Gebrakan Presiden Baru Menyambut AFTA 2015

M. Amir HTOleh:
M. Amir HT
Peneliti Kebijakan Publik Balitbang Provinsi Jatim

AFTA 2015 sudah di depan mata. Sebentar lagi bangsa Indonesia harus menghadapi era perdagangan bebas tingkat Asia. Siapapun dari mana-pun bisa hilir mudik ke Indonesia, dan dari Indonesia ke Negara-negara Asia, untuk berjualan/membeli. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Bagaimana tidak,  AFTA memungkinkan mobilitas manusia makin tinggi. Keterbukaan pintu negara bagi para pendatang dari Asia, mau tidak mau akan bersentuhan langsung dengan para pelaku usaha sejak dari bandara, di perjalanan, penginapan, pasar, tempat wisata, dll.
Ada begitu banyak masyarakat Indonesia yang harus berinteraksi, berkomunikasi dengan warga negara asing, mulai dari kalangan birokrat, politisi, aparat penegak hukum, sopir taxi, kondektur, para tukang ojek, tukang becak, sampai dengan para ibu-ibu yang menjajakan dagangan mereka di pasar.
Di tengah arus deras globalisasi dan pasar bebas ini, pemerintah Indonesia telah menyepakati untuk memulai  ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 2015 mendatang berarti tinggal tiga bulan lagi dari pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Joka (Jokowi-Kalla).
Pertanyaannya, apakah pemerintah-nya sudah siap untuk menghadapinya?. Apakah segenap masyarakat Indonesia-pun sudah dipersiapkan untuk menghadapi arus pasar bebas, di tingkat Asia ini?. Mari kita tunggu gebrakan sang pemimpinan yang tumbuh dari rakyat.
Menyikapi hal dimaksud, dalam pembangunan bangsa saat ini, kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan konsep revolusi mental ala Jokowi, menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah “revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin, dan selayaknya setiap revolusi, diperlukan pengorbanan oleh masyarakat, (jangan dilupakan rakyatnya dengan segala harapan).
Semaraknya panggung politik  dalam proses pemilu/pilkada sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai pemimpin, wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak, ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan. Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih, kebijakan Jokowi dengan lelang jabatan, sewaktu Gubernur DKI, belum berdampak. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional. Tentunya perlu penguatan ekonomi kerakyatan melalui pelaku UMKM dalam menghadapi AFTA 2015 nanti.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini, karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Keinginan sang Presiden mengangkat potensi maritim dengan mendekatkan segala sektor, maka lalu lintar transportasi laut harus dikaji ulang, dengan menyiapkan armada-armada laut yang layak serta membangun pelabuhan rakyat yang memadai.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia, (Layak kartu sehat dan kartu pintar).
Revolusi mental merupakan konsep yang bisa diterima menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur, menghilangkan sparitas wilayah. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka. Revolusi mental ala Jokowi itu diartikan oleh Beliau: membangun manusianya dulu, membangun jiwanya. Pendidikan mulai dari SD persentasenya 70-30 persen pembangunan karakter, sikap, perilaku dan budi pekerti. Menginjak ke tingkatan SMP, 60-40 karakter juga masih ada. SMA/SMK 80-20 persen, karakter. Tanpa pembangunan manusia yang kita dahulukan, sekaya apapun sebuah negara, provinsi, kabupaten/kota ya, percuma. Kuncinya di pembangunan manusia (SDM). Seperti bait sebuah lagu bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya.
Dengan mimpi “Jakarta Baru”, gebrakan demi gebrakan terus dilakukan Jokowi sewaktu Gubernur DKI. Mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, wacana nomor ganjil genap bagi kendaraan bermotor, dan sederet wacana lainnya. Kendati seluruh mimpinya belum 100 persen berjalan, aksi mereka kerap mengundang reaksi dari yang pro hingga yang kontra. Bagaimana dengan gebrakan sang pemimpin terpilih setelah dilantik jadi Presiden, 20 Oktober 2014, dan program jelang memasuki AFTA 2015 diambang pintu. “Kita tunggu gebrakannya”, di Indonesia baru bersama pembatu-pembantu di kabinet Joka (Jokowi- Kalla).

                                                              ———————– *** ———————–

Tags: