Eksistensi Pabrik Gula di Jatim Terancam Berhenti Giling

Komunikasi Serikat Pekerja Pabrik Gula Jatim melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Jatim, Senin (13/7). [Gegeh Bagus Setiadi]

DPRD Jatim, Bhirawa
Persaingan untuk memperoleh bahan baku tebu semakin sulit dengan berdirinya pabrik gula (PG) PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar dan PT PG Kebun Tebu Mas (KTM) di Lamongan. Berdirinya dua pabrik ini pun tidak disertai dengan penambahan luasan lahab penanaman tebu. Alhasil, musim giling tahun 2020 persaingan untuk memperoleh bahan baku kian sulit.
Puluhan orang yang mengatasnamakan Komunikasi Serikat Pekerja Pabrik Gula Jatim melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Jatim, Senin (13/7). Mereka meminta pemerintah untuk hadir secara nyata dengan berlaku adil bagi pabrik gula pribumi yang ada di Jatim.
“Mereka mendirikan pabrik berkomitmen dengan lahan, tapi ternyata sampai pabriknya berdiri lahannya tidak ada seperti itu. Sehingga lahan yang ada PG yang saat ini ada itu melakukan pembinaan tebunya lantas mereka beli begitu saja. Ini mengancam eksistensi pabrik-pabrik yang sudah ada,” kata Ketua serikat pekerja perkebunan PTPN XI, M Arief saat ditemui di ruang rapat Komisi B DPRD Jatim.
Menurut Arief, dengan berdirinya dua pabrik gula dengan premi yang ada saat ini berpotensi menutup pabrik-pabrik yang kecil. Data yang ia pegang pun ada sekitar 12 pabrik gula akan tutup karena berdirinya PG PT RMI dan PG PT KTM.
“Ini yang paling mengerikan adalah berdampak pada pengangguran terbuka yang akan muncul dengan sendirinya. Saat ini Jatim punya dua pabrik besar ya namun akan menutup 12 pabrik dan potensinya serta 12.000 tenaga langsung akan hilang pekerjaannya di sini dan berpotensi sampai berdampak pada 250.000 orang,” terangnya.
Sehingga, lanjut Arief, pihaknya berharap pemerintah daerah bisa turun langsung dan hadir bukan hanya bagi pemilik modal, tapi hadir pemerintah ini membela PG pribumi yang ada di Jatim.
“Kami minta diperlakukan adil Kalau kami, PG yang sudah eksis ini diminta untuk melakukan pembinaan kepada petani, melakukan pembinaan lahan dan sebagainya. kita minta PG yang baru juga melakukan itu kita tidak minta subsidi,” paparnya.
Arief membeberkan bahwa ketidaklancaran giling lantaran pasokan bahan baku tebu. Saat ini, kata dia, giling hanya dengan 80 persen dari kapasitas terpasang. Disamping itu, potensi terjadinya kredit macet Rp200 miliar sampai dengan Rp600 miliar.
“Hancurnya pola kemitraan petani dan pabrik gula yang telah terbangun bertahun-tahun. Pemerintah harus mengevaluasi regulasi pendirian dan memonitor pelaksanaan operasional pabrik gula baru,” imbuhnya.
Bahkan, pihaknya akan melakukan aksi demo besar-besaran yang melibatkan semua karyawan pabrik gula se-Jatim jika sampai delapan hari sejak pernyataan sikapnya belum mendapatkan respon. “Kami akan turun aksi jika audiensi kami tidak direspon,” pungkasnya.
Di tempat sama, Ketua Komisi B DPRD Jatim, Alyadi Mustofa mengatakan mereka mengeluh karena bahan baku tebunya diambil oleh dua pabrik gula milik swasta. “Mungkin disitu ada persaingan harga, petani kan melihat yang penting harganya tinggi. Jadi ini butuh evaluasi, kaitannya dengan harga kenapa kalah sama swasta,” katanya.
Pihaknya juga menilai ada regulasi yang dilanggar oleh PT RMI dan PT KTM. Pihaknya pun sedang mengkaji dengan Dinas Perkebunan Jatim. “Kami merekomendasikan ada teguran dan minta kepada 12 pabrik gula sebelumnya juga harus evaluasi diri, kenapa harganya kalah saing dengan swasta itu,” pintanya.
Yang dikeluhkan PTPN itu, lanjut Politisi PKB ini, adalah karena dua pabrik gula swasta ini tidak memiliki petani binaan. “Jadi kesannya nyerobot. Kemudian lintas kabupaten. Kemungkinan dua pabrik gula swasta ini ada yang dilanggar,” pungkasnya. [geh]

Tags: