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai tersebut antara lain mawas diri, samadya (tidak memaksakan kehendak), unggah-ungguh (sopan santun), sabar, jujur, dan sebagainya .
Novel Pasar menceritakan perubahan sosial masyarakat yang menjadi konflik antar tokoh dalam cerita. Konflik dialami para tokoh dari kelas priyayi (Pak Mantri sebagai mandor pasar), wong cilik (Paijo sebagai pegawai pasar), birokrat (Camat dan Polisi), pedagang kapitalis (Kasan Ngali), serta tokoh pendukung seperti Siti Zaitun (pegawai bank pasar). Konflik yang terjadi, kemudian diangkat menjadi permasalahan utama oleh Kuntowijoyo dengan bahasa yang ringan dan jenaka.
Cerita beralur maju, diawali dengan menceritakan tokoh Pak Mantri sebagai tokoh utama. Pak Mantri adalah mandor pasar yang tua berumur lebih dari enam puluh tahun dengan sikap tanggung jawab, sabar, serta selalu menjunjung tinggi kebudayaan Jawa. Di usianya yang sudah menua, hanya burung-burung peliharaannyalah yang menjadi hiburan. Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawai yang bernama Paijo untuk menjalankan tugasnya sebagai mandor pasar. Paijo bertugas sebagai penarik karcis dari pedagang, tukang sapu, serta mengurus burung peliharaan Pak Mantri.
Paijo gambaran wong cilik dengan sikap setia, sangat memegang teguh nilai kesopanan, dan tidak tergiur oleh materi. Ia beranggapan kehormatan tidak dapat dibeli dengan uang. Konflik mulai muncul saat pedagang pasar tidak mau membayar karcis pasar (pajak). Hal ini membuat Pak Mantri Marah. Sakit hati semakin bertambah saat Siti Zaitun pegawai bank pasar ikut membenci hewan peliharaannya. Bank pasar yang dipegang Zaitun menjadi sepi karena kurangnya pedagang pasar yang menabung. Hal ini terjadi akibat ulah burung-burung peliharaan Pak Mantri yang memakan keuntungan para pedagang. Kemarahan Pak Mantri justru membuatnya mawas diri dalam menyelesaikan permasalahan.
Sikap Pak Mantri sangat bertentangan dengan Kasan Ngali sebagai pedagang kapitalis yang sangat serakah dan sombong. Kasan Ngali telah terpengaruh oleh arus perubahan. Ia tidak lagi memegang teguh nilai-nilai Jawa. Ia suka menimbun dagangan yang dibelinya dari pedagang dengan harga murah, kemudian dijual kembali pada musim paceklik dengan harga yang mahal. Bermain wanita dan tidak pernah puas dengan kekayaan yang dimiliki adalah kebiasaan buruknya. Berbagai macam cara ia lakukan untuk mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan kerugian yang dialami orang lain.
Dalam menghadapi perubahan di masyarakat, Pak Mantri sangat menghindari dan membenci watak adigung (sombong) yang meremehkan orang lain karena pangkat dan kepandaian. Sifat sombong sangat lekat dengan Kasan Ngali. Ia beranggapan bahwa uang bisa membeli segalanya, merendahkan orang lain, membeli orang pasar, membeli burung dara, dan mendapatkan perempuan. Di tengah perubahan sosial yang terjadi, Pak Mantri masih memegang teguh budi luhur. Ia berusaha menjalankan kehidupan dengan segala sifat-sifat mulia yang diajarkan Tuhan. Kejujuran dan kesetiaan menjadi kunci utama bagi Pak Mantri dalam menjalankan tugas.
Masalah sosial budaya juga tergambar pada kesenian Jawa yaitu ketoprak. Seiring perkembangan zaman, ketoprak mulai luntur jiwanya. Hal ini terjadi karena kesenian ketoprak disalahgunakan untuk keuntungan bisnis. Kesenian ini, memanfaatkan perempuan cantik sebagai penari dan bahkan menampilkan adegan pornografi untuk memikat pelaris. Nilai-nilai Jawa yang seharusnya menjadi jiwa bagi masyarakat tidak lagi dipikirkan. Hal ini menggambarkan potret perubahan masyarakat yang mulai meninggalkan nilai leluhur yang dianut.
Pak Mantri dan Paijo merupakan gambaran manusia yang tetap memegang teguh nilai-nilai Jawa di tengah gelombang perubahan yang menerpa. Nilai-nilai Jawa yang tetap dipegang teguh membuat keduanya lebih bijaksana dan bermartabat dalam menghadapi setiap permasalahan. Keduanya menjadi pemenang dalam konflik yang terjadi. Kemenangan itu diperoleh tanpa menjatuhkan lawan dan senantiasa memegang teguh nilai-nilai jawa sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat.
Pesan yang terkandung dari novel ini adalah kebaikan akan menang melawan kejahatan dan sebaliknya. Tindakan kejahatan dan penindasan tidak perlu dibalas dengan kejahatan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, sejatinya ajaran leluhur memiliki makna dan aturan dalam mengambil keputusan sebagai wujud sikap bijaksana, sehingga nilai-nilai leluhur perlu dijaga dan dilestarikan bagi kemaslahatan umat manusia.

———- *** ————

Tags: