Dosen FISIP UINSA Teliti Ajaran Zhong Yong Muslim Tionghoa

Para peneliti saat mendengarkan cerita ajaran Zhong Yong oleh kalangan muslim Tionghoa di Masjid Cheng Hoo Surabaya, Jumat (29/11). [achmad tauriq/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Ajaran Zhong Yong memiliki filosofi tinggi bagi masyarakat Tionghoa sejak dulu, namun kata tersebut masih awam di dengar oleh keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia. Hal inilah yang membuat lima peneliti dari Pusat Kajian Indonesia – Tiongkok (PUSKIT) FISIP Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) saat melakukan penelitian ajaran Zhong Yong pada masyarakat Tionghoa di Indonesia, Khususnya kalangan muslim Tionghoa.
Zhong Yong memiliki arti yang luar biasa, Zhong adalah tengah, Yong berarti tidak menyimpang. Jika diartikan, Zhong Yong merupakan doktrin dari Konfusianisme yang memiliki makna keteguhan memegang prinsip kebenaran di tengah dan tidak menyimpang.
Adapun tema yang diambil dalam penelitian tersebut adalah The Spirit of Zhong Yong dan Moderasi Muslim Tionghoa di Indonesia. Dalam penelitian itu mereka memaparkan fakta bahwa Islam adalah agama yang penuh toleransi.
“Jangan sampai, orang Tionghoa yang masuk ke dalam Islam itu mendapat pemahaman agama yang salah,” ungkap Ketua Jurusan Hubungan Internasional UINSA, Fathoni Hakim, Jumat (29/11).
Fathoni Hakim menambahkan Penerapan Zhong Yong dirasa pas untuk diterapkan di Indonesia saat ini karena spirit dan ajarannya in-line dengan ajaran islam. Terlebih saat ini sedang maraknya isu seperti radikalisme, anti pancasila dan khilafah.
Sementara dalam penelitian, Fathoni yang dibantu empat peneliti lain yakni Ridha Amaliyah, Wahidah Siregar, Zaky Ismail dan Rizky Nurika mengambil sample dengan jenis kualitatif melalui unit analisis organisasi dan yayasan yang dikelola oleh muslim Tionghoa yaitu PITI, YHMCHI, Yayasan Haji Karim Oei, dan Yayasan Al-Mahdi.
Dengan teknik keabsahan data Triangulasi diskusi dan FGD (Fokus Group Discussion) penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi ke 15 masjid Cheng Hoo se-Indonesia, Masjid Lautze dan Masjid Al-Mahdi.
“Pada penelitiannya, kami mengambil dua pendekatan teori yaitu Classical Confucianism dan Neo-Confucianism,” terang Fathoni yang juga Kepala Jurusan Hubungan Internasional UINSA.
Dalam riset itu, peneliti menemuka fakta menarik, yakni dari puluhan responden yang diwawancarai hanya ada dua orang saja yang paham dan sudah pernah membaca kitab Zhong Yong dan itupun dari kalangan akademisi.
“Beliau adalah H. Iskandar Chang dan H. Sulaiman atau Go Tji Kiong. Tapi, meski demikian, responden yang belum tahu Zhong Yong mengaku bahwa mereka sudah menerapkan nilai dan ajaran Zhong Yong di kehidupan sehari-hari. Karena ajaran konfusius itu hidup dan berkembang secara tradisional terutama di lingkungan keluarga,” katanya. [riq]

Tags: