Inflasi Budaya, Dimana Peran Pemuda?

khanifatu-azizahOleh :
Khanifatul Azizah
Mahasiswa jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang

Kata budaya merupakan sebuah kata yang tak asing lagi di telinga. Sebuah kata yang mengandung banyak makna jika dikaitkan dengan berbagai aspek. Namun, kebanyakan orang memandang bahwa budaya merupakan sesuatu hal yang telah menjadi adat kebiasaan yang turun temurun dan berkembang di masyarakat setempat. Sebuah budaya memiliki ajaran dan filosofi sejarahnya masing-masing. Selain itu, sebuah budaya tentunya memiliki manfaat atau nilai-nilai dari berbagai aspek yang ada, misalnya dari aspek agama, sosial dan politik.
Pada umumnya, budaya tiap-tiap daerah di Indonesia berbeda. Masyarakat Jawa misalnya, adalah masyarakat yang sangat kental mempertahankan budayanya, terlebih akan budaya Islaminya, seperti: Sadranan, Suronan, Pengajian, Hadrohan, Dzibaan, dan lain sebagainya. Tradisi yang demikian itu berkembang secara pesat di daerah Jawa pada khususnya, karena masyarakat Jawa merupakan penganut agama Islam pertama dan terbanyak di Indonesia. Selain itu, masyarakat Jawa juga terkenal sebagai pembawa ajaran Islam yang paling bagus. Sebagai contoh, para Walisongo menyebarkan ajaran Islam kebanyakan di Pulau Jawa dan mereka juga hidup di Jawa. Maka tidak jarang jika agama Islam berkembang pesat di pulau ini.
Agama Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh para Walisongo mulai disebarkan ketengah-tengah masyarakat yang belum mengenal Islam dengan cara yang sangat halus. Berbagai macam cara yang ditempuh para Walisongo demi ajaran Islam tersebar di Pulau Jawa. Misalnya, dengan memasukkan ajaran Islam kedalam kultur-kultur budaya setempat, hingga akhirnya terjadilah akulturasi budaya yakni munculnya seni wayang, lagu-lagu tembang Jawa, kesenian-kesenian tradisional, gamelan, seni batik dan lukis, serta lain sebagainya yang hingga saat ini masih terus diminati kebudayaannya. Seiring berkembangnya waktu, kebudayaan-kebudayaan yang muncul menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Kreativitas yang diciptakan oleh Para Walisongo tentang akulturasi budaya membawa dampak yang sangat signifikan. Sebab, sebelum kemunculan agama Islam di tanah Jawa, banyak masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme serta agama Hindu dan Budha. Namun, Islam masuk ke ranah masyarakat dengan cara yang mudah dan damai, karena para da’i memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan setempat. Sehingga mereka hanya tinggal memasukkan ajaran Islam kedalamnya tanpa menghapus sedikitpun kebudayaan yang telah berkembang. Alhasil, banyaklah muncul akulturasi budaya baru yang merubah pola pikir budaya dahulu dengan ajaran Islam, tanpa mengurangi eksistensi budaya lama.
Misalnya, pada ajaran Hindu dan Budha banyak yang menggunakan bunga sebagai acara sesajen untuk membuat wangi-wangian, namun setelah kemunculan para da’i bunga menjadi sering digunakan dalam acara ziarah kubur, dengan harapan kuburan tersebut bisa wangi. Selain itu, tradisi seperti pemujaan roh nenek moyang yang dipandang sebagai kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi pada masa Hindu Budha, kini diakulturasikan dengan budaya Islam yaitu munculnya tradisi sadranan yang dilaksanakan saat menjelang bulan Ramadhan. Sehingga dari sini muncullah sebuah pemikiran bahwa bukan budaya Hindu dan Budha yang menggantikan pola pikir ajaran Islam, akan tetapi Islamlah yang menggantikan pola pikir budaya Hindu dan Budha tersebut, untuk kemudian dapat disebut sebagai “Islamisasi Budaya”.
Namun setelah itu, mulai muncullah perbedaan pandangan masyarakat mengenai islamisasi budaya ini. Sebagai contoh, tradisi sadranan memunculkan dua golongan yang saling berbeda pendapat dalam menentukan status hukumnya. Golongan pertama yang mendukung tradisi ini adalah kelompok Nahdalatul Ulama’ (NU) yang menganggap bahwa tradisi sadranan merupakan warisan nenek moyang yang masih dijalankan hingga sekarang, karena tradisi tersebut mengalami perubahan dengan adanya masuknya unsur-unsur Islam. Sedangkan golongan yang kurang mendukung adalah kelompok Muhammadiyah yang beranggapan bahwa tradisi sadranan merupakan perbuatan bid’ah dan merupakan budaya non Islam, melainkan budaya Hindu. Akan tetapi, semua perbedaan pandangan mengenai ajaran bid’ah atau tidaknya, bisa dikembalikan lagi pada konteks dasarnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Selanjutnya, kebudayaan yang telah mengakar dalam masyarakat tersebut menjadi salah satu kekayaan dan ciri khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tidak akan dimiliki oleh Negara lain. Sebab, Indonesia terkenal akan keluhuran budayanya yang beraneka ragam. Namun, keluhuran budaya itu akan dapat terus dipertahankan atau tidak, tergantung dengan tingkat kepedulian masyarakatnya. Melihat dewasa ini, banyak masyarakat Indonesia terutama daerah Jawa sendiri yang kurang peduli dengan budayanya sendiri. Hampir sebagian besar budaya Islam yang berkembang di Jawa sejak pertama kali disebarkan oleh para Walisongo, seakan-akan mulai luntur.
Generasi muda yang menjadi harapan bangsa dalam melestarikan kebudayaan saat ini mulai dipertanyakan. Hingga pada realita yang terjadi saat ini, pemuda yang seharusnya menjadi tumpuan akan kelestarian budaya Jawa, justru semakin luntur seiring dengan perkembangan zaman. Dengan sedemikian pesatnya teknologi-teknologi canggih yang mulai masuk ke ranah Indonesia, semakin membuat pemuda-pemuda kini kehilangan arah dan tujuannya. Akibatnya, para pemuda banyak yang terbawa arus teknologi, sehingga melupakan tradisi daerah mereka masing-masing yang seharusnya patut untuk dipertahankan dan dilestarikan.
Berbagai contoh konkret yang terjadi saat ini adalah perayaan Hari Besar Islam seperti Pengajian-pengajian, Maulid Nabi, dan Sadranan yang diadakan pada tiap-tiap daerah, kini hampir tidak ada respon dan partisipasi dari para kaum muda. Mereka lebih asyik bermain dengan dunia mereka sendiri, seakan-akan mereka telah diracuni oleh berbagai teknologi yang datang silih berganti, sehingga melupakan peranannya sebagai pemuda. Lantas jika sudah seperti ini, kehancuran suatu budaya hakikatnya sudah diujung tanduk.
Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai pemuda Indonesia harus bisa mempertahankan berbagai tradisi yang berkembang di daerah masing-masing, agar kebudayaan asli kita tidak dicuri oleh banga lain. Jika , kita harus bisa menerapkan berbagai teknologi yang serba canggih saat ini untuk melestarikan dan memajukan budaya-budaya daerah yang telah tumbuh sejak dahulu. Tentunya, selain berpedoman pada prinsip al-Qur’an dan Hadits, juga harus dilandasi dengan kecintaan kita terhadap NKRI.

                                                                                                           ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: