Islam, Agama Globalisasi

Oleh :
M. Fakhruddin Al-razi
Mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Setelah berad-abad Islam tersebar di muka bumi dan kemudian memadatinya, selama itu pulalah zaman terus berubah secara drastis. Kedinamisan ini membuat banyak revolusi mulai dari ilmu pengetahuan, perekonomian, dan cara pandang politik yang terepresentasi dalam luas dan cepat tersebarnya informasi. Juga selama itulah Islam mendapat tantangan bahkan hal ini akan menjadi tantangan abadi tersendiri dalam dunia Islam. Pasalnya, sebagai sebuah agama yang telah literatur utama syariatnya dituntaskan beberapa ribu tahun lalu dengan kondisi peradaban dan iklim budaya yang pastinya sangat jauh berbeda mendapatan sebuah sentilan. Masihkah eksistensi agama pada saat ini, nanti, atau mungkin kelak bisa terus mendapat rujukan dan tempat di hati umat manusia?
Meluas dan berkembang pesatnya peradaban manusia ini sering disebut-sebut sebagai era globalisasi. Era di mana sekat-sekat jarak antar negara, benua, atau bahkan belahan dunia lain bisa bercampur lebur. Inti pokok utamanya adalah dalam penyampaian informasi yang semakin mudah menyebar. Dalam hal globalisasi ini, umat Islam seakan terbagi menjadi dua golongan yang terus-menerus berada dalam perseteruan perihal apakah globalisasi ini kita terima atau sebaliknya.
Di pihak pertama yang menolak dengan sepenuhnya kedatangan globalisasi menyatakan bahwa fenomena ini menjadi sesuatu yang harus ditolak melihat banyak tidak sesuainya nilai-nilai moral dan karakter yang merabak dengan yang ada dalam Islam sendiri. Di sisi lain ada pihak yang menerima dengan seluas-luasnya dengan tanpa menyaring hal-hal negatif sehingga mereka seakan terbawa arus perkembangan sehingga kehilangan jati diri keislaman mereka.
Ke dua kelompok tersebut sama-sama mempunyai argumen yang mirisnya sering dibentur-benturkan, baik itu disengaja atau tidak. Perdebatan inilah yang menjadi inti dari pemikiran eksistensi agama di tengah arus globalisasi dengan persoalan bahwa literatur keagamaan dalam Islam yang terbatas dan sudah tidak diturunkan lagi sementara sekian banyak persoalan terus mengalir sepanjang zaman dengan corak dan ragam yang relatif sangat bermacam-macam.
Bila kemudian dunia Islam terus-terusan berkutat pada persinggungan pendapat ini yang parahnya kemudian menimbulkan keramaian isu yang sebanarnya sudah muncul sejak dahulu kala, kita seakan berputar-putar dan tidak berkembang. Sementara pihak lain terus memotori dan menduduki peran tinggi dalam maraknya fenomena globalisasi. Secara majazi kita seolah membuang-buang waktu dan tenaga kita akan mubadzirdengan hanya memperdebatkan apakah globalisasi ini harus diterima ataukah tidak. Seandainya bila kemudian pikiran dan tenaga kita yang dibuang-buang hanya untuk mempersoalkan hal tersebut digunakan untuk lebih memikirkan masa depan kemajuan Islam di era globalisasi ini, niscaya agama ini tidak akan jauh tertinggal.
Ketertinggalan ini bukan hanya sebagai sebuah pendapat dan isu. Hal ini banyak ditandai oleh kurangnya peran Islam dalam melakukan sumbangan dan kontribusi terhadap fenomena globalisasi yang terjadi. Akibatnya, kesenjangan Islam dan peradaban manusia akan semakin melebar dan kemudian akan berujung pada pudarnya identitas dan eksistensi Islam itu sendiri. Pada kondisi yang sudah seperti ini, beberapa orang parahnya masih saja menyia-nyiakan pikiran mereka untuk menghujat dan mengkritisi aspek moral dari globalisasi yang munculnya dari barat itu. Seolah mereka menghibur diri dengan kekurangan-kekurangan yang mereka temukan pada orang lain dengan tanpa melakukan sikap instrospeksi terhadap dirinya sendiri. Bukan tanpa manfaat juga sebenarnya sikap koreksi tersebut, tapi alangkah baiknya kita terus mengejar ketertinggalan ini sembari menambal kekurang-kekurangan yang ada pada diri sendiri.
Dalam salah satu tulisannya, Muhammad Hamdi Zaqzuq menggambarkan fenomena ini sebagai fenomena sentimental umat Islam yang membuiakan diri terhadap segala kelebihan aspek moralitasnya dengan tanpa membenahi sikap progresifitasnya.
Bila ditarik pemahaman menengah, maka kemudian kita bisa menyatukan antara dua pendapat tadi antara yang menolak dan menerimanya. Di sisi lain, kita haruslah menerima perkembangan dan dinamisme peradaban sebagai sebuah kenyataan. Sebagai agama yang ingklusif (meminjam bahasa Muhammad Hamdi Zaqzuq) tidak seharusnya Islam menutup diri dari fenomena globalisasi. Di sisi lain selain menerimanya, kita juga perlu melakukan penyaringan-penyaringan terhadap beberapa aspek negatif utamanya dalam hal moral dan spiritual dengan senantiasa mengkritisi setiap fenomena yang ada.
Dengan begitu, selain Islam dapat memberi kontribusi terhadap berkembangnya peradaban manusia, Islam juga dapat mengarahkan agar peradaban tersebut bisa mengarah pada hal-hal yang lebih positif. Bukan Islam yang harus ikut arus globalisasi. Bukan pula Islam yang semata mengarahkannya. Akan tetapi Islam sebagai sebuah agama sepatutnyalah menjadi pembimbing dari fenomena globaliasasi tersebut. Biarkan saja dinamika pekembangan kongkret peradaban yang berupa infrastruktur dan teknologi ini menjadi sebuah realitas yang berkembang dalam diri manusia secara plural, akan tetapi aspek moral dan spiritualitas tidak bisa kita lepas begitu saja.
Sikap menerima dan mengkritisi globalisasi ini sebenarnya telah diajarkan sejak zaman dahulu oleh nabi Muhammad melalui perintahnya tetang ijtihad. Ijtihad menjadi modal utama umat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Bukan hanya perintah Rasul untuk berijtihad, dalam beberapa hal bukan kenapa kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an justru banyak yang menunjukkan makna umum. Hal ini semakin menguatkan bahwa ijtihad adalah sebuah kebolehan dan bahkan keharusan melihat tantangan kedepan akan semakin datang bertubi-tubi. Perihal isu-isu tentang ditutupnya pintu ijtihad, hal itu tidaklah perlu dipikirkan secara mendalam. Otoritas orang paling tinggi mana yang berhak melegitimasi terututupnya pintu ijtihad sedangkan nabi Muhammad sebagai Rasul pamungkas malah kemudian mememerintahkannya.
Selain itu, bila kemudian globalisasi kini sudah banyak memberi manfaat di tengah beribu mudaratnya, maka bukan salah bila kemudian kita mewarnainya dengan aspek-aspek keislaman. Bukan kemudian malah menolaknya mentah-mentah dan terus ngotot untuk membentuk peradaban baru yang berlandaskan Islam. Selama hal tersebut mengandung maslahat umum, maka di sanalah syariat Islam bisa ditegakkan. Membawa arah peradaban menuju hal yang lebih positif adalah sebuah keharusan bahkan tanggung jawab bagi segenap umat Islam.
Dengan ijtihad pulalah, pemahaman terhadap Islam bisa semakin dinamis dan berkembang. Jadi bukan hanya persoalan saja yang semakin hari semakin bertambah, akan tetapi pemahaman terhadap Islam juga patut untuk dapat disesuaikan dengan persoalan dan realitas yang terjadi. globalisasi menjadi sebuah fenomena yang dinamis, begitu pula dengan pemahaman terhadap Islam juga akan menjadi dinamis dengan sikap ijtihad tersebut. Oleh sebab itu, bukan kenapa bila dimajazikan, Islam adalah agama globalisasi sebenarnya dengan melihat aspek ijtihad yang sudah diperintahkan nabi Muhammad tersebut. Agama yang dapat terus berkembang dan sesuai dengan kondisi zaman kapanpun. Selebihnya, mari kita lebih mengembangkan diri dengan terus mempelajari ilmu dan pengetahuan serta terus mengintegrasikannya dengan dunia keislaman agar kemudian peradaban manusia ke depan bisa menuju ke arah yang lebih positif dan penuh dengan moralitas yang luhur dan beradab.

——- *** ———

Rate this article!
Islam, Agama Globalisasi,3 / 5 ( 2votes )
Tags: