Gelar MMPD dan MKPD Kota Malang Ilegal

magister MMPD dan MKPDKota Malang, Bhirawa
Ketua asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jawa Timur Prof. Dr. Sukowiyono, menyatakan gelar Magister Manajemen Pendidikan (MMPD) dan Magister Kependidikan (MKPD) adalah ilegal. Gelar tersebut menurut Sukowiyono, dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tanpa ada dasar hukumnya, padahal seharusnya kata dia, gelar yang di keluarkan oleh perguruan tinggi diberikan melaluia SK menteri.
“Kalau mau memberikan gelar, seharusnya dilakukan dengan prosedural, MMPD, MKPD, selama ini tidak pernah ada gelar seperti itu,” terang Sukowiyono yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Malang, di sela-sela wisuda sarjana di Kampusnya akhir pekan kemarin.
Anehnya lanjut Sukowiyono, gelar tersebut digunakan oleh beberapa pejabat untuk mengurus kepangkatan, dan disetujui oleh institusinya. Pihaknya menilai kejadian ini adalah bentuk kecerobohan lembaga pendidikan. Hanya saja, dia  tidak mau menyebut kampus mana saja yang berani memberikan gelar tersebut. “Saya tidak berani menyebut itu etika, tapi sebagai praktisi pendidikan ini sangat tidak bagus dan mencederai pendidikan,” tambahnya.
Sukowiyono, lantas memperkirakan pemberian gelar magister MMPD dan MKPD, karena gelar S2 yang resmi ada kejenuhan. Tapi seharusnya tidak memaksakan sekedar untuk kepentingan mencari keuntungan. “Gelar itu boleh saja, tapi jangan hanya sekedar untuk gagah-gagahan yang penting ada gelarnya, biar kelihatan mentereng, prosedurnya harus ditempuh sehingga kualitas penyandang gelar sesuai dengan pendidikan yang dia miliki,” tuturmya, sembari menambahkan jika gelar MMKes juga termasuk gelar  ilegal.
Banyanya gelar ilegal itu, tambah Sukowiyono, merupakan dampak dari kebebasan perguruan tinggi mengeluarkan ijazah sendiri. Ini sering disalahgunakan, dengan membuat program baru dan mengeluarkan gelar ilegal. “Sudah seharusnya perguruan tinggi itu berinovasi, tapi jangan sampai mengambil jalan pintas, dengan membuat program strudi, dan memberkan gelar kepada mahasiswa asal-asalan,” pintanya.
Secara umum diakui dia, perkembangan perguruan tinggi di Indonesia khususnya di Jawa Timur sangat luar biasa. Seharusnya kondisi ini dibarengi dengan SDM Perguruan tinggi dibidang akademik. Sehingga outputnya sesuai dengan harapan masyarakat.
Belakangan ini tambahnya, banyak perguruan tinggi menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan  rasio dosen yang dimiliki. Akibatnya proses belajar mengajar tidak bisa efektit. Seharusnya lanjut dia, untuk jurusan  eksakta, rasio dosenya  1 dibanding 30 mahasiswa.
Sedangkan untuk jurusan  sosial  1 dosen dibanding 40 mahasiswa. “Yang terjadi sekarang ini tidak seperti itu, 1 dosen menangani 50 mahasiswa, itupun kualitas dosenya terkadang hanya lulusan S1, padahal  sekarang sudah tidak jamanya S1 jadi dosen,” tambahnya.
Karena itu pihaknya berharap kepada seluruh perguran tinggi baik negeri atau swasta untuk mempertimbangkan kembali rasio jumlah dosen dengan mahasiswa. Agar kwalitas pendidikan di Indonesia semakin baik. [mut]

Tags: