Hardiknas: UN dan Kurikulum

UNPeringatan Hardiknas (Hari pendidikan nasional) tahun ini diwarna dua keprihatinan: UN (Ujian Nasional) yang selalu bocor, dan pelaksanaan kurikulum 2013 yang “setengah hati.” Kabinet kerja pemerintah Jokowi, terlalu banyak obsesi (cita-cita) terhadap urusan kependidikan. Namun sekaligus juga melaksanakan pekerjaan yang tidak perlu, bukan domain pemerintah. Mestinya, pemerintah hanya mem-fasilitasi UN, bukan menjadi penyelenggara.
Andai UN “dilepas,” pemerintah bisa fokus pada pekerjaan yang lebih strategis. Misalnya, membangun SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) lebih banyak dan lebih bermutu. Sharing bersama Pemerintah Propinsi, dan berbagai pihak. SMK bisa didirikan di pesantren (sebagai penyedia lahan). Dengan itu pemerintah (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) hanya membangun gedung sekolah dan laboratorium. Sedangkan Pemerintah Propinsi menyediakan tenaga pengajar.
Bila perlu, lulusan (SMK terbaik) dipromosikan melanjutkan studi tingkat  diploma (1 sampai 2 tahun), untuk mencetak human resources unggul. Berdasar pengalaman beberapa perguruan tinggi jalur ke-diploma-an, tawaran kerja sangat terbuka. Bahkan tidak semua permintaan “pekerja unggul” bisa dipenuhi. Banyak industri swasta nasional dan luar negeri antre menunggu “pekerja unggul” yang masih menjalani sekolah diploma.
Kenyataannya, Kemendikdasmen lebih suka repot-repot menyelenggarakn UN. Seolah-olah tidak ada pekerjaan lain yang lebih urgen. Walau sudah sering dikritisi sebagai kebijakan in-konstitusional dan in-konsisten, namun pemerintah  masih ngotot menyelenggarakan UN. Lebih lagi, UN selalu diiringi praktik tak terpuji pihak sekolah, guru, peserta didik dan orangtua, agar memperoleh nilai UN setinggi-tingginya. Penyebabnya, UN digunakan sebagai eksekusi, syarat kelulusan.
Permasalahan dipastikan akan selalu terulang lebih gaduh dibanding pelaksanaan UN sebelumnya. Diantaranya disebabkan kendala pembiayaan, termasuk pengamanan, pencetakan dan distribusi materi paket soal ujian. Beruntung, murid SD tidak lagi dibebani UN, cukup dengan Usek (ujian sekolah). Seharusnya, untuk tingkat SLTP dan SLTA juga tak perlu UN, cukup Usek serentak seluruh Indonesia.
UN, harus diakui masih merepotkan seluruh stake-holder kependidikan. Pemerintah daerah (Diknas) repot karena anggaran UN tidak dapat dicairkan untuk termin pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Sekolah, juga direpotkan karena hak evaluasi hasil belajar lembaga pendidikan “diambil-alih” oleh pemerintah pusat.  Tetapi yang lebih direpotkan adalah orangtua murid, karena harus menambah bimbingan belajar (bimbel) anak-anak untuk menjamin nilai kelulusan yang baik.
Bagi murid kelas IX dan XII, UN bagai perjuangan hidup-mati. Sebab nilai UN akan digunakan sebagai “senjata” untuk bertarung memasuki SLTA dan perguruan tinggi negeri atau favorit. Selai itu, hasil UN juga dianggap sebagai martabat sekolah. Kelulusan 100% akan menjadi bahan propaganda sekolah (dengan menulis di spanduk di jalanan) untuk menarik murid baru.
Karena berbagai kerepotan itu, seluruh stake-holder kependidikan (kecuali pemerintah) menolak penyelenggaraan UN, sejak lama. Bahkan guru sekolah negeri pun  juga mengharap ujian nasional dihapus. Tetapi pemerintah malah ber-argumentasi, bahwa seluruh stake-holder kependidikan (murid, guru, sekolah dan orangtua murid) masih menginginkan ujian nasional.
Argumentasi pemerintah itu pasti tidak populer karena berlawanan dengan fakta. Orangtua maupun pesert didik nyata-nyata direpotkan oleh UN terpusat. Agaknya, murid (dan mantan murid) kelas VI, kelas IX dan kelas XII, yang menjadi “obyek” UN, lebih mengetahui ekses pembusukan mental akibat UN. Itu menyimpangi amanat konstitusi.
UUD pasal 31 ayat (3), mengamanatkan : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Saat ini sistem pendidikan di sekolah hanya bagai education for test, mengajarkan kepada murid hanya untuk menjawab soal ujian.

                                                                                                                   ———   000   ——–

Rate this article!
Tags: