Ironi Pengangguran Terdidik Kita

Oleh :
Faizi
Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi bangsa ini adalah meningkatnya jumlah pengangguran, terutama pengangguran kaum terdidik. Betapa tidak, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2020 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) diisi 79,5 persen lulusan SMA/SMK, 20,4 persen lainnya adalah lulusan perguruan tinggi. Data ini mengonfirmasikan bahwa berhasil menamatkan sekolah dengan pendidikan tinggi, dalam hal ini SMA/SMK ke atas, tidak menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan. Alhasil, pengangguran terdidik di Indonesia masih tergolong tinggi.

Pertanyaan yang muncul adalah, apa penyebab melonjaknya angka pengangguran terdidik kita? Dari wacana publik yang berkembang saat ini, setidaknya ada tiga penyebab utama, yakni fenomena parasit lajang, informalisasi pasar serta anggapan adanya ketidaksesuaian pendidikan yang ada dengan kebutuhan pasar kerja.

Pertama fenomena parasit lajang, menurut pakar ekonomi, Profesor Aris Ananta (2017) dari National University of Singapore, merupakan sebutan bagi para generasi muda yang manja dan terlalu bergantung pada orang tua dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain adanya jaminan kelangsungan hidup meski mereka tidak bekerja. Karenanya, bagi sebagian besar dari mereka, tidak bekerja seolah tidak menjadi sebuah masalah besar.

Kedua, informalisasi pasar kerja dan tidak sesuainya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin sempitnya lapangan kerja pada sektor formal. Ciri dari lapangan kerja informal antara lain bersifat tidak tetap, upah rendah, bahkan tidak mendapat kompensasi sama sekali, dan memiliki tingkat produkitvitas yang rendah. Dengan berkurangnya lapangan kerja formal, maka mau tidak mau para penganggur terdidik akan mencari alternatif lain untuk mensiasatinya, salah satunya beralih ke lapangan kerja informal.

Ketiga, tidak sinkronnya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar pun menjadi salah satu penyebab mengapa pengangguran terdidik terus meningkat dari tahun ke tahun. Argumen ini biasa diungkapkan oleh para pakar pendidikan di dalam negeri. Argumen ini kurang lebih menyatakan bahwa pendidikan tinggi Indonesia kurang lebih memberikan pelatihan dan ilmu yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Mereka terkesan mengejar kuantitas lulusan tanpa memperhatikan kualitas para lulusan. Implikasinya adalah perlu ada penambahan pendidikan agar sesuai dengan permintaan pasar kerja yang ada, untuk mengurangi penganggur angkatan kerja terdidik.

Belajar pada negara maju

Belajar pada negara-negara maju lainnya, pendidikan kewirausahaan mendapatkan perhatian yang lebih dengan mempertimbangkan lima kebijakan mendasar. Pertama, pembuatan rencana usaha dengan mengarahkan siswa/mahasiswa untuk menggabungkan akuntasi, ekonomi, keuangan, pamasaran dan disiplin bisnis lainnya. Sehingga menjadikan pengalaman pendidikan yang terpadu dan memperkaya wawasan dan pengalaman sekaligus. Kedua, pendidikan kewirausahaan dapat mempromosikan pendirian usaha baru oleh lulusan atau memperkuat prospek penerimaan kerja dan keberhasilan lulusan di pasar tenaga kerja. Ketiga, pendidikan kewirausahaan dapat mempromosikan transfer teknologi dan perguruan tinggi ke pasar melalui pengembangan rencana usaha yang berbasis teknologi. Keempat, pendidikan kewirausahaan menciptakan hubungan antara komunitas bisnis dan komunitas perguruan tinggi. Pendidikan kewirausahaan dipandang oleh pemimpin usaha sebagai aplikasi pendekatan yang bermanfaat untuk belajar bisnis dan ekonomi, dan mereka telah membuka diri bersedia mendanai program kewirausahaan serta menyediakan tempat untuk magang. Kelima, karena tidak ada pendekatan yang baku untuk pendidikan ini dan kewirausahaan berada di luar batas disiplin ilmu tradisional, maka memungkinkan sekali untuk melakukan percobaan-percobaan pada kulikulumnya (Charney dan Libecap, 2000).

Atas dasar paradigma di atas, pendidikan kewirausahaan mestinya berjalan secara berkesinambungan serta menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh proses pendidikan baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Upaya tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi pengangguran terdidik yang terus meningkat dari tahun ketahun. Salah satunya, misalnya, dengan menyiapkan lulusan sekolah tinggi/perguruan tinggi yang tidak hanya berorientasi sebagai pencari kerja, tetapi juga sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini, sesungguhnya lembaga pendidikan kita memiliki peran yang strategis dan signifikan dalam mengatasi problem akut ini.

Secara ekplisit ketentuan yuridis yang berkaitan dengan perlunya setiap lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi untuk lebih memberikan orientasi pendidikannya kepada peserta didik pada wilayah pengayaan sikap kemandirian dan jiwa kewirausahawan begitu jelas dalam pasal 3 SK Mendiknas No. 232/U/2002 tentang arah perguruan tinggi. Yakni bagaimana lulusan perguruan tinggi diarahkan menjadikan lulusan yang berkualifikasi menguasai dan menerapkan dasar-dasar ilmiah dan keterampilan pada bidang keahliannya, mampu memahami dan menyelesaikan masalah dalam kawasan keahliannya untuk kegiatan produktif dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Dan sampai saat ini ketentuan di atas tidak pernah direvisi pemerintah.

Melihat pergeseran pemikiran di atas, lembaga pendidikan kita, khususnya perguruan tinggi dituntut untuk menciptakan dan mendesain pola dan proses kegiatan belajar-mengajar agar menjadi lebih aplikatif dan menstimulasi keinginan mahasiswa untuk berwirausaha. Salah satu mata kuliah yang diajarkan dalam konteks ini adalah mata kuliah kewirausahaan. Di hampir setiap perguruan tinggi, mata kuliah ini memang diajarkan. Namun dalam proses belajar-mengajar masih belum memberikan daya rangsang bagi mahasiswa untuk merubah paradigma berfikirnya. Hal ini disebabkan implementasi kurikulum dari mata kuliah ini cenderung bersifat teoritis yang pada gilirannya menyebabkan mahasiswa terkungkung pada problematik teoritis. Sehingga berwirausaha tetap menjadi pilihan kedua atau ketiga setelah melamar pekerjaan tidak diterima. Untuk itu, sebaiknya perguruan tinggi memberikan penekanan lebih besar lagi pada mata kuliah ini untuk tidak hanya menjadi mata kuliah complementer (pelengkap) namun seharusnya menjadi mata kuliah unggulan.

Tidak hanya desain mata kuliah yang diperbaiki, melainkan juga ditingkatkan korelasi substansi keilmuannya melalui kuliah kerja usaha, magang kewirausahaan, karya alternatif kewirausahaan dan klinik konsultasi bisnis. Oleh karenanya peran kualitas kurikulum, kualitas dosen dan praktisi yang mengajar serta kompetensi lainnya yang berkaitan dengan upaya menunjang kegiatan proses belajar-mengajar perlu didukung sedemikian rupa.

———– *** ————–

Rate this article!
Tags: