Dibalik Kerumunan

Oleh : Moh Rasyid
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ada satu dimensi yang rupanya tidak cukup banyak ditangkap oleh orang-orang ditengah debat kusir tentang “kerumunan” beberapa bulan terakhir; menguatnya eksklusivisme keagamaan. Kerumunan bukan saja soal kebijakan pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19. Lebih jauh, ia juga menyangkut bagaimana sikap eksklusif dalam beragama itu kemudian bereproduksi secara kasat mata.

Kata “kerumunan” selama hampir satu tahun ini menjadi kata yang begitu menakutkan. Belakangan ia identik dengan pelanggaran, pembangkangan terhadap rezim, kepongahan, dan bahkan kematian. Meski secara kodrati manusia tidak bisa lepas dari geliat kerumunan (baca; berkerumun), dalam situasi tidak ideal ternyata Covid-19 memutarbalikkannya dengan alasan keselamatan.

Kasus Habib Rizieq Shihab (HRS), misalnya, merepresentasikan asumsi betapa kerumunan itu menakutkan. HRS dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus kerumunan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, dan Petamburan, Jakarta Pusat. Polemik ini memang sulit untuk bisa diterima sebagai kebenaran absolut, minimal dari sisi politik. Apa yang disangkakan terhadap HRS yang membuatnya harus mendekam di Rutan Polda Metro Jaya, berbanding terbalik dengan aspirasi para pengikutnya.

Dalam konteks bahwa pemerintah hendak menindak tegas para pelanggar protokol kesehatan selama masa pandemi, maka apa yang menimpa HRS sesungguhnya sangat wajar dan bisa diterima secara logika hukum. Soal apakah kehendak itu juga berlaku bagi kelompok/orang lain-khususnya yang satu afiliasi secara politik dengan pemerintah-yang juga membuat dan atau mengundang kerumunan, masih menuai kontroversi dan belum bisa diterima dalam pikiran kolektif.

Perdebatan tentang “kerumunan” belakangan mengemuka di ruang-ruang publik. Perdebatan itu bertolak dari sikap dan kebijakan pemerintah yang, oleh sebagian pihak, dianggap tidak adil, meski, sudah adil menurut pihak yang lain. Klaim kebenaran semacam ini lumrah dalam konteks percakapan politik elektoral, jika kita sepakat atas slogan “All is Relative” -nya Michael Fackerell dan “Teori Relativitas” -nya Albert Einstein (1879-1955 M).

Tapi saya tidak bermaksud menyeret tema “kerumunan” ini pada wilayah politik. Demikian halnya dengan kasus HRS, yang sudah cukup banyak dibahas oleh banyak orang sehingga tidak perlu diulang disini. Kembali ke poin pragraf awal tulisan ini; kerumunan turut mereproduksi eksklusivisme keagamaan.

Kelompok Islam moderat umumnya mengidentifikasi alasan seseorang bersikap eksklusif dalam beragama sekurang-kurangnya karena dua faktor mendasar; doktrin ajaran dan pemahaman (Ahmad Fuadi, 2018). Kesimpulan ini benar dalam perspektif teologis dalam kaitannya dengan eksklusivisme. Tapi perspektif ini tidak cukup merepresentasikan corak keberagamaan masyarakat Indonesia yang cenderung organik atau condong pada kelompok/organisasi yang diikutinya.

Oleh karena itu upaya-upaya lain untuk mencari konteks yang tepat dalam memahami eksklusivisme keagamaan ditengah kelompok/organisasi keagamaan sangat dibutuhkan, perspektif sosiologis misalnya. Ini sejalan dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang sulit dipisahkan dari manusia lain dan berkelompok atau berkerumun. Meminjam istilah sosiolog terkenal asal Prancis, Emile Durkheim, manusia bersifat homo duplex.

Bagi Durkheim, manusia sebagai homo sapiens bersifat homo duplex atau dualitas; pertama, hidup dalam dunia profan dan yang kedua dalam dunia sakral. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, manusia bisa berinteraksi dengan manusia lainnya tanpa harus kehilangan otonominya sebagai individu yang merdeka. Tapi ada moment-moment tertentu dimana manusia yang semula sebagai individu yang otonom, kadang-kadang bisa terbang menuju suatu kelompok dan menjadi bagian vital darinya. Dalam kondisi inilah kedirian dan otonomi manusia tak jarang lenyap dalam logika kelompok.

Fase transformasi manusia individu yang otonom menjadi bagian dari kelompok inilah logika sakral; suatu momen dimana individu masuk ke dalam satu irama kelompok yang kolektif. Dalam kondisi ini, manusia secara gradual dipaksa agar seirama dalam pemikiran, tindakan, keputusan politik dan sikap sosial-keagamaan. Disinilah ketergantungan individu dengan individu-individu lainnya dimulai, dalam satu wadah yang sama bernama “kelompok”. Konsekuensinya, kebenaran pada akhirnya bersifat tunggal-relatif eksklusif-karena ditakar menurut interpretasi kelompoknya sendiri. Dan, interpretasi kelompok lain terhadap “kebenaran” karenanya kehilangan validitasnya.

Bagaimana kecenderungan itu terejawantah dalam konteks Covid-19?

Konsekuensi logis atas kebijakan physical distancing, social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga lockdown adalah mengurangnya-jika enggan menyebut tidak adanya-perkumpulan (kerumunan) seperti saat sebelum pandemi tiba. Dalam situasi yang serba terbatas, alih-alih bersikap eksklusif dalam pandangan keagamaan, larut dalam kebenaran tunggal. Masyarakat kita relatif lebih kompak dalam menyikapi kebijakan-kebijakan sosial-keagamaan selama masa pandemi.

Momen yang tepat untuk mengilustrasikan sekaligus menguji teori sosiologi Durkheim ini, salah satunya, adalah kebijakan pemerintah, NU, Muhammadiyah, dan MUI tentang penangguhan sholat Jumat yang kemudian diterima dalam pikiran kolektif. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita tidak menutup diri dari hal-hal yang bisa jadi berseberangan dengan pandangan subjektivitasnya. Tentu saja keterbukaan ini hadir bukan tanpa alasan. Selain karena ingin menghindari penyebaran coronavirus, mengurangnya interaksi sosial (secara vis a vis) juga memberikan dampak bagi keterbukaan kita terhadap berbagai pandangan keagamaan.

Inilah yang saya maksud dengan “sisi lain” dibalik kerumunan itu. Penting digarisbawahi, dengan mengatakan ini semua, tidak berarti saya lantas berharap agar pandemi Covid-19 tidak segera berakhir sehinga tetap terhindar dari “kerumunan” yang turut mereproduksi gejala eksklusivisme. Justru, proposisi ini menjadi salah satu ibrah penting dikemudian hari kala pandemi sudah berakhir, sehingga kita bisa berkumpul dan berkerumun seperti sedia kala tanpa harus membangkitkan ulang gejala eksklusivisme keagamaan yang belakangan relatif mulai terurai.

Wallahu a’lam…!!!

——– *** ——–

Rate this article!
Dibalik Kerumunan,5 / 5 ( 2votes )
Tags: