Harian Bhirawa dan Tsunami Teknologi Komunikasi

ali-salimOleh :
Ali Salim
Wartawan senior Bhirawa

Hari ini kita menyaksikan sebuah revolusi teknologi komunikasi yang dahsyat. Bagai tsunami, teknologi ini menyerbu dan menelan serta memporakperandakan media atau teknologi yang rapuh. Sepuluh tahun lalu belum bisa kita bayangkan  bahwa setiap orang bisa punya televisi sendiri, menyiarkan aktivitas pribadinya secara “live”yang disaksikan oleh orang-orang di belahan dunia lainnya. Sekarang dengan aplikasi yang bernama Periscope anda bisa on-air hanya dengan sebuah smartphone.
Setelah cukup lama kita mengenal pesan singkat (sms) yang membuat telegram tak laku lagi, menyerbu aplikasi yang lebih canggih lewat BBM. Kini BBM mulai ditinggal saat muncul WhatsApp. Teknologi radio streaming dan tv streaming berbasis internet adalah contoh betapa siaran bisa dipancarkan ke seluruh dunia tanpa bantuan kabel atau menara antena.Siaran TV pribadi lewat Periscope kini dengan cepat tidak popular setelah muncul sebuah aplikasi yang bikin orang tidak bisa lepas dengan telpon pintar ini.
Aplikasi yang baru beredar tiga bulan ini di Indonesia memang lagi  hot. Iabernama Bigo Live. Di sana anda bisa menyaksikan aktivitas sehari-hari Dewi Persik mulai bangun pagi sampai dia tidur lagi, mendengar dia menyanyi atau tersenyum atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Anda bahkan bisa punya mall sendiri dengan menjual berbagai ragam keperluan tanpa modal miliaran. Tiba-tiba saja orang kebanyakan kini bisa punya mobil, karena mereka bisa menemukan cara untuk membayar cicilan dengan masuk menjadi anggota Uber, Grab, Gojek dan lain-lain.  Pebisnis tradisional kelabakan. Bisnis travel tradisional terganggu hanya dengan sebuah aplikasi  yangbisa mencarikan tiket murah atau hotel murah seketika. Dari tempat tidur anda bisa menemukan apa saja yang anda mau. Tak perlu keluarkan motor, tak perlu bermacet-macet, apalagi harus capek mencari parkiran.
Revolusi yang disebabkan oleh handphone  cerdas atau smartphone ini memang memiliki ragam keuntungan. Anda tidak perlu capek-capek ke toko buku. Ragam buku pilihan dapat dengan mudah anda peroleh. Sebuah smartphone bisa menyimpan ribuan buku. Bayangkan ada berangkat ke mana saja dengan ribuan buku di tangan. Meski demikian toh toko buku tetap maju. Masih banyak orang yang setia mengunjunginya dan rajin membaca buku tradisional, bukan buku digital.
Kelemahan teknologi digital yang butuh listrik dan pulsa, dan tidak semua orang ingin ribet dengan memainkan aplikasi, menyebabkan yang tradisional tetap mendapat tempat.Sejak lama kita mengenal radio dan suratkabar sebagai sumber informasi berita terkini. Kemudian muncul televisi yang menawarkan lebih banyak keunggulan. Toh masih banyak orang yang tetap ingin mendengar radio dan membaca suratkabar.Bagaimana kedua media ini tetap hidup?
Tentu bukan semata-mata karena nasib baik. Cara menggunakan radio dan suratkabar tidak serumit smartphone.Tapi ingat generasi muda yang cerdas masa kini tidak merasa ribet sedikitpun.Mereka ini bahkan tidak pernah mendengar radio kecuali di mobil, dan tidak melirik suratkabar kecuali saat ingin menonton bioskop.
Perkembangan Surat Kabar
Suratkabar memiliki perkembangan yang unik. Konon media ini sdh dikenal sejak 2 abad silam. Suratkabar umum memang didominasi oleh segilintir suratkabar besar secara nasional maupun regional. Suratkabar inilah yang merajai pasaran. Sementara media yang ingin menempel suratkabar utama ini berjuang dalam ketidakpastian. Suratkabar urutan ke-2 umumnya menghadapi dilema “hidup enggan mati tak mau”. Tanpa didukung konglomerat besar, suratkabar nomor dua ini sebentar saja sudah kolaps kecuali karena satu dan lain hal, dengan keunggulan tertentu masih bisa bertahan hidup.
Nah di sini uniknya. Suratkabar di urutan ketiga justru terlihat lebih sehat. Mereka bisa menebus seluruh biaya operasional bahkan meraih keuntungan karena pasar mereka yang sengaja dipilih terbatas dengan biaya operasional yang bisa ditekan. Sebagian besar suratkabar urutan ketiga ini merupakan satelit koran nomor satu. Tujuannya adalah menampung tenaga kerja yang dibuang dari koran utama sambil tetap menimba untung dari bisnis media terbatas ini. Juga melayani pembacanya dengan berita yang dibutuhkan tapi tetap menjaga agar yang kecil tidak menjadi besar dan memakan tuannya sendiri.
Suratkabar Harian Bhirawa berada di barisan ini. Alhamdulillah, ia bukan bagian dari konglomerasi media yang berpusat di Jakarta atau daerah. Bahkan lebih terasa istimewa,  dia sepenuhnya dimiliki oleh para karyawan yang telah berkiprah lama di suratkabar ini. Mengapa bisa terjadi demikian dan apakah Harian Bhirawa memiliki ketangguhan untuk bertahan lebih lama?
Pasar terbentuk karena ada penawaran dan permintaan. Harian Bhirawa menawarkan sebuah suratkabar khusus yang mengisi ruang kosong birokrasi atas berita yang lebih mereka butuhkan. Jerih payah dan sukses story mereka di bidang pelayanan masyarakat tentu tak bisa ditampung media umum yang cenderung memilih sisi negatif dari aktivitas birokrat ini.
Tapi suratkabar ini juga terancam oleh reformasi yang menuntut keterbukaan dan obyektivitas birokrasi. Sukses mereka bukan karena mengharap digelembungkan atau diblow-up media, melainkan harus hadir secara selektif dan mendapat apresiasi masyarakat. Pejabat atau birokrat jenis ini akan menjadi media darling, dan apapun aktivitas mereka selalu menjadi perhatian publik dan tentu saja perhatian media. Lihat saja Risma di Surabaya, Ahok di Jakarta dan sejumlah pejabat dari daerah yang kini sedang naik daun.
Begitu terbatasnya pilihan suratkabar umum terhadap kiprah daerah, maka suratkabar seperti Harian Bhirawa menjadi pilihan. Tidak salah keputusan Harian Bhirawa di tahun 1998, di usia yang ke-30 memilih menjadi korannya birokrat Jawa Timur. Kini dengan pengalaman 18 tahun menjadi koran yang beredar di lingkungan pemerintah propinsi Jawa Timur koran ini telah tumbuh sehat dan boleh dibilang makmur.
Apakah di usianya yang ke 48 tahun, Harian Bhirawa bisa merasa aman dengan akar kuat? Saat ini tidak ada bisnis yang bisa merasa aman apalagi harus berpuas diri. Bisnis online memang cepat bikin orang meroket tapi cepat juga tenggelam. Begitu ada aplikasi yang lebih baik, orangpun cepat beralih. Berbeda dengan media tradisional yang sudah punya penggemar tradisional dan cenderung fanatik. Mereka tidak cepat tenggelam meski ada perubahan teknologi yang cepat di luar.
Keberlangsungan sebuah suratkabar memang tidak cuma tergantung dari segmen pasar yang sudah terawat lama. Faktor manusia, the man behind the gun, menjadi yang terutama. Harian Bhirawa memiliki mekanisme yang cukup professional dan menghindari ego perorangan bermain dan menentukan keberlangsungan hidup suratkabar ini. Ketika kepentingan pribadi apalagi uang ikut menentukan policy suratkabar maka cepat atau lambat ia akan ditinggal pembacanya.
Kita bersyukur, tradisi di harian Bhirawa telah menciptakan sebuah sistem kontrol yang dapat mengurangi kehendak satu dua oknum untuk bermain secara leluasa. Yang mencuat hanya mereka yang telah menaati semua prosedur dan berusaha berprestasi di prosedur yang sudah disediakan itu. Kita tidak bisa menghindari adanya oknum tapi dengan policy keredaksian Harian Bhirawa yang kokoh, permainan oknum tak sampai mewarnai dan memberi persepsi negatif pembacanya.
Gelombang media yang sangat penuh warna ini masih tetap menyediakan tempat bagi suratkabar yang konsisten dan mampu menampilkan citra sebagai koran yang independen, professional dan sehat. Selamat ultah Bhirawaku!

                                                                                                                          ———– *** ———–

Tags: