Desak Importir Segera Penuhi Janji Beli Gula Petani Kabupaten Malang

Ketua DPD APTRI PG Kebonagung Dwi Irianto

Kab Malang, Bhirawa
Dewan Pimpinan Daerah Asosisasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPD APTRI) Pabrik Gula (PG) Kebonagung, Kabupaten Malang berharap agar gula pasir yang menumpuk di dua gudang, yakni PG Kebonagung, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji dan PG Krebet Baru, Desa Krebet, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, yang totalnya mencapai 62 ribu ton segera terjual.
Dan dirinya, kata Ketua DPD APTRI PG Kebonagung Dwi Irianto, Senin (1/2), kepada wartawan, juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang melakukan mediasi ke Pemerintah Pusat, agar importir yang sebelumnya sanggup membeli gula milik petani tebu Kabupaten Malang, segera memenuhi janjinya untuk membeli gula yang kini menumpuk di dua PG Krebet Baru dan PG Kebonagung.
“Dan jika gula yang belum segera terjual, maka akan membawa persoalan baru pada petani tebu di wilayah Kabupaten Malang,” ujarnya.
Ditegaskan, dirinya selaku Ketua DPD APTRI PG Kebonagung sudah mengirim surat kepada Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo, serta ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. Sehingga dengan berkirim surat kepada Presiden dan dua menteri tersebut, tentunya agar segera memperhatikan keluhan petani tebu di Kabupaten Malang, yang mana hingga kini puluhan ribu ton gula belum terjual.
Menurut Dwi, penumpukan gula petani yang belum terserap saat ini adalah karena impor gula yang didatangkan oleh Pemerintah Pusat terlalu berlebihan. Hal ini karena di tengah Pandemi Covid-19 ini, tingkat konsumsi gula secara nasional berangsur turun, dan seharusnya jumlah impor gula juga dapat ditekan. “Sebab, sekarang tingkat konsumsinya turun, berarti kebutuhannya kan turun, tapi kenapa jumlah impornya itu tetap besar,” kata dia.
Dijelaskan, seharusnya dari kalkulasi gula impor yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan Gula Kristal Putih (GKP) atau untuk konsumsi hanya sebesar 600 ribu ton. Sedangkan untuk GKP, kebutuhannya secara nasional itu seberat 2,7 juta ton hingga 2,8 juta ton. Dan untu tingkat produksi GKP secara nasional itu ada di angka 2,1 juta ton. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gula, hanya kurang 600 ribu ton. Namun, sekarang impor gula mencapai 1,4 juta ton sampai 1,5 juta ton.
“Berarti ada kelebihan impor raw sugar atau gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari tebu, yang disebut GKP. Sedangkan GKP yang diimpor itu seberat 800 ribu ton,” ungkap Dwi.
Dari gula impor itulah, tegas dia, maka yang menyebabkan gula lokal hasil produksi tebu petani menjadi tidak terserap, dan tidak mendapat tempat dipasaran. Sedangkan gula petani tebu yang tidak terserap, tidak hanya di Kabupaten Malang saja, tapi juga terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Sebenarnya, impor raw sugar untuk Gula Kristal Rafinasi (GKR) juga dinilai masih berdampak.
Karena, Dwi melanjutkan, GKR yang seharusnya dipruntukkan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman, malah dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk dijual bebas, dan bersaing dengan GKP. Sedangkan untuk gula rafinasi, harga pokok produksinya hanya sebesar Rp 7.500 per kilogramnya. Dan untuk GKP, harga pokok produksinya mencapai Rp 10.900. Sehingga dengan harga gula rafinasi tersebut, maka banyak yang bocor dijual seperti gula konsumsi pada umumnya.
“Kebocoran yang terjadi ada di mana-mana. Dan jika dilihat dari harga pokok produksinya saja sudah jauh lebih murah. Sehingga hal itu yang menyebabkan gula lokal milik petani tebu di Kabupaten Malang masih menumpuk di dua gudang PG, dan belum terjual,” tandas dia. [cyn]

Tags: