Menjelajah Kota Suci

buku-the-geography-of-faithPenulis : The Geography of Faith
Penerjemah : Eric Weiner
Penerbit : Mizan
Terbit : Januari 2016
Tebal : lvii+828 Halaman
ISBN : 978-602-9193-02-2
Peresensi : Ngarjito Ardi Setyanto
Mahasiswa Perbandingan Agama di Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Ketika membicarakan kota yang penuh meisteri di dunia, maka salah satu kota terlintas dalam benak kita adalah Yerusalem. Sebuah kota yang memiliki luas teritori hanya 100 x 150 mil, terbentang di antara sudut tenggara Mediterania dan Sungai Yordan. Kota yang melahirkan sebuah peradaban yang penting bagi dunia. Di kota inilah, ketiga agama yang menguasai dunia menyucikannya. Tetapi di satu sisi, Kota ini menimbulkan konflik yang menumpahkan darah-darah yang tidak bersalah.
Dari Raja Dawud hingga Barack Obama, dari kelahiran Yudaisme, Kristen, dan Islam hingga konflik Palestina-Israel, inilah epos sejarah 3.000 tahun ihwal kesucian, keimanan, fanatisme, identitas, nasionalisme, pembantaian, dan koeksistensi. Inilah kisah tentang bagaimana Yerusalem menjadi Yerusalem; satu-satunya kota yang hidup dua kali-di surga dan di bumi.
Buku ini, menceritakan secara kronologis melalui kehidupan laki-laki dan perempuan, tentara dan nabi, penyair dan raja, petani dan musisi, dan keluarga-keluarga yang telah membentuk dan menjaga serta memelihara Yerusalem selama beberapa milenia. Ditulis berdasarkan sebuah sintesis hasil pembacaan luas terhadap sumber-sumber primer, kuno dan modern, melalui seminar-seminar pribadi dengan para spesialis, professor, arkeolog, serta berdasarkan pada kunjungan-kunjungan langsung Simon Sebag Montefiore, penulisnya, ke Yerusalem yang tak terhitung jumlahnya.
Harus diakui, Yerusalem ini memiliki pengaruh daya tarik yang luar biasa. Bahkan dalam literatur sakral Yahudi dijelaskan bagaimana kota ini. Kesucian kota ini tumbung dari eksepsioonalisme Yahuddi sebagai Umat Terpilih. Yerusalaem menjadi Kota Terpilih. Palestina menjadi Tanah Terpilih, dan eksepsionalisem ini diwariskan dan pipeluk oleh umat Kristen dan Musliam (Halaman 135).
Kesucian tertinggi dari Yerusalem dan tanah Israel tercermin dalam peningkatan obsesi keagamaan akan pemulangan kaum Yahuddi ke Israel dan antusiasem barat padda Zionisme, yang menjadikan ekuivalen sekularnya, antara Reformasi abad ke-16 di Eropa dan tahun 1970-an. Sejak itu, narasi tragis Palestina, dengan Yerusalem sebagai Kota Suci mereka yang hilang, telah mengubah persepsi terhadap Israel.
Yerusalem memang kota suci, sayangnya ia selalu menjadi sarang takhayul dan kefanatikan; dambaan dan sasaran rebutan aneka kekaisaran, walau tak punya nilai startegis; rumah kosmopolitan bagi banyak sekte, dan masing-masing yakin kota itu hanya milik mereka, sebuah kota dengan banyak tradisi yang masing-masing begitu sektarian sehingga menihilkan yang lain.
Kematian selalu menjadi sahabat di Tanah Suci. Sejak lama, para peziarah berdatangan ke Yerusalem untuk mati dan dikunur di sekitara Bukit Kuil (Temple Mount) untuk siap bangkit kembali pada saat Apokalips, dan mereka masih terus berdatangan. Kota ini dikelilingi dan bangungan di atas kuburan-kuburan. Bahkan Aldaous Huxley, mengatakan rumah jagal agama-agama, dalam ungkapan Flaubert sebagai rumah kuburan. Melville menyebut kota itu sebuah “tengkorak” yang dikepung oleh “angkatan perang mati”; sementara Edward Said mengenang ayahnya memberikan Yerisalem karena ia “mengingatkannya kepada kematian.”
Buku setebal delapan ratus dua puluh dua halaman ini, berisi sejarah Yerusalem sebagai pusat dunia. Kendati demikian, tidak dimaksudkan sebagai ensiklopedia dari setiap aspek Yerusalem, atau buku panduan yang utuh. Dengan kata lain, buku ini tidak berisi tentang Yudaisme, Kristen atau Islam, juga bukan studi tentang sifat Tuhan. Melainkan sejarah Yerusalem dalam pengertian yang paling luas untuk pembaca umum, apakah mereka atheis, beriman, Yahudi, Kristen atau Muslim, tanpa satu agenda politis.
Dilengkapi dengan hampir seratus halaman catatan kaki, peta, serta pohon keluarga para penguasa Yerusalem yang terbentang mulai dari kisah Raja Daud sebagai pendiri Yerusalem, hingga keluarga-keluarga bangsawan yang masih eksis hingga kini, kuat dugaan bahwa buku ini merupakan hasil kerja sangat serius dan sangat panjang dari penulisnya.
Dikemas dengan detail yang menarik. Kisah mencekam tentang perang, pengkhianatan, pemerkosaan, pembantaian, penyiksaan sadis, fanatisme, permusuhan, korupsi, kemunafikan, sekaligus spiritualitas, memungkinkan pembaca untuk merasakan berbagai emosi; baik simpati maupun amarah, pada setiap penggalan kisahnya. Buku ini seolah mengajak pembaca untuk melakukan ziarah ke Yerusalem.

                                                                                                                     ————- *** —————

Rate this article!
Menjelajah Kota Suci,5 / 5 ( 1votes )
Tags: