Di Surabaya Pelaksanaan Program Nasional Maskin Tak Jelas

(Pemerintah Pusat Tak Koordinasi dengan Daerah)
DPRD Surabaya,Bhirawa
Program kesejahteraan masyarakat, utamanya bagi masyarakat miskin dari pemerintah pusat di Surabaya tidak berjalan seperti yang dijanjikan. Setidaknya dua program pemerintah pusat , kartu Indonesia Pintar dan dan voucher pangan dinilai tidak berjalan dengan baik.
Pemerintah pusat diharapkan berkoordinasi lebih intensif dengan pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan wilayah agar program yang dijalankan optimal dilaksanakan. Selama ini dua program tersebut langsung dikendalikan pemerintah pusat tanpa campur tangan Pemkot.
Ketua Komisi D, Agustin Poliana, menyebut kekhawatirannya atas program voucer pangan di kota Surabaya yang merupakan program pemerintah. Sampai saat ini, lanjut Agustin, sebagaimana dikatakan pihak Kementerian Sosial, belum ada petunjuk pelaksanaan(juklak) ataupun petunjuk teknis(juknis) atas program tersebut.
“Menurut Kemnterian Sosial memang Peraturan Presiden(PP)-nya masih menunggu akhir Februari nanti. Belum tahu kapan turunnya. Yang kami sayangkan ternyata Surabaya sebagai pilot project voucher pangan ini sudah dilakukan tahun lalu, tidak ada yang tahu atau dilaporkan ke dewan,” tutur Agustin yang baru memimpin Komisinya ke Kemensos pekan lalu itu.
Jika dilihat dari programnya, lanjut Agustin, voucher pangan ini cukup bagus untuk membantu masyarakat miskin dan mengganti mekanisme Rastra yang kerab bermasalah. Namun, kritiknya, besaran voucher yang diberikan pemerintah sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan layak di kota Surabaya.
” Per bulan cuma diberi jatah Rp110 ribu, kan tidak cukup, mau beli apa segitu meski harga di e Warong- lebih rendah,” tuturnya di ruang Komisinya, Senin(23/1).
Agustin juga mengkritik penentuan penerima vocher pangan yang jumlahnya cukup kecil jika dibandingkan dengan masyarakat miskin di kota Surabaya. Menurutnya dari sekitar 100 ribu lebih keluarga miskin yang terdata di Pemkot Surabaya, penerima manfaat vocher pangan hanya sekitar 72.590 KK.
“Jumlahnya masih kecil, kalau diberikan dengan mekanisme voucher seperti ini jelas tidak merata. Bagimana kalau ada yang protes, yang kena kan Pemkot,” terangnya.
Menurutnya pemerintah pusat harus berkoordinasi lebih intensif dengan pemerintah daerah sebelum menggelar program utamanya terkait masalah kemiskinan.
Sementara itu wakil ketua Komisi D, Junaidi mengaku menemukan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang sejak diterima belum bisa dipergunakan sampai saat ini. “Dari hasil reses sudah dua kasus yang tersampaikan kepada saya mengenai KIP ini. Semuanya sama sejak menerima sampai enam bulan ini belum bisa dipergunakan sama sekali,” ujar Junaidi di tempat yang sama.
Terkiat hal ini, lanjut Junaidi, pihak legislative kota Surabaya maupun Pemkot Surabaya tidak bisa meindaklanjuti, Karen program ini merupakan program langsung dari pemerintah pusat ke personal penerima.
Sayangnya, lanjut Junaidi, tidak ada mekanisme yang melibatkan pemerintah d aerah untuk setidaknya memantau atau menjadi saluran penghubung program andalan Persiden Joko Widodo ini. “Si penerima sudah tanya ke sana ke mari bahkan di sekolah. Karena memang bantuan langsung ya sekolah tidak bisa apa-apa. Sayangnya tidak ada saluran untuk mengurus KIP di daerah,” ujarnya.
“Ini program baik dari pemerintah pusat, tapi realisasinya tak sesuai fakta,” paparnya. Senin (23/1)
Program Indnesia Pintar yang dijalankan melalui Kartu Indonesia Pintar merupakan kelanjutan bantuan siswa miskin yang mencakup siswa dari jenjang pendidikan SD hingga SMA/SMK dan siswa yang belajar di Pusat Kegiatan Belajar (PKBM), anak jalanan, difabel, dip anti asuhan yang masih usia sekolah dari keluarga ekonomi terendah. Tujuannnya, meninghkatkan akses pelayanan pendidikan, mencegah anak putusa sekolah, dan menarik siswa yang drop out.
Junaedi berharap, realsiasi program Indonesia pintar sesuai dengan rencana yang disusun oleh Kementrian Pendidikand an Kebudayaan, agar masyarakat kecil yang menerima layanan tersebut bisa menikmatinya.
“jangan sampai masyarakat sudah menunggu, tapi realisasinya gak ada,” katanya
Wakil Ketua Komisi D ini mengatakan, bantuan pendidikan yang diberfikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sistemmya transaksional langsung ke penerima melalui kartu Indonesia Pintar yang dibagikan. Namun demikian, Junaedi meminta, pihak kementrian melakukan koordinasi dengan pemerintah kota, agar data penerima valid, dan program tersebut bisa berjalan dengan baik.
“Bisa saja penerimanya tak ada, atau pindah,” tuturnya.
Untuk itu Junaidi mengimbau agar pemerintah pusat melibatkan pemerintah daerah dalam menjalankan program-program berskala nasional seperti KIP atau Rastra. Dengan jelasnya mekanisme pelaksanaan dan melibatkan derah, lanjut Junaidi, maka masyarakat tidak bingung untuk mengurus dan bertanya. [gat]

Tags: