Gotong Royong Sokong Pendidikan Berlanjut

Foto: ilustrasi anak ngamen

Mencegah Anak Bekerja Usia Dini
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Hari-hari sepanjang awal bulan April sampai Mei, kalangan remaja Indonesia menghadapi sejarah terpenting dalam hidupnya. Yakni, seksama menghadapi ujian nasional (Unas) dan ujian sekolah (Usek, untuk tingkat SD). Terdapat kebanggaan, sekaligus berdebar-debar. Namun juga terasa ada yang kurang.Yakni, banyak rekan-rekan se-pantaran tidak dapat mengikuti ujian paling akhir, disebabkan tidak melanjutkan sekolah. Karena harus menyokong perekonomian keluarga.
Kemiskinan keluarga dan infratsruktur sekolah masih menjadi kendala utama pendidikan. Kemiskinan, bukan sekadar “menghadang” anak-anak melanjutkan pendidikan dengan biaya pemerintah. Melainkan terpaksa “iba” terhadap orangtua yang miskin. Sehingga merasa wajib turut menanggung beban, yang seharusnya tidak dipikul oleh anak-anak. Begitu pula akses infrastruktur pendidikan (dan menuju sekolah) terasa bagai “mendidik” anak-anakdengan pola perjuangan keras.
Ironis, karena urusan pendidikan memiliki sandaran hukum sangat kokoh. Dijamin konstitusi sebagai hak (sekaligus kewajiban) masyarakat. Bahkan pembukaan UUD (yang paling sakral dan tidak boleh diubah), juga meng-amanat-kan urusan kependidikan. Alenia ke-empat mukadimah UUD menyatakan, “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia … dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa … .”
Frasa kata, “mencerdaskan kehidupan bangsa,”telah dikukuhkan menjadi cita-cita pembentukan negara. Amanat konstitusi pada pembukaan UUD, di-ejawentah-kan dalam batang tubuh, khususnya pasal 31, dengan lima ayat peraturan. Serta dua kali diterbitkan payung hukum lex specialist mendukung pelaksanaan konstitusi. Diantaranya berupa UU Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sandaran hukum terasa telah cukup. Namun dalam pelaksanaan, urusan pendidikan selalu berhadapan dengan berbagai kendala. Termasuk kendala politik, berupa “ke-bebal-an” pemerintah daerah. Terutama berkait dengan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta dari APBD (daerah). Tetapi belum semua daerah (propinsi maupun kabupaten dan kota) menuruti amanat UUD.
UUD pasal 31 ayat (4) menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Masih banyak daerah “meng-kalkulasi” anggaran pendidikan dengan pemahaman sepihak. Sehingga anggaran pendidikan di daerah tidak mencapai 20%, tetapi dinyatakan telah lebih.

Berbagi Tanggungjawab
Ke-tidak patuh-an pemerintah daerah terhadap pagu anggaran pendidikan, menyebabkan penyelenggaraan sekolah tidak dapat optimal. Misalnya, banyak sekolah (tingkat SD, Sekolah Dasar) belum memiliki lahan. Masih menggunakan lahan milik masyarakat. Pemilik lahan dijanjikan diangkat menjadi penjaga sekolah berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara).
Syukur, kasus kepemilikan lahan sekolah, bisa diselesaikan melalui”lobi” antara aparat desa bersama kepala sekolah, dengan pemilik lahan.Namun sering pula hasil positif “lobi” tidak segera ditindak-lanjuti oleh pemda (Pemerintah Daerah, kabupaten dan kota). Janji tidak ditepati, sehingga tetap “membara” bagai api dalam sekam.Pemilik lahan yang dibohongi menutup pagar masuk sekolah.
Kasus “ke-bebal-an” lain Pemda, adalah pem-biar-angedung sekolah yang tidak layak. Atapnya bocor-bocor, sampai nyaris roboh. Lebih lagi infrastrukturlingkungan sekolah dan jalan menuju sekolah, sering kebanjiran. Pada musim hujan, sekolah terpaksa diliburkan. Padahal dengan iklim hujan tropis, Indonesia memiliki waktu turun hujan sampai enam bulan. Sepanjang waktu itu pula proses belajar terganggu. Ironisnya, supermarket, pertokoan, dan pasar, tidak terganggung banjir.
Padahal berdasar UU Nomor 20 tahun 2003, Pemda memiliki kewajiban menyelenggarakan layanan pendidikan. Pada pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas, menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”Begitu pula dana penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan dasar (SD dan SMP sederajat), tercantum pada ayat ke-2.
Seharusnya setiap Pemda memahami benar kewajiban urusan pendidikan, yang tercantum dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewajiban tersebut terinci dalam matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah propinsi serta kabupaten dan kota. Realisasinya dimulai pada awal tahun 2016.
Berdasarkan matriks lampiran UU Pemerintahan Daerah, Pemerintah kabupaten dan kota, memiliki tanggungjawab urusan pendidikan tingkat dasar. Yakni SD (dan sederajat), serta SMP (dan sederajat). Sedangkan tingkat menengah (SMU, Madrasah Aliyah, dan SMK) diurus Pemerintah Propinsi.
Tanggungjawab urusan pendidikan, telah dibagi antara pemerintah pusat, daerah propinsi, serta daerah kabupaten dan kota. Namun masih banyak Pemda abai terhadap urusan pendidikan sebagai hak setiap warga negara. Menyebabkan banyak tragedi putus sekolah. Karena kurangnya inovasi program bantuan siswa keluarga miskin (gakin). Hanya bantuan berupa keuangan untuk biaya pendidikan. Padahal yang dibutuhkan adalah sokongan untuk perekonomian keluarga.

Tragedi Putus Sekolah
Rendahnya perekonomian keluarga, menyebabkan masih banyak anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan. Sehingga diperlukan bantuan siswa gakin yang di-inovasi berupa modal kerja sesuai usia anak. Misalnya, bantuan hewan ternak untuk di-kembangbiak-kan selepas sekolah. Umumnya tradisi masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan angon (meng-gembala) yang dilakukan oleh anak-anak.
Berdasar data Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) tahun ajaran 2016/2017,angka putus sekolah masih cukup tinggi. Lebih dari 187 ribu anak-anak usia 7 hingga 18 tahun, tidak dapat melanjutkan pendidikan.Bahkan ada yang tidak namapak lagi disekolah sejak kelas 1 SD. Paling rawan terjadi pada jenjang pendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Jumlahnya mencapai 72 ribu lebih siswa, setara dengan 39% dari total angka putus sekolah.
“Dominasi” putus sekolah SMK cukup memprihatinkan. Karena selama satu dekade terakhir pemerintah meng-geber pembangunan SMK. Termasuk di pesantren. Minat masuk SMK di berbagai daerah juga mengalami peningkatan sangat pesat. Selain siap kerja, lulusan SMK juga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sangat banyak alumni SMK berhasil masuk perguruan tinggi negeri, sesuai jurusan secara linier. Serta memperoleh beasiswa belajar ke luar negeri.
Angka murid gakin tahun 2017, diperkirakan meliputi 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itu pula yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Kemiskinan keluarga menjadi alasan utama, bagai tragedi yang selalu nampak di depan mata. Anak-anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah untuk menyokong perekonomian keluarga. Sebagian bekerja pada jenis pekerjaan berat orang dewasa. Sekaligus tidak terlindungi peralatan kerja memadai.
Namun berdasar sigi sosial, selain kemiskinan terdapat pula penyebab “budaya.” Diantaranya, pernikahan dini (usia belia). Serta “paradigma” keliruterhadap sekolah, yang diyakini kelompok masyarakat tradisional di pedalaman. Ke-terasing-an, menyebabkan pengalaman terhadap “hasil sekolahan” hanya sebatas kenakalan anak.

“Beburu” Murid Gakin
Konstitusi meng-amanat-kan altar pendidikan sebagai upaya pembangunan (perbaikan) kehidupan bangsa. UUD pasal 31 ayat (3), menyatakan : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, … .”Namun niscaya pemerintahmemerlukan bantuan masyarakat.
Penyelanggaraan pendidikan di seluruh dunia, juga selalu disokong kuat partisipasi masyarakat.Di Indonesia, sejak ber-abad-abad silam, peran masyarakat pada urusan pendidikan selalu menonjol. Dimulai dari pola pengajaran pondok pesantren, berkembang menjadi pola kelas berjenjang. Faktanya, daya tampung pada lembaga pendidikan (sekolah dan kampus) negeri, hanya sekitar 30% jumlah peserta didik.
Selebihnya, masyarakat yang menyelenggarakan lembaga pendidikan secara ber-gotongroyong. Seperti telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat (ormas) berbasis keagamaan (antaralain Muhammadiyah dan NU) yang memiliki ribuan lembaga pendidikan. Banyak sekolah yang didirikan kedua ormas, memperoleh apresiasi positif UNESCO (United Nations Educational Scientific And Cultural Organization, badan PBB yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan).
Selain melalui ormas,masyarakat berbasis keluarga, masing-masing dapat berperan pada pendidikan formal. Misalnya, kumpulan orangtua murid SD, maupun komite sekolah, dapat mencegah putus sekolah. Caranya tak lain, mengumpulkan donasi, agar sekolah anak-anak gakin tetap berlanjut. Setiap orangtua murid, bersama guru (dan komite sekolah) bisa gotongroyong “berburu” murid gakin. Anak-anak (rekan sekolah) juga mengetahui teman-temannya yang tergolong miskin.
Ke-gotongroyong-an masyarakat, niscaya memerlukan fasilitasi pemerintahserta kinerja DPR dan DPRD. Kelompok masyarakat bisa penyelenggara pendidikan (swasta) mengajukan “Jasmas” (jaring aspirasi masyarakat)melalui lembaga wakil rakyat. Yang paling diperlukan, antaralain (penambahan) pembangunan ruang belajar lebih memadai. Serta sokongan pemerintah untuk kesejahteraan tenaga pendidik, melalui sertifikasi guru.
Terutama pada sekolah swasta di kawasan terpencil (dan pedesaan) patut memperoleh “kepedulian mendalam” wakil rakyat. Agar sekolah swasta dapat menampung murid gakin lebih banyak. ***

Tags: