Islamofobia Meningkat, Ada yang Ditakutkan?

Oleh :
Monalita Razmayani Oedi
Mahasiswi Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Kata Islamofobia tidaklah asing lagi, terutama bagi negara-negara Barat. Islamofobia itu sendiri merujuk kepada orang-orang yang memiliki prasangka buruk terhadap Muslim atau anti-Muslim. Belakangan ini, Islamofobia kian meningkat, sehingga Islamofobia dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja.
Islamofobia yang paling umum sering terjadi ialah di bandara, ketika ingin melakukan perjalanan ke negara-negara yang notabennya bukan negara Islam akan mendapati peristiwa islamofobia terutama bagi mereka yang memiliki nama berbau nama-nama Islam seperti yang berawalan dengan “Muhammad” tidak menutup kemungkinan akan ditahan sementara untuk dimintai sejumlah keterangan seperti “mengapa nama anda banyak yang sama?” “bersama siapa anda kesini, apa tujuan utama anda kesini?” dan lainnya. Begitulah pengalaman yang pernah dialami keluarga saya sendiri.
Nah, jangankan di bandara di dalam pesawat pun islamofobia kerap terjadi. Seperti halnya yang dialami oleh Tahera Ahmad, seorang wanita muslim yang diperlakukan tidak adil oleh pramugari saat berada di pesawat milik Amerika, ia diberi minuman kaleng yang sudah terbuka penutupnya dikarenakan pramugari takut jika penutup kaleng tersebut akan dijadikan senjata oleh Tahera, dengan tidak sopan pramugari itu mengatakan hal tersebut dan di sertai cemooh dari penumpang lain yang seakan menyudutkan Tahera. Padahal Tahera hanya ingin mendapatkan minuman steril yang utuh dengan penutupnya. Apakah hal itu patut dicurigai ketika seorang penumpang pesawat menginginkan minuman yang masih utuh dengan penutupnya? Sangat tidak nyaman rasanya diperlakukan tidak adil di pesawat yang mana kita turut membayarnya namun tidak diberikan layanan dengan baik sebagaimana mestinya. Alih-alih ingin mendapatkan pelayanan yang baik malah di diskriminasi.
Kejadian serupa tapi tak sama terjadi di Paris, seorang polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang wanita Muslim yang mengenakan hijab dan anaknya yang sedang berjalan kaki. Polisi itu memukul dan meninju wanita Muslim yang sedang melindungi anaknya agar tidak terpukul oleh polisi Perancis. Polisi Perancis tersebut diketahui sedang melampiaskan kebenciannya terhadap Muslim yang memang saat itu tidak lama berselang dengan kejadian teror di Paris. Melampiaskan kemarahan dengan cara memukuli orang yang tidak bersalah sangat tidak wajar untuk dilakukan, mengapa tidak, orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa malah kena batunya, terlebih lagi belum ada bukti yang akurat bahwa setiap teror yang terjadi itu dilakukan oleh Muslim. Tak habis pikir dengan kejadian itu, memangnya apa yang harus ditakuti terhadap wanita muslim berhijab yang sedang berjalan kaki dengan anaknya?
Dengan terjadinya aksi kekerasan tersebut, orang-orang yang berada di sekitar kejadian tidak ada satu pun yang membantu atau menghentikan tindakan polisi itu. Memang, disana, jika terjadi tindakan kekerasan ataupun diskriminasi orang sekitar enggan untuk membantu, ntah karna takut ikut terlibat permasalahan atau memang tidak peduli.
Tidak hanya itu, aksi Islamofobia juga di tunjukkan melalui gambar dan tulisan yang menujukkan kebencian terhadap muslim digambarkan pada dinding-dinding bangunan dengan bertuliskan “kematian untuk muslim”. Sehingga para Muslim sudah tidak heran jika masjid juga ditempeli tulisan-tulisan kebencian terhadap Islam. Hal itu lah yang sering membuat orang-orang Islam di negara Barat terbatas dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam dunia pendidikan maupun pekerjaan terutama karena hijab yang digunakan para wanita muslim sering dijadikan penghambat dalam mencari pekerjaan.
Bahkan berbicara bahasa Arab di tempat umum pun kerab menjadi sorotan, ntah karna dicurigai sedang membicarakan hal-hal yang dapat mengancam keamanan atau dicurigai sedang merencanakan suatu kejahatan. Oleh karena itu, para Muslim sering mengecilkan suaranya ketika berbicara dengan bahasa Arab di tempat umum baik melalui telepon maupun secara langsung, padahal saat ini yang menggunakan bahasa Arab tidak hanya para Muslim, non-muslim pun juga ada yang berbicara bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa Arab bukanlah sesuatu yang selalu menyangkut tentang teror karena belum ada buktinya bahwa setiap teroris selalu menggunakan bahasa Arab.
Adapun para Muslim yang berdomisili di negara yang notabennya bukan Islam, mereka sering menyembunyikan identitas Islam mereka agar tidak mendapatkan perilaku yang kurang enak. Banyak para wanita Muslim yang keluar rumah dengan menggunakan rambut palsu untuk menutupi hijab yang dikenakannya, hanya demi keselamatan di perjalanan. Alih-alih ingin menutupi rambut menggunakan hijab malah di tutupi lagi dengan rambut palsu. Memang, di beberapa negara diluar sana banyak yang melarang masyarakatnya menggunakan atribut keagamaan.
Islamofobia memang paling sering terjadi di negara Barat yang memandang Muslim sebagai teroris, namun bukan berarti hal ini hanya terjadi disana. Di negara-negara Asia juga terkadang islamofobia masih sering terjadi, hanya saja yang membedakannya, di Barat Islamofobia ditunjukkan dengan cara berbagai diskriminasi sedangkan di Asia Islamofobia hanya dilakukan dengan tatapan sinis, memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Muslim ataupun langsung menjaga jarak ketika berada di dekat muslim. Islamofobia yang terjadi di Asia juga tidak sebanyak yang terjadi di Barat.
Begitulah adanya, semua yang berbau Islam, Arab dan terutama wanita berhijab sering menjadi sasaran empuk bagi mereka yang anti-Muslim. Terutama mereka yang anti-Muslim sering menggunakan peristiwa-peristiwa teror yang menganggap penyebab dari setiap permasalahan teror itu dilakukan oleh muslim, sehingga mereka menuangkan kebenciannya melalui kekerasan atau diskriminasi kepada para Muslim.
Dengan meningkatnya islamofobia di dunia, disisi lain, banyak muslim di berbagai belahan dunia yang malah bersikap sebaliknya, tidak membenci mereka yang non Muslim. Contohnya saja, di Kanada, Sabariah Hussein, seorang wanita Muslim yang memasak kurang lebih 300 makanan setiap harinya dan memberikannya kepada para pengungsi, tunawisma atau siapa saja yang membutuhkan makanan. Ia tidak pernah memperdulikan agama atau ras, semua diberi bantuan dengan sama rata tanpa dibeda-bedakan dan tanpa dipungut biaya sedikit pun, Ia membantu atas dasar “memberi adalah suatu kebahagiaan”. Kebaikkan Hussein membuktikan bahwa Muslim tidak membeda-bedakan satu sama lain, tidak melihat ras ataupun agama yang dianut oleh para pengungsi. Memang begitu seharusnya kita sebagai sesama manusia hendaknya membantu satu sama lain dalam hal kebaikan atas dasar kemanusiaan maupun keinginan pribadi.
Itu di Amerika Serikat, di Inggris komunitas Muslim Inggris melalui “Muslim United for London” berhasil mengumpulkan dana sebesar EUR 20 ribu atau sekitar 316 juta Rupiah yang ditujukkan untuk para korban serangan teror di Inggris. Hal tersebut di inisiasikan oleh Muddassar Ahmed yang merasa ikut sedih melihat luka dan kehilangan anggota keluarga yang dirasakan oleh para korban sehingga ia berkeinginan untuk membantu melalui penggalangan dana tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Muslim juga ikut bersatu melawan teror dan Muslim tidak mendukung teror. Bagaimana tidak, korban teror juga banyak yang beragama Islam.
Lalu, apa yang harus ditakuti? Daripada saling membenci karena agama, lebih baik bersatu karena toleransi.

                                                                                                          ———— *** ————

Tags: