Harga Cabai Mahal dan Langka karena Tanaman Rusak di Kasbupaten Probolinggo

Cabai petani rusak akibatkan harga mahal.[wiwit agus pribadi/bhirawa]

Banyak Pengusaha Kuliner Mulai Menggunakan Bubuk Cabai
Probolinggo, Bhirawa.
Harga cabai di pasaran terus merangkak naik. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Probolinggo menyebut, kini juga terjadi kelangkaan cabai. Musim hujan menjadi penyebabnya. Hujan menjadi faktor tanaman cabai banyak yang rusak. Sehingga, untuk mendapatkan cabai bagus pun sulit. Karenanya banyak pengusaha kuliner mulai menggunakan bubuk cabai.

“Tanaman cabai memang banyak rusak karena terkena hujan. Ini saja, punya saya tanamannya tidak bagus. Sudah sempat panen, tapi sekarang terlibat kurang bagus,” kata Faruk, Sugeng, salah satu petani cabai di Wonomerto Kabupaten Probolinggo.

Plt. Kepala Disperindag Kabupaten Probolinggo, Taufik Alami saat dikonfirmasi Senin (8/3) mengatakan, pihaknya sudah menindaklanjuti soal mahalnya harga cabai di pasaran. Kemarin, harga di pasar besar Kabupaten Probolinggo, harga cabai paling tinggi sekitar Rp 100 ribu per kilogram. “Kami sudah cek dan tanya soal penyebab harga cabai mahal. Tapi kami selidiki di tingkat pasar, sesuai ranah Disperindag,” katanya.

Taufik mengungkapkan, dari penelusurannya di pasar tradisional dan pedagang cabai, ternyata harga cabai naik karena faktor hujan. Pedagang kesulitan menemukan cabai bagus di tingkat petani. Karena, tanaman cabai petani banyak rusak karena terkena hujan.

Sehingga, untuk mendapatkan cabai bagus pun langka dan sulit. Hingga akhirnya, harga cabai pun makin mahal. “Di pasaran tidak ada permainan harga cabai yang bikin mahal. Kondisi cabai memang langka, dan membuat harga cabai mahal,” ungkapnya.

Semakin pedasnya harga cabai rawit membuat pengusaha kuliner di Kota dan kabupaten Probolinggo, harus memutar otak untuk menjalankan usahanya. Terutama, usaha kuliner yang banyak menggunakan cabai rawit sebagai bahan baku utama.

“Susah sekarang. Cabai rawit harganya seperti daging sapi. Mahal. Padahal, jualan saya ini bahan utamanya cabai rawit,” ujar penjual seblak basah di Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Hj Tutik.

Menurutnya, seblak merupakan makanan khas Bandung, yang ciri khasnya berasa pedas. Karenanya, bumbunya banyak menggunakan cabai rawit. “Tetapi, kalau harganya mahal, ya sulit modalnya,” ujarnya.

Tutik mengaku, Rabu (3/3) lalu, membeli cabai untuk bahan bumbu harganya sudah mencapai Rp 115 ribu per kilogram. Harganya mulai menyaingi mahalnya harga 1 kilogram daging sapi. Kini, harga daging sapi berkisar antara Rp 110 ribu sampai Rp 115 ribu per kilogram. “Padahal sekali masak untuk bumbu seblak bisa habis 2-3 kilogram cabai rawit. Modalnya habis hanya buat cabai rawit saja,” keluhnya.

Karenanya, Tutik mengaku mengurangi mulai mencari cara untuk mengurangi penggunaan cabai rawit. Bila biasanya menggunakan cabai rawit antara 2-3 kilogram, kini dikurangi hanya menggunakan 1 kilogram. Sedangkan, agar jualannya tetap terasa pedas, ia memilih menggunakan bubuk cabai. “Akhirnya ditambah boncabe (bubuk cabai) biar pedas,” ungkapnya.

Tidak hanya Tutik, yang berat dengan harga cabai rawit yang terus meroket. Penjual makanan pedas juga harus cari akal untuk mengatasi harga bahan baku yang melambung. “Saya kurangi cabai rawit. Diganti boncabe biar pedas. Selain itu, juga mi pedas level-level saya hapus. Modal buat cabai rawitnya gak pas sama harga jualnya,” ujar Bagong, warga Kelurahan/Kecamatan Kanigaran.

Karena mahalnya harga cabai, sementara ini Bagong menjual mi goreng yang tingkat kepedasannya hanya sampai level 2. Sebab, jika level lebih tinggi, membutuhkan cabai rawit lebih banyak. “Level 3 itu cabainya sudah 10 buah per porsi. Semakin ke atas jumlahnya semakin banyak. Paling pedas level 5, satu porsi sampai 25 cabai rawit. Bayangkan habis berapa modalnya dengan cabai rawit sekarang. Terakhir saya beli ke pasar harga cabai rawit sudah Rp 100 ribu per kilogram. Modalnya tidak sesuai,” tambahnya.[wap]

Tags: