Iptek dan Stategi Perjuangan Santri

maswanOleh :
Maswan
Dosen Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Unnes Semarang, Pengurus LPTNU Kabupaten Jepara (Periode 2012-2015)

Kehadiran santri sebagai pewaris para ulama dan kyai yang dulu memperjuangkan kemerdekaan. Kni keberadaan santri berjuang dalam menangkal radikalisme, narkoba dan korupsi tersebut yang akhir-akhir ini sulit dibendung cukup berat dan membutuhkan kreatifitas. Agar peran santri tidak termarginalkan, dan diremehkan oleh lawan, maka proses pendidikan yang dilakukan di pondok pesantren selain mengkaji masalah-masalah diniyah, juga harus diajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara integratif.
Hiruk pikuk Peringatan Hari Santri Nasional yang dilaksanakan tanggal 22 Oktober baru lalu, tidak lagi hanya menjadi gagah-gagahan dan show of force. Tetapi benar-benar diharapkan ada gerakan moral dan jihat melalui strategi perjuangan berbasis ilmu pengetahuan dan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) yang berkualitas. Era global ini, terorisme, radikalisme, narkoba dan korupsi sudah menggunakan jaringan teknologi informasi yang dikemas secara sistematis.
Kemajuan teknologi informasi begitu pesatnya, seolah-olah seperti gelombang air laut yang susah dibendung. Bahkan menurut Ali Salim, Wartawan Senior harian Bhirawa, mengibaratkan kecepatannya bagai tsunami yang sulit dibendung yang berakibat memporak-porandakan tatanan yang sudah ada.
Menurut Pak Salim, “Sepuluh tahun lalu belum bisa kita bayangkan bahwa setiap orang bisa punya televisi sendiri, menyiarkan aktivitas pribadinya secara “live” yang disaksikan oleh orang-orang di belahan dunia lainnya. Sekarang dengan aplikasi yang bernama Periscope Anda bisa on-air hanya dengan sebuah smartphone” (Bhirawa, 5/10)
Selanjutnya, menurut beliau, “Aplikasi yang baru beredar tiga bulan ini di Indonesia memang lagi hot. Ia bernama Bigo Live. Di sana anda bisa menyaksikan aktivitas sehari-hari Dewi Persik mulai bangun pagi sampai dia tidur lagi, mendengar dia menyanyi atau tersenyum atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Anda bahkan bisa punya mall sendiri dengan menjual berbagai ragam keperluan tanpa modal miliaran. Tiba-tiba saja orang kebanyakan kini bisa punya mobil, karena mereka bisa menemukan cara untuk membayar cicilan dengan masuk menjadi anggota Uber, Grab, Gojek dan lain-lain.”
Teknologi bagi Santri
Melihat perkembangan TI yang begitu pesat, apakah kaum santri di negeri ini hanya sebagai penonton dan terkagung-kagum saja? Ataukah ikut memerankan dan sebagai pelaku aktif dalam mengaplikasikan alat canggih ini untuk kepentingan dakwah? Jawabnya, kalau tidak ikut menggunakan, maka kaum santri akan dapat dibayangkan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari kitab-kitab kuning yang dibedah di pondok-pondok pesantren hanya pada kubangan yang sama, tidak bisa menyebar ke luar ponodok yang dapat dibaca khalayak masyarakat umum. Selayaknya para santri dan lulusan pondok dibekali ilmu tekonlogi agar dapat mengaplikasikan, sebagai sarana penyebaran ilmu agama yang benar, sebagai upaya penangkal ajaran-ajaran yang sesat.
Mencermati hal tersebut, tentu sebagai santri merasa terpanggil dan terbakar semangatnya untuk bangkit menjadi penyebar ilmu-ilmu agama ke publik. Selain itu kebangkitan santri dalam pemanfaatan teknologi informasi, dalam membendung dan meluruskan ajaran-ajaran Islam garis keras (radikalisme), menjadi sangat penting. Berdakwah meluruskan penyimpangan sosial (patologi sosial) seperti korupsi, suap dan pungutan liar, norkoba, dan lainnya di era modern yang serba global ini memang tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan iman-taqwa dan doa-doa spiritual, tetapi bekal ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah keharusan.
Menurut Fareed Zakaria (2007) dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, menyebutkan bahwa seorang santri dalam kehidupan di era global ini: Pertama; santri hendaknya terbuka dan kritis dalam menghadapi kemajuan zaman yang ditimbulkan dari teknologi baru. Terutama teknologi informasi yang mendominasi penemuan di abad ke-21 ini, agar tidak menjadi korban dari kemajuan tersebut.
Kedua; santri hendaknya kompeten, profesional, tidak apriori dan mampu meberi penilaian terhadap masalah apa yang perlu di-bahtsulmasa’il-kan. Dan dalam kondisi apapun agar santri tidak menjadi bahan tertawaan kalangan luar pesantren.
Ketiga; santri harus mampu memahami konsep modernisasi dengan benar. Istilah modern sama baik dan buruknya dengan istilah salaf (tradisional). Ada negatif dan positifnya. Maka, bagi santri dan pesantren yang ingin memposisikan diri sebagai “modern” hendaknya tidak serta merta merangkul segala produk modern “secara kaffah” dan membuta semata-mata agar tidak dibilang “kuno” tanpa mempertimbangkan berbagai aspek di atas.
Dengan gambaran tersebut, santri dengan kekuatan spiritual keagamaan dan kemampuan dalam bidang Iptek, diharapkan mampu menangkal isu-isu atau ajaran yang tidak sesuai dengan tuntunan al Qur’an dan al Hadits. Dan pola yang dilakukan secara damai dan bijaksana. Santri yang menguasai ilmu diniyah dan mampu menggunakan teknologi yang tepat guna, akan menjadi sarana jihat yang efektif.
Sebagai solusi dalam membendung itu, Abdul Kadir Karding (SM, 22/10), menyebutkan bahwa, menyebarkan ide perdamaian adalah bagian dari jihad. Jihad saat ini juga bisa direalisasikan dengan berbuat riil membantu orang lain dalam menyelesaikan berbagai problematikanya. Resolusi jihad saat ini mesti dimaknai untuk memerangi kemiskinan, kebodohan hingga keterbelakangan. Jihad suci saat ini mesti harus dimaknai kita berjuang merawat dan melestarikan NKRI yang damai dan warganya sejahtera.

                                                                                                       ———- *** ————

Rate this article!
Tags: