Harga Cabai Rawit di Kabupaten Bojonegoro Sentuh Rp115 Ribu Perkilogram

Salah satu pedagang di pasar kota Bojonegoro. (achmad basir/bhirawa)

Di Jombang Rp85 Ribu karena Terserang Pelet
Bojonegoro, Bhirawa
Harga kebutuhan pokok rumah tangga bumbu dapur cabai rawit di pasar tradisional Kabupaten Bojonegoro, kembali naik, kemarin (7/3). Di beberapa pasar tradisional yang ada di Bojonegoro, harga cabai itu dipatok Rp 95 ribu hingga Rp 115 ribu per kilogram.

Harga cabai ini, mulai naik sejak pertengahan Februari. Diperkirakan, harga itu akan terus naik hingga sekarang. “Kini harga cabai rawit merah yang satu hari lalu masih Rp 105 ribu dalam satu kilo, kini merangkak naik menjadi Rp115 ribu dalam satu kilonya,” ungkap Sulastri pedagang cabai di pasar kota Bojonegoro.

Sama seperti pekan sebelumnya, kenaikan ini masih menjadi penyebab utama faktor permintaan dari konsumen yang menurun. Tak sedikit dari mereka yang mengurungkan niat membeli cabai rawit saat mengetahui harga ecerannya tinggi. “Alhasil karena hal itu kami mengurangi persediaan, karena menyesuaikan permintaan konsumen,” imbuhnya.

Pedagang lain, Wahyuni, menyebutkan kenaikan harga cabai rawit disebabkan pasokan tidak tersedia. Apalagi, pedagang di pasar tradisional lebih mengandalkan pasokan cabai dari luar kota Bojonegoro. “Pasokan cabai dari Kabupaten Kediri dan Trenggalek. Karena, cabai hasil petani lokal di Bojonegoro tidak ada. Kalaupun ada harga cabai rawit tidak akan naik,” katanya.

Tanaman cabe milik petani di Dusun Segunung, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Sabtu (06/03) kemarin.

Terserang Pelet

Sementara itu, petani cabe di Dusun Segunung, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang mungkin tak seberapa beruntung dengan adanya harga cabe yang mahal hingga menyentuh harga 85 Ribu Rupiah per Kilogram di tingkat petani saat ini. Pasalnya, cabe mereka terserang penyakit Pelet. Sehingga, dari idealnya jika kondisi sehat bisa dipanen selama 19 hingga 20 kali, pada musim ini cabe mereka hanya bisa dipanen 4 sampai 7 kali saja.

Dusun Segunung, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang sendiri dikenal sebagai sentra penghasil cabe rawit di Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Setiap tahun, hektaran tanaman cabe rawit di tanam petani setempat.

Tak ayal, dengan kondisi cabe yang ‘rusak’ tahun ini, hasil panen cabe mereka hanya bisa untuk mengembalikan biaya garapnya saja. Sebagian petani bahkan memilih memanen buah cabenya ketika hijau. “Karena kalau tidak dipanen hijau, rusak karena jamur (penyakit Pelet). Pembasmiannya susah sekali, obat (pestisida) apapun ‘nggak’ bisa, hanya pencegahan saja,” ungkap Gugik Suwandono (52), Sabtu (06/03) kemarin.

Dengan menjual cabe yang masih hijau, Gugik Suwandono mengaku bisa mendapatkan harga 28 hingga 30 Ribu Rupiah per Kilogram kepada tengkulak yang ada di desanya. “Kalau merah, 78 sampai 80 Ribu Rupiah, baru sekarang ini. Sebelumnya 40 Ribu, 50 Ribu, kemudian naik lagi karena kerusakan cabe,” tuturnya.

Jika kondisi tanaman sehat, kata dia, dalam luasan 100 Bata (1400 Meter Persegi) cabe mampu menghasilkan buah cabe merah hingga 100 Kilogram dalam1 kali petik (panen) dan mampu bertahan hingga bulan April sampai pertengahan Mei. Namun, karena terserang Pelet, kali ini hanya mampu menghasilkan sebanyak 9 Kilogram 1 kali petik, dan tanaman cabe sudah mulai mati pada bulan Maret 2021 ini.[bas,rif]

Tags: