Dilema Mencegah Pergerakan Manusia

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, alumni Hosei University, Tokyo

Hari ini salah satu cara pencegahan penyebaran virus yakni mengelola pergerakan masyarakat daerah episentrum virus atau zona merah agar tidak menyebar pada daerah atau lokasi lain. Tampaknya, di tengah kekhawatiran menjelang tradisi mudik lebaran, langkah-langkah ini dilakukan pemerintah pusat sampai pemerintah RT/RW se Indonesia.
Presiden Jokowi menghimbau warga agar tidak mudik. Ia juga menegaskan kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Gubernur DKI Jakarta mengusulkan karantina wilayah, sementara itu sebagian besar pemerintah kota/kabupaten melakukan lockdown lokal. Sedangkan di desa atau kelurahan, warga secara mandiri menutup jalan-jalan utama dan gang-gang sebagai karantina “kecil”.
Sekalipun kebijakan tersebut strategis, tetapi perlu dikaji efektivitasnya karena sebagai kebijakan kependudukan langkah di atas kolektif, disengaja dan memperhitungkan perubahan sosial (Katherina Organski dan A.F.K Organski, 1961). Ini artinya kebijakan akan mempengaruhi pola pergerakan penduduk yang akhirnya berimbas pada pemenuhan kebutuhan dan nasib jutaan manusia yang tinggal di daerah-daerah.
Untuk itu maka pertanyaannya, benarkah masyarakat akan menaati kebijakan ini? Benarkah pemerintah konsisten menerapkan kebijakan dan akhirnya benarkah kebijakan ini menuai dampak atau konsekuensi seperti kita harapkan?
Kebijakan yang sebatas “latah” atau ikut-ikutan biasanya tidak memiliki target dan bisa dipastikan percuma atau meminjam istilah antropolog Clifford Geertz, involutif yakni aktivitas yang terlihat “ramai” tapi sebenarnya tidak melakukan apa-apa. Untuk itu perlu kita kritisi bersama.
Menurut penulis, sepanjang tidak mempertimbangkan secara serius penerima dan pelaksana kebijakan, maka kebijakan di atas tidak akan efektif. Penerima kebijakan yakni masyarakat dan pelaksana kebijakan yakni pemerintah berbagai lini.
Masyarakat menjadikan migrasi sebagai cara hidup (way of life) dimana kental faktor penarik dan pendorong interaksional, kultural dan struktural. Persepsi sosial tentang penyakit dan kematian (mortalitas) penerima dan pelaksana kebijakan tidak sama. Pemerintah menyosalisasikan pencegahan penyakit dengan social distancing dan work for home sementara masyarakat menilai diri mereka sehat-sehat saja dan tidak perlu social distancing. Masyarakat yang “melek” literasi kecenderungannya akan lebih sadar tentang ancaman virus, tetapi untuk masyarakat miskin informasi cenderung menganggap penyakit ini tidak membahayakan sehingga dianggap angin lalu.
Formulasi, pembuatan, implementasi kebijakan sendiri juga menjadi masalah tersendiri. Performance kebijakan di daerah masih belum banyak menangkap kegelisahan masyarakat ini.Misalnya, penutupan jalan yang dilakukan masyarakat lokal merupakan keputusan akar rumput (grassroot) dan tidak terkoordinasi dengan struktur pemerintah diatasnya.
Kebijakan tidak satu komando, keputusan walikota atau bupati tidak sinergis dengan keputusan Gubernur, dan keputusan para kepala daerah tersebut sering tidak mudah dijalankan oleh rantai birokrasi dibawahnya. Kalaupun dijalankan tidak ada jaminan eksekusi seperti direncanakan. Pada kondisi seperti ini masyarakat bingung mengikuti instruksi para pemimpinnya.
Belum lagi implementasi kebijakan. Benarkah aparat mengetahui target kebijakan? Benarkah eksekusi benar-benar konsisten? Contoh paling gampang misalnya kita semua tahu bahwa menggunakan masker adalah standard pencegahan virus, tapi dilapangan banyak warga yang melanggar dan pemerintah tidak memberikan sanksi tegas. Belum lagi, monitor terhadap warga berstatus di bawah pemantauan (ODP), benarkah kesemuanya telah dijalankan dengan baik?Kemudian pelaporan warga setelah bepergian dari luar kota, apakah benar-benar dilakukan RW atau RT?

Langkah-Langkah Penting
Penulis setuju bahwa tidak elok menyalahkan pihak-pihak yang sudah bekerja keras menangguli wabah, mengingat kita sedang “berperang” dengan bencana non-alam, tetapi evaluasi dan monitoring kebijakan adalah harus, demi kebaikan kebijakan itu sendiri. Kita akan menjaga kebijakan sesuai tujuan & sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin & mengurangi resiko lebih besar dan tindakan modifikasi cepat dilakukan (Subarsono, 2006: 114)
Untuk itu, penulis mengusulkan langkah-langkah yang bisa dieksekusi pemerintah, sebagai berikut. Pertama, kebijakan berbasis karakter masyarakat. Karakter keruangan (space), sikap, pola pikir dan pola migrasi penduduk harus diperhatikan. Perbedaan warga bisa berdasarkan strata sosial ekonomi, pendidikan dan etnis. Kekhasan lokalitas ini perlu dimasukan untuk bahan kebijakan. Gampangnya, karakter masyarakat di gang-gang sempit di DKI Jakarta tidak sama dengan penduduk yang tinggal di pegunungan yang jauh dari kepadatan penduduk, maka model kebijakan juga tidak sama.
Kedua, koordinasi antarpemerintahan. Mobilitas sosial adalah lintas daerah, oleh karena itu kebijakan pergerakan menyangkut wilayah lintas kelurahan, kota kabupaten, provinsi, maka koordinasi vertikal dengan pemangku kepentingan perlu dibangun, seperti kabupaten berkoordinasi dengan provinsi. Untuk itu semua stakeholders harus memprioritaskan kepentingan bersama, tidak ada bias kekuasaan vertical karena keselamatan warga lebih penting dari pada kepentingan pragmatis lain.
Demikian pula, koodinasi horizontal perlu dilakukan antar wilayah bertetanggaan. Ego wilayah dikesampingkan karena pergerakan masyarakat tidak dibatasi satu kesatuan administratif dan geografis. Untuk itu, agar memayungi kepentingan banyak orang, keputusan karantina wilayah adalah produk bersama. Tidak bisa karantina diputuskan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah atau karantina satu kota tanpa melibatkan pengambil keputusan kota-kota tetangga. Melindungi warga maksudnya tidak hanya sebatas warga di daerah masing-masing saja, tapi keseluruhan.
Ketiga, kepemimpinan formal dan informal. Keberhasilan pengendalian wabah menjadi sesungguhnya sangat ditentukan kerja keras para pemegang sumber daya (resources), baik sumber daya politik, ekonomi maupun kultural. Untuk itu tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat harus menunjukkan kepemimpinan mereka dengan cara mengundang tokoh-tokoh dan aktivis komunitas yang selama ini terlibat pada program pemberdayaan masyarakat dan kesiapsiagaan bencana. Bukankah sudah banyak skema pemberdayaan seperti PNPM Mandiri, Kota tanpa kumuh, komunitas siaga bencana yang menghasilkan kader-kader komunitas? Mereka lebih memiliki ketrampilan berorganisasi dan pengembangan masyarakat (community development). Kalau tidak dilibatkan untuk kepentingan hari ini, untuk apa mereka dilatih selama ini?+
————- *** ————

Rate this article!
Tags: