Disinyalir Gagal Barter Politik-Pembelajaran

Pilkada (9999999)Penundaan Pilkada Surabaya
Surabaya, Bhirawa
Penundaan Pilkada Surabaya direaksi banyak kalangan. Salah satunya para pengamat politik. Pengamat politik sekaligus Koordinator Parleme Watch Jatim Umar Salahudin menilai kesan adanya barter politik yang tidak mulus antara Pilkada Surabaya dengan Pilkada Pacitan memang nampak, sehingga membuat kedua daerah itu gagal melaksanakan pesta demokrasi pada 2015.
“Indikasi ini muncul karena di Pacitan, PDIP gagal mengusung calonnya untuk menghadapi petahana dari Partai Demokrat. Begitu pula di Surabaya, Partai Demokrat gagal mengusung calonnya untuk bertarung dengan petahana dari PDIP,” kata Umar Salahudin, Selasa (4/8).
Menurut dia, calon yang diusung dalam Pilkada tersebut bisa jadi juga calon boneka. Ini karena mereka mendaftar pada saat injury time. “Ketika mereka ingin tidak dikatakan calon boneka, seharusnya pasangan itu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan tidak mendaftar di saat detik-detik penutupan pendaftaran,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Umar menilai mundurnya pasangan calon yang hendak melawan petahana ini dikarenakan pada tataran elit partai belum terjadi kesepatakan, misalnya, kesepakatan soal pendanaan serta kesungguhan untuk menggerakkan mesin partai guna pemenangan Pilkada.
Mengingat kedua hal itu belum disepakati, maka pasangan calon memilih mundur daripada harus menanggung semua biaya pemenangan. Jika tidak ada biaya pemenangan dan pasangan calon ini hanya berkampanye biasa-biasa saja, maka dugaan menjadi calon boneka semakin menguat.  “Memang biaya kampanye dan keperluan lain di Pilkada sudah dibantu pemerintah. Tapi kan ada biaya-biaya lain untuk pemenangan dan itu nilainya tidak kecil. Tinggal siapa yang akan menanggung itu. Calon boneka tidak akan mau,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, hal ini menunjukkan komunikasi politik antar-elit parpol sarat dengan politik transaksional. “Tidak ikhlas dan sungguh-sunguh mencalonkan kadernya atau pasangannya. Ini juga termasuk kalkuasi ekonomi yang belum clear,” ujarnya.
Dia juga menyebut mundurnya calon juga karena disinyalir tidak adanya bandar politik yang mau membiaya Pilkada dikarenakan risiko politik dan ekonomi terlalu mahal. “Pasangan calon boneka saya yakin tidak mau keluar duwit,” katanya.
Atas kondisi tersebut, ia menilai partai politik di Kota Surabaya gagal melakukan kaderisasi atau mencetak para calon pemimpin daerah pasca tragedi calon tunggal dalam Pilkada Surabaya 2015 yang gagal digelar.  “Lagi-lagi ini wujud kegagalan parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik dalam menyiapkan kadernya untuk jadi pemimpin daerah. Kenapa harus mengimpor orang luar, selama ini ngapain saja parpol dalam menyiapkan Pilkada. Seandainya disiapkan  2-3 tahun lalu, maka calon tunggal tidak akan terjadi,” katanya.
Untuk diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya menyatakan pelaksanaan Pilkada Surabaya 2015 resmi ditunda hingga 2017 karena hanya diikuti satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota yakni Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana.
“KPU menunggu Senin hingga pukul 23.59 , namun pasangan bakal cawali dan cawawali Surabaya Dhimam Abror dan Haries Purwoko tidak hadir ke KPU untuk melengkapi berkas persyaratannya,” kata Ketua KPU Surabaya Robian Arifin saat menggelar jumpa pers pada Selasa (4/8) dini hari.
Menurut dia, usai menggelar rapat pleno bersama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), KPU memutuskan membuat berita acara pengembalian berkas syarat pendaftaran kepada pasangan calon Abror-Haris karena tidak lengkap dan dianggap tidak mendaftar.     “Karena tidak memenuhi persyaratan jadi belum diterima karena belum memenuhi persyaratan,” katanya.
Robiyan juga menyebut banyak persyaratan yang belum dipenuhi pasangan Abror dan Haries yakni SKCK, surat dari pengadilan tidak pernah dipidana, tanda terima Laporan Harta Kekakayaan dari KPK, surat pengadilan niaga tidak sedang dalam kepailitan.      “Ini tidak terpenuhi tapi bisa diganti surat pernyataan tapi tetap tidak terpenuhi karena salah satu calon tidak menandatangani,” ujarnya.
Saat ditanya, apakah Pilkada Surabaya 2015 resmi ditunda? Robian mengatakan pihaknya sudah komunikasi dengan KPU RI melalui KPU provinsi dan diminta menunggu 1-2 hari untuk menunggu surat edaran KPU RI untuk sebagai landasan dan pegangan.
Menurut Robiyan, Rabu (5/8) hari ini KPU pusat akan mengirimkan Surat Edaran (SE) kepada setiap KPU di kab/kota terkait penundaan Pilkada. Dari tujuh daerah, di Jatim ada tiga daerah yang terhenti proses tahapannya, yakni Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, dan Kota Surabaya.
Komisioner KPU Surabaya Purnomo menambahkan bahwa dalam Peratuan KPU (PKPU) tidak ditentukan jangka waktu penundaan sehingga pihaknya masih menunggu petunjuk dari KPU
Hal senada diungkapkan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Surabaya Wahyu Hariadi. Menurut dia, pihaknya sudah memberikan kesempatan menunggu hingga pukul 23.59  tapi hingga ditutup, persyaratan tidak bisa dipenuhi. “Pak Haries secara fisik ada tapi hanya sebentar karena secara legalitas tidak hadir. Kita tunggu dan beri kesempatan sampai 23.59 ternyata tetap tidak bisa memenuhi dan tidak hadir,” ujarnya.
Ada persyaratan administratif yang tidak lengkap, KPU juga belum memberi tanda terima sehingga dianggap belum mendaftarkan diri. Kita akan kembalikan berkas pasangan calon yang diusung Demokrat-PAN. Sudah tidak ada waktu lagi,” ujarnya.
Pengamat komunikasi politik dari Unair Suko Widodo menyebut penundaan ini menjadi pembelajaran Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menjabat di kursi pemerintahan. “Yang harus diingat oleh wali kota, bahwa menjalankan roda pemerintahan tidak bisa seorang diri, tapi harus bersama DPR dan berkomunikasi dengan partai politik di Surabaya,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (4/8).
Selama ini ia memandang sikap politik Tri Rismaharini masih kurang terbangun dengan semua partai politik, khususnya yang ada di parlemen atau DPRD Surabaya sehingga terlihat kurang harmonis. “Kalau secara fisik, Bu Risma memang sudah terbukti. Tapi secara hubungan dengan partai politik masih sangat kurang, bahkan terlihat jelas bagaimana hubungannya dengan partai pengusungnya sendiri dulu,” ucapnya.
Hal inilah, kata dia, yang menjadi salah satu faktor terhentinya proses kaderisasi karena tidak adanya proses komunikasi baik antara eksekutif dan legislatif. “Tidak ada partai politik yang menjalin komunikasi baik dengan wali kota untuk membahas persoalan Pilkada untuk mengantisipasi hal-hal yang awalnya tidak diduga seperti sekarang, yakni calon tunggal,” katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair itu mencontohkan sikap komunikasi politik yang dilakukan Gubernur Jatim Soekarwo dengan partai politik di provinsi setempat. “Soekarwo meski ketua partai, tapi dia bisa menempatkan posisinya. Atas nama gubernur, dia mengundang rutin semua pimpinan parpol untuk bersilaturahim dan membahas persoalan di wilayahnya. Masukan dari parpol akan sangat membantu,” katanya.
Tidak itu saja, ada sejumlah faktor yang menurut dia berpengaruh terhadap fenomena calon tunggal di Pilkada Surabaya yang seharusnya dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2015. Berdasarkan data dari Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Unair disebutkan hingga Februari tahun ini,  hanya 18 persen masyarakat di Jatim yang tahu akan ada penyelenggaraan Pilkada serentak, sedangkan 82 persen lainnya mengaku tidak tahu. “Yang ngeri, hanya 10 persen masyarakat yang tahu tokoh layak maju Pilkada. Sedangkan, 90 persen tidak tahu siapa tokoh-tokoh yang maju,” katanya. Ia menilai, ketidaktahuan ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing daerah untuk sosialisasi lebih. [cty,iib,geh]

Tags: