Haedar Nashir Tolak Lima Penyakit Demokrasi

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menempelkan cap lima jari untuk mengampanyekan pemilu cerdas berkualitas. [adit hananta utama/bhirawa]

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menempelkan cap lima jari untuk mengampanyekan pemilu cerdas berkualitas. [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Muhamadiyah mencanangkan penolakan atas lima penyakit demokrasi. Pencanangan ini dilakukan ketua umum PP Muhamadiyah , Haedar Nashir di Surabaya, Rabu(12/8). Lima penyakir demokrasi yang ditolak itu adalah politik uang, kampanye hitam, kekerasan, provokasi dan apatisme atau golput.
Dalam pernyataannya, Haedar Nashir menegaskan pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang menarik perhatian dari kalangan ormas di Indonesia. Muhammadiyah yang mewanti-wanti agar Pemilukada dilaksanakan dengan jujur, adil dan bermartabat.
“Muhammadiyah telah mencontohkan pemilihan yang baik dan santun dalam pelaksanaan Muktamar ke 47 di Makasar lalu. Momentum Pilkada ini juga harus bisa meniru itu,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat bertandang ke Universitas Muhammadiyah Surabaya, Rabu (12/8).
Dalam kesempatan itu, Haedar sekaligus mengampanyekan gerakan pemilih cerdas. Tanpa canggung, pria berkacamata ini pun mencelupkan telapak tangan kanannya pada bak berisi cat merah. Cap lima jari memiliki makna bahwa Muhammadiyah menolak lima hal yang menjadi penyakit demokrasi. Diantaranya politik uang (suap), kampanye hitam, kekerasan atas nama apapun, provokasi dan apatisme politik (Golput).
“Muhammadiyah yang ikut mendirikan republik dalam perjalanan sejarah telah berbuat dengan karya nyata. Muhammadiyah memiliki komitmen kuat mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berkemakmuran di segala bidang kehidupan, adil, berdaulat dan bermartabat,” kata Haedar.
Warga Muhammadiyah, kata Haedar, menilai bahwa Indonesia merupakan tempat bersepakat membangun tanpa terkecuali. Berjuang, berkiprah mewujudkan Indonesia berkemajuan. “Jika inginkan Indonesia maju, berdaulat, maka harus ada rekontruksi politik, budaya dan lainnya,” tukasnya.
Lima makna yang ditandai cap lima jari diharapkan mampu memantapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Apalagi Indonesia adalah tiga negara terbesar dalam demokrasi setelah Amerika Serikat dan India. “Sayangnya, demokrasi kita masih prosedural. Demokrasi kita kehilangan substansi moralnya. Demokrasi selama ini berjalan tanpa filosofi dasarnya, yaitu Pancasila,” tandasnya.
Haedar menegaskan, banyak suguhan menggambarkan tontonan politik hitam, kekerasan, politik uang. Karena itu, mencegah jauh lebih baik dibanding harus menindak. “Pesan untuk Surabaya, masyarakat sudah bergairah untuk pemilukada, itu sudah  cukup positif,” nilainya.
Rektor UM Surabaya Sukardiono menambahkan, pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah merupakan contoh demokrasi santun, tenggang rasa, dan tepo sliro. “Kita ingin dari demokrasi hasilkan pemimpin yang berintegritas,” harap Suko. [tam]

Tags: