Jaga “Marwah” Pesantren

Kalangan pondok pesantren seluruh Indonesia terguncang isyu akhlaq “orang dalam” yang dapat merusak marwah (martabat). Lebih sepuluh abad (seribu tahun) pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat. Bahkan sejak abad ke-17 sekaligus menjadi arena penguatan nasionalisme (ke-Indonesia-an). Pesantren juga menjadi tempat pelatihan melawan penjajahan (kolonialisme). Sejak awal kemerdekaan telah disadari, bahwa pesantren memiliki fungsi kependidikan, dan sosial politik strategis.

Pekik perjuangan Allahu Akbar, merdeka atau mati, merupakan jargon perjuangan kemerdekaan yang dicetuskan dari pesantren. Proklamasi Kemerdekaan NKRI tidak akan berumur panjang tanpa terbit “resolusi jihad” 1945. Sebuah fatwa perang suci yang dicetuskan ulama pesantren, untuk mempertahankan kemerdekaan RI. “Resolusi jihad” menghasilkan perang 10 November 1945 di Surabaya. Sekaligus meng-inspirasi perang di daerah-daerah lain (antara lain Ambarawa, Bandung, dan Bali).

Rezim penjajah coba mengerdilkan pesantren dengan berbagai cara. Namun tidak berhasil. Bahkan menjadi semakin meng-gurita di seluruh pelosok Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 27 ribu pesantren, dengan sebanyak 5 juta santri bermukim di dalamnya. Tetapi sebenarnya pondok pesantren memiliki “warga” sebanyak 20 juta-an jiwa. Terdiri dari santri mukim (5 juta orang), santri pelajar sekolah di pesantren tapi tidak mukim (13,5 juta anak), serta tenaga pengajar, dan administrasi sebanyak 1,5 juta orang.

Pertumbuhan jumlah “warga” pesantren setiap tahun bertambah sekitar 10%. Hampir seluruh pesantren memiliki lembaga pendidikan formal umum (SD, SMP, Madrasah Tsanawiyah, SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah) sampai perguruan tinggi. Bahkan sejak dekade 1980-an pemerintah memulai kerjasama dengan pesantren, mendirikan sekolah negeri. Hingga kini semakin banyak sekolah negeri berada di dalam pesantren. Terutama SMP, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan SMK. Tidak semua siswa sekolah di dalam pesantren yang bermukim sebagai santri.

Seluruh “warga dalam” pesantren wajib menjaga martabat, sesuai akidah agama (syariat) dan asas kependidikan. Martabat pesantren selama ini dijaga secara seksama, terutama oleh kyai. Sesuai UU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren. Pada pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-9, dinyatakan, “Kiai, Tuan Guru, …, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren.”

Bahkan UU Tentang Pesantren, dirumuskan secara mandiri oleh kalangan pesantren (bersama anggota DPR-RI yang pernah menjadi santri di pesantren). Sehingga seluruh pasal telah menjadi bagian kehidupan riil pesantren. Terutama tentang tujuang penyelenggaraan pesantren. Dalam pasal 3 huruf a, dinyatakan, “membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat.”

Penyelenggaraan pesantren juga bertujuan mengukuhkan nasionalisme, dan menyokong ke-bineka-an. Tercantum dalam pasal 3 huruf b, dinyatakan, “membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama.” Sehingga di setiap daerah, pesantren menjadi “area suci” yang disokong seluruh masyarakat.

Pesantren (kyai) sekaligus menjadi tempat berpulang (konsultasi) berbagai problematika sosial. Maka kasus pencemaran akhlaq (pencabulan) yang terjadi di pesantren bagai virus kejahatan. Wajib segera dituntaskan melalui penegakan hukum. Sesuai kaidah syariah (berdasar Al-Quran, dan Al-hadits), “kalangan dalam” seharusnya berlaku hukuman ganda (pemberatan).

Membersihkan yang kotor sudah menjadi kebiasaan rutin, dan dilaksanakan secara spartan oleh kyai. Agar pesantren tetap menjadi tempat (layak) berpulangnya problematika sosial.

——– 000 ——–

Rate this article!
Tags: