Geliat Komunitas TJK Sinau Jawa Kuna Pelajari Jejak Literasi Nusantara

Anggota komunitas Tapak Jejak Kerajaan yang aktif mengikuti Sinau Jawa Kuno di Museum Mpu Tantular Sidoarjo.

Berpindah-pindah Tempat Belajar, Berharap Kelak Diakui Secara Formal
Sidoarjo, Bhirawa
Dunia pendidikan tengah gencar menyuarakan budaya literasi beberapa tahun terakhit. Baik guru maupun siswa didorong kuat-kuat untuk berlomba melahap berbagai literatur. Meskipun sejatinya, membaca dan menulis sebagai ruh literasi telah tumbuh sejak ratusan abad yang lalu di Nusantara ini.
Di luar bangku sekolah formal, kesadaran literasi itu tumbuh dari komunitas pecinta sejarah. Salah satunya ialah komunitas Tapak Jejak Kerajaan (TJK) Sinau Jawa Kuna (Sijakun) yang getol mempelajari kekayaan aksara di masa-masa awal Nusantara ini ada. Goenawan Agung Sambodo merupakan salah satu pembina dalam komunitas Sijakun tersebut. Jauh dari tempat dia tinggal di Temanggung, Jawa Tengah, Goenawan rela datang ke Sidoarjo untuk menemani sekelompok masyarakat mengkaji aksara-aksara kuno yang biasa menghiasi batu-batu prasasti maupun candi.
“Awalnya Sijakun ini muncul dari pertemuan di dunia maya. Kebetulan kita biasa mengunggah hasil dari blusukan saat mencari prasasti. Kemudian dari situ kita ketemu dan membentuk komunitas ini,” tutur Mbah Gun, sapaan akrab Gunawan saat dikonfirmasi Bhirawa, Senin (16/4).
Tidak hanya di Sidoarjo, pertemuan Sijakun juga berpindah-pindah dari daerah ke daerah lainnya. Bermacam-macam komunitas tertarik mengikuti program Sijakun yang isinya adalah belajar membca aksara Jawa Kuno dan mengartikannya.
Sekitar tiga tahun lalu, pertemuan awal komunitas ini relatif cukup banyak diminati. Peserta Sijakun saat itu mencapai sekitar 50-an orang dari berbagai daerah di Jatim. “Setelah pertemuan itu saya tawarkan, ma uterus apa berhenti sampai di sini. Akhirnya semua setuju untuk lanjut meski hanya bertemu dalam tempo satu bulan sekali,” tutur dia.
Mbah Goen menuturkan, kekayaan aksara di Nusantara ini cukup banyak. Aksara Jawa kuno hanyalah salah satunya. Karena pada abad ke-4 masehi era Kerajaan Kutai Kartanegara, bukti tulisan sudah pernah ditemukan berupa prasasti Yupa. Prasasti tersebut menggunakan aksara Pallawa yang berasal dari aksara India. Melalui tujuh prasasti Yupa itulah, Kutai Kartanegara hingga saat ini ditetapkan sebagai kerajaan tertua di Indonesia.
“Inti dari prasasti yang dipelajari, baik panjang maupun pendek, adalah sebuah pengingat. Namun, apakah penulis saat itu dengan sadar menulis atau diperintah untuk menulis adalah persoalan tersendiri,” tutur Mbah Gun. Kenyataannya, berbagai tulisan itu sudah ada sejak puluhan abad lalu melalui guratan di batu-batuan, daun lontar atau media lainnya.
Berbeda lagi dengan kesusastraan di Indonesia, alumnus Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengaku, budaya menulis sastra itu dilakukan oleh orang-orang yang berada di lingkungan kraton. Karena aura yang menyebabkan rasa itu tumbuh lebih banyak di wilayah keraton, bukan pinggiran. Itu juga yang terjadi saat era Mataram Islam, kasunanan, kasultanan. “Seperti Ronggo Warsito dan Yosodipuro sebelumnya juga tinggal di wilayah keraton sampai bisa menelorkan gagasan mereka dan sekarang kita kenal sebagai karya sastra,” tutur dia.
Hanya saja, terkait sastra ini, pihaknya sendiri masih bimbang. Sejak kapan kesusasteraan di Nusantara ini mulai ada. “Kalau peneinggalan tertulis seperti Ramayana itu dianggap sebagai karya sastra. Maka karya sastra di Nusantara ini sudah ada sejak Raja Balitung di Jawa Tengah pada sekiatar abad ke 8 lalu,” tandasnya.
Mempelajari sejarah melalui sumber paling dasar ini diakui Mbah Gun cukup menguras energi. Karena itu, hanya orang-orang yang punya komitmen kuat yang bisa konsisten mempelajarinya. Meski juga tidak bisa ditolak, jika ada orang yang hanya sekadar ingin tahu untuk sesekali ikut belajar. “Teman-teman ini sebenarnya galau terhadap temuan tertulis yang seharusnya menjadi temuan penting dan tidak boleh dirusak. Sementara masih banyak prasasti yang tidak terawat, hingga prasasti yang terawat tapi diperjualbelikan secara gelap,” kata dia.
Mbah Gun mengaku, selama tiga tahun berjalan, semangat mempelajari aksara Jawa kuno ini terus mengalir kuat pada pecinta sejarah binaannya. Karena itu, dia berharap kelak Sijakun akan menjadi lembaga yang diakui secara formal. “Nah, ini juga masalahnya. Selama ini Sijakun bergerak hanya dengan mengandalkan saweran dari anggota. Ada yang nyawer 2 ribu, 5 ribu atau 10 ribu. Itu cukup untuk mengganti biaya foto kopi materi yang dipelajari,” tutur dia.
Mbah Gun mengaku, selama komunitas ini membuat kegiatan belajar bersama tidak pernah minta-minta dukungan dana. Uang saweran dikeluarkan sebagai bagian dari rasa memiliki dan keinginan kuat mempelajari kekayaan sejarah Nusantara. “Karena belajar kita belajar ya belajar saja. Tidak ada nilainya, tidak ada ujiannya juga tidak ada SKS-nya (Sistem Kredit Semester). Jadi tidak ada motivasi lain kecuali mengurai kekayaan budaya kita sendiri,” pungkas dia.

Digandrungi Lintas Profesi yang Galau dengan Sejarah Beragam Versi
Sekilas penampilan Sudi Harjanto akan lebih tampak sebagai seniman dari pada profesi aslinya. Kebiasaan berkaos oblong dengan aksesoris klasik dan berkeliling menggunakan scooter tua nyaris tak menunjukkan bahwa dia adalah seorang dokter.
“Sejak dulu memang suka mengoleksi barang-barang yang ada hubungannya dengan kebudayaan. Baru tiga tahun terakhir ini fokus mempelajari aksara Jawa Kuno bersama TJK Sijakun,” tutur Sudi.
Sudi merupakan salah satu anggota yang ikut merintis Sijakun 2015 lalu. Dia tertarik dengan aksara Jawa Kuno lantaran itu merupakan cara untuk membaca prasasti yang memuat inti sejarah Indonesia. Meski sejatinya, aksara kuno memiliki variasi yang bermacam. Mulai Aksara Batak Kuno, Aksara Bali Kuno, Aksara Pegon, hingga yang paling tua adalah Aksara Pallawa.
“Tidak sama aksara dengan bahasa. Kalau kita sekarang bisa berbahasa Jawa seperti pada umumnya, tapi tulisan kita sudah menggunakan aksara Latin. Sementara Aksara Jawa Kuno sendiri juga telah diperbarui dengan Aksara Hanacaraka,” tutur dia.
Mempelajari kekayaan sejarah bagi Sudi tidaklah memuaskan hanya dengan membaca buku-buku literature maupun kitab-kitab sejarah. Karena prasasti sebagai bukti utama masih banyak dan harusnya bisa dibaca. Contohnya tentang sejarah Ujung Galuh yang identik dengan Kota Surabaya. Dalam perdebatannya ada yang mengatakan Ujung Galuh itu tidak Tanjung Perak melainkan di Tlocor, Sidoarjo. Tapi di Dusun Klagen Kecamatan Krian itu terdapat Prasati Kamalagyan yang menyiratkan cerita bahwa di tempat itulah kediaman raja. “Istilahnya makadatuan I kahuripan (Kedaton/kediaman raja di Kahuripan),” tutur dia.
Sejarah itu perlu terus digali melalui sumber-sumber primer berupa prasasti. “Di sinilah kita melakukan Sijakun. Setiap pertemuan kita mengkaji secara tematik. Misal membaca penanggalan kuno yang dalam prasati itu tulisannya bisa sampai tiga baris. Panjang karena penulisannya sangat lengkap,” terang Sudi.
Selain Sudi, Eri Suryani juga menjadi salah satu anggota yang berangkat dari rasa bimbangnya terhadap sejarah. Sehingga dia pun merasa perlu untuk mengkajinya dari sumber primer berupa prasasti. Dia mencontohkan tentang kisah Ken Arok yang versinya berbeda-beda baik dalam bukunya Pramudya Ananta Toer maupun Damar Sasangka. “Setiap penulis sejarah itu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Maka itu kembali pada prasasti adalah yang paling tepat,” tutur perempuan yang berprofesi sebagai Guru TK di Waru, Sidoarjo tersebut. [tam]

Tags: