Dua Perda Kabupaten Nganjuk Dibatalkan Gubernur

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Nganjuk, Bhirawa
Perda Kabupaten Nganjuk Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Minerba  serta Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah dibatalkan Gubernur Jawa Timur. Pasalnya kedua Perda yang disusun pada 2014 itu dianggap bertentangan dengan UU No 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
Sementara dua Perda yang dibatalkan gubernur, penyusunannya masih  mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan Minerba. “Sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, jika ada peraturan baru dengan objek yang sama, maka aturan lama tidak berlaku,” ujar Sekkab Nganjuk Masduqi saat Raker bersama Komisi C DPRD Nganjuk, Rabu (28/1).
Lebih lanjut Masduqi mengungkapkan dengan terbitnya UU No 37 Tahun 2014 sesuai Pasal 14 ayat 1, pemkab/pemkot tidak lagi diberikan kewenangan mengatur maupun mengelola potensi minerbanya. Termasuk pengaturan air bawah tanah sesuai dengan lampiran nomor II huruf CC, pemkab/pemkot tidak boleh mengelola maupun mengeksploitasinya.
Dalam UU Nomor 37 Tahun 2014, pengelolaan minerba dan pemanfaatan air bawah tanah menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dalam hal ini Pemprov Jatim. “Kalau kita memaksa untuk memberlakukan kedua Perda itu sama halnya makar dengan pemerintah propinsi dan pusat,” jelas Masduqi.
Dengan dibatalkannya dua Perda yakni No 5 dan 6 Tahun 2014, berdampak terhadap kegiatan pengusaha galian tanah. Karena dalam melakukan kegiatan pengerukan tanah uruk mereka tidak mengantongi izin.
Seperti dikatakan Agus Musonif yang mewakili pengusaha galian tanah uruk di Nganjuk, dia mengaku siap jika ada peraturan khusus terkait hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pengusaha galian tanah. Dia juga dengan tegas siap membayar restribusi dan pajak sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Agus Musonif mengaku heran mengapa Pemkab Nganjuk tidak berani membuat Perda terkait tanah uruk. Pasalnya eksploitasi tanah uruk jauh dari teknis eksploitasi mineral. Karena tanah uruk esensinya hanya memindah tanah dari wilayah kecamatan tertentu ke kecamatan lainnya tanpa ada proses pengolahan. “Lain bila ada proses pengolahan bisa menyalahi UU Nomor 37 Tahun 2014. Wong ini hanya memindahkan tanah dari satu tempat ke tempat lain dan masih dalam satu wilayah di Nganjuk,” jelasnya.
Untuk itu dia mendesak Pemkab Nganjuk untuk berani mengambil langkah dengan membuat Perda terkait eksploitasi tanah uruk yang akan menjadi payung hukum dan usaha bagi pengusaha.
Sementara itu anggota Komisi C DPRD Nganjuk Basori Sag menyatakan masih ada peluang bagi Pemkab Nganjuk untuk mengoptimalkan potensi alamnya. Pasalnya UU Nomor 37 Tahun 2014 itu mengatur pengelolaan dan pemanfaatan air dan minerbanya. Sementara yang menjadi persoalan di Nganjuk bukan pada kedua hal itu, melainkan galian tanah uruk.
Dalam UU No 37 Tahun 2014 tidak ada pasal yang mengatur soal tanah uruk. Jadi tidak ada masalah jika Pemkab Nganjuk mengeluarkan perda khusus tanah uruk. “Saya siap membantu memproses draftnya menjadi Perda jika berani,” ujar Basori.
Diakui Basori, jika eksplorasi tanah uruk ini menjadi persoalan lingkungan karena belum ada Perda yang mengaturnya. Sehingga pengusaha tanah uruk dituding menjadi biang kerusakan lingkungan. Oleh karena pengusaha tanah uruk  tidak tahu apa yang boleh dan tidak saat melakukan kegiatan penggalian tanah uruk. [ris]

Tags: