Jaminan Keselamatan di Jalan

Karikatur Keselamatan di JalanSUDAH kelewat banyak korban harta, raga dan jiwa, terbuang sia-sia di jalan raya selama setengah tahun terakhir. Ironisnya, kecelakaan lalulintas di darat, hampir seluruhnya (95%) disebabkan faktor human error. Pada angkutan umum, tragedi kecelakaan seluruhnya disebabkan oleh kru. Kesalahan manusia dibalik stir kendaraan, bisa berupa tidak terampil (in-kompetensi), ugal-ugalan, sampai dibawah pengaruh narkoba dan miras. Nyata-nyata merugikan orang lain.
Secara umum, kecelakaan lalulintas di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia. Lebih lagi jumlah korban meninggal, tiada yang menandingi di seluruh dunia. Misalnya, hanya dalam waktu tiga hari pelaksanaan Operasi Lilin 2014 (24-26 Desember), korban tewas tercatat 74 orang. Itu tidak termasuk kecelakaan AirAsia yang merenggut 155 jiwa penumpangnya. Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah kecelakaan tertinggi, bersama-sama dengan Jawa Barat.
Tingginya angka kecelakaan dan korban jiwa di Jawa Timur dapat dilihat dari dua pekan Operasi Ketupat Semeru 2014 (untuk arus mudik lebaran). Jumlah korban jiwa akibat kecelakaan di darat sebanyak 64 orang. Yang luka berat 111 orang. Korban jiwa ini sudah menurun, karena tahun lalu (juga hanya selama dua pekan) yang meninggal sebanyak 84 orang.  Ini berarti setiap hari terdapat 2-3 orang korban jiwa, meninggal akibat kecelakaan lalulintas.
Jumlah kecelakaan juga tergolong spektakuler. Selama dua pekan Operasi Ketupat terjadi laka-lantas sebanyak 559. Jadi selama sebulan, kira-kira bisa terjadi  lebih dari 1.200 kasus kecelakaan. Ini tentu sangat memprihatinkan. Dari jumlah angka tersebut, ada beberapa perusahaan otobus (PO) yang mendominasi yaitu Sumber Kencono (berubah nama menjadi Sumber Selamat), AKAS, Mira, Restu dan Harapan Jaya.
Berbagai operasi disiplin lalulintas memang terbukti mencegah (dan menurunkan) terjadinya kecelakaan sampai 15%. Misalnya, efek Operasi Zebra berhasil menekan korban jiwa sampai 38%. Pada saat digelar operasi korban jiwa tercatat 452 orang, sebelum Operasi Zebra sebanyak 735 jiwa.  Namun tetap saja korban jiwa masih terlalu banyak.
Setiap detik di jalanan, faktor human error bisa mengancam siapa saja, sesama pengendara, penumpang angkutan umum, pejalan kaki atau bahkan yang sedang duduk-duduk di warung kopi. Sebagaimana terjadi bus Sumber Kencono yang dikemudikan secara ugal-ugalan menyeruduk sebuah warung di Ngawi, Jawa Timur. Sudah pula terjadi, rombongan pejalan kaki disapu “samber-nyawa” oleh pengemudi yang mengkonsumsi alkohol dan narkoba.
Namun persyaratan terampil mengemudi terasa tak cukup untuk menjamin keselamatan lalulintas. Begitu pula uji psikologis, seharusnya lebih diarahkan pada kendali kejiwaan calon sopir. Bukan sekadar menghitung cepat deretan angka-angka yang nyaris tak berimplikasi apapun di jalan raya. Agaknya, Polisi perlu menambahkan syarat, yakni bebas alkohol dan zat psikotropika pada setiap pengurusan SIM (Surat Izin Mengemudi).
Metodanya bisa melalui pemeriksaan darah, dilakukan oleh bidang kedokteran kepolisian. Manakala ditemukan kandungan alkohol dan psikotropika, Polisi wajib membatalkan permohonan SIM, sekaligus mengantar calon pemilik SIM ke panti rehab atau ke ruang tahanan. UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas telah banyak mengatur berbagai hal sekitar pengemudi dan kendaraan. Tetapi yang diatur hanya “penampakan” luar.
Misalnya pasal 310 ayat (1) hingga ayat (4) memang telah merinci orang (pengemudi) dan kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan. Begitu pula pasal 287 ayat (5) telah merinci batas kecepatan. Serta pasal 283 yang melarang ugal-ugalan dalam mengemudi. Namun kondisi “dalam” tubuh pengemudi belum diatur. Padahal kondisi “dalam” tubuh lebih sangat menentukan. Misalnya pengaruh obat-obatan serta miras.
Pengadilan di berbagai negara saat ini menerapkan UU lain (tambahan)  untuk membuat efek jera pengemudi busuk secara luar-dalam.

                                                                               ———— 000 ————

Rate this article!
Tags: