Geogolog UGM Mengakui Dahulu Pernah Ada Permukiman Besar di Situbondo

 Sejumlah aktivis benda purbakala Situbondo saat membahas penemuan situs Melek  yang dibiarkan terbengkalai oleh Pemkab Situbondo baru-baru ini. Inzet: Salah satu situs purbakala yang berhasil ditemukan di area situs Melek oleh LSM Wirabumi.  [sawawi]


Sejumlah aktivis benda purbakala Situbondo saat membahas penemuan situs Melek yang dibiarkan terbengkalai oleh Pemkab Situbondo baru-baru ini. Inzet: Salah satu situs purbakala yang berhasil ditemukan di area situs Melek oleh LSM Wirabumi. [sawawi]

Yang Terlupakan dari Penemuan Situs Melek
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Temuan arkeolog Situs Melek di Desa Sumberejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo berupa struktur batu bata hingga saat ini masih belum tersentuh penanganan secara serius oleh pemkab setempat maupun dinas terkait. Padahal, dalam situs itu tersimpan bukti sejarah kuno atas berdirinya Kadipaten Balumbung di Situbondo beberapa ratus tahun silam. Ironisnya, Pemkab Situbondo masih mengabaikan temuan masyarakat setempat tersebut sehingga kondisinya tidak terurus,  Selasa (20/9).
Dari informasi yang dikumpulkan, bertahun-tahun penduduk setempat telah mengetahui di area tersebut banyak mengandung pasir,  bahkan menjadi kawasan perburuan benda-benda antik oleh para kolektor sebagai bekas permukiman kawasan kuno. Hal itu terlihat dalam indikator atas temuan arkeologis, di mana ditemukan batu bata merah berukuran jumbo di sejumlah titik struktur, temuan fragmen-fragmen gerabah, perabotan dari batu seperti lumpang bervariasi berbagai ukuran yang banyak ditemukan warga setempat. Selain itu temuan arca terakota yang berbahan batu andesit juga menggambarkan bahwa pada masa lampau ada tanda-tanda kehidupan di area penemuan Situs Melek tersebut.
Menurut anggota LSM Wirabhumi Situbondo Irwan Rakhday, struktur batu bata di bekas pertambangan pasir memperkuat indikasi adanya peradaban di kawasan lahan pertanian itu. Berdasarkan analisa LSM Wirabhumi bersama Prayudho B Djatmiko (ahli statistik) dan Agus Karyanantyo (Geolog) dari Universitas Gajah Mada (UGM) diketahui di kawasan tersebut pernah didirikan suatu permukiman besar. “Kawasan tersebut awalnya dataran rendah yang kemudian teruruk oleh tanah endapan lahar. Hal ini terlihat jelas dari lapisan sedimen di atas struktur batu bata yang menunjukkan bahwa telah terjadi beberapa kali banjir bandang selain akibat gunung meletus,” jelas Irwan, Selasa (20/9).
Irwan menambahkan jika di kawasan yang awalnya dataran rendah itu, dalam kurun waktu lebih dari 500 tahunan telah terjadi perubahan topografi. Di sana, urai dia, ada struktur yang berada di kedalaman 1 hingga 4 meter sehingga diperkirakan ada belasan hektare tanda-tanda kehidupan di masa lampau di kawasan tersebut. “Titik-titik temuan di tiap struktur sudah kita dirinci serta batu batanya sudah diambil sampel untuk diteliti lebih dalam lagi,” terang Irwan.
Irwan menyebut, karakteristik batu bata yang berukuran panjang 32 cm itu mirip dengan temuan struktur di Situs Patukangan Kecamatan Panarukan Situbondo. Maka, pihaknya berkesimpulan bahwa penemuan situs Melek oleh masyarakat adalah situs dari masa Kadipaten Balumbung. “Dalam Kitab Negarakertagama menyebut bahwa Balumbung adalah andalan atau kepercayaan Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang memerintah di masa keemasan pada saat itu,” imbuh Irwan.
Untuk dapat memastikan titik koordinat Kadipaten Balumbung berada di Situs Melek, kata Irwan, bahwa Dusun Melek dipastikan berada di kisaran 5 km di barat laut dari Dusun Balangghuan Desa Sumberanyar Kecamatan Banyuputih Situbondo. Balangghuan ini, terang Irwan, adalah toponim dari Balumbung yang luasnya bisa dilihat pada peta kuno Portugis yang menulis wilayah itu dengan tulisan Balambuam.  “Ya tentu saja orang Portugis cara  mengucapkan berbeda dengan orang dulu. Jika ada yang meragukan tesis ini, tentu harus menjelaskan pada publik apa saja landasan-landasannya,” paparnya.
Disebutkan oleh Irwan, Kadipaten Balumbung yang bersebelahan dengan Kadipaten Patukangan tertuang dalam catatan sebuah serat sejak 1352 M yang dipimpin oleh Sira Dhalem Sri Bima Chili Kepakisan. Untuk  penjelasan lebih detil, saran Irwan, pihaknya kini masih membutuhkan kajian ilmiah. “Kami dari LSM ini hanya melakukan edukasi lapangan terkait pentingnya melestarikan cagar budaya. Namun, seiring dengan itu setidaknya bisa didiskusikan dengan kajian oleh para aktivis Situbondo. Harapannya kita bersama-sama bisa ikut melestarikan peninggalan sejarah bangsa,” pungkas Irwan. [Sawawi]

Tags: