Jokowi Minta Sapi Australia

Presiden Jokowi

Presiden Jokowi

Indonesia masih menjadi pasar “gemuk” ekspor sapi dari Australia. Selama setahun (2016), di-indikasi sebanyak 600 ribu ekor sapi. Konon, impor ini masih kurang, terbukti dari masih tingginya harga daging. Karena itu pada forum ASEM di Laos, dijadwalkan pertemuan khusus kedua kepala pemerintahan (Indonesia dengan Australia). Presiden Jokowi meminta sapi, namun bukan sekadar dagingnya. Melainkan impor sapi bermutu yang akan dijadikan indukan, serta sapi bakalan.
Kerjasama (ekonomi) dalam konteks daging sapi, diharapkan bukan sekadar impor beef (daging sapi). Tetapi juga cattle breeding (pengembangbiakan), berupa penggemukan, serta peranakan di Indonesia. Maka impor sapi, mesti pula mempertimbangkan lapangan kerja dalam negeri. Diharapkan sapi impor seyogianya juga disembelih di RPH (rumah potong hewan) di dalam negeri. Niscaya diperlukan perbaikan sistemik pada RPH, dengan supervisi Australia.
Pada sisi lain juga diperlukan perubahan paradigma ke-peternakan secara mendasar. Yakni, penyediaan (dengan menanam) rumput sebagai pakan ternak. Selama ini, menanam rumput dianggap bagai “gila.” Sebab, tanpa ditanam pun rumput akan tumbuh subur. Padahal yang diperlukan, bukan sekadar menanam rumput biasa. Melainkan rumput unggul (misalnya jenis kaliandra) yang menjamin pertumbuhan ternak.
“Gila-nya” menanam rumput, cukup beralasan. Sebab biasanya, kepemilikan hewan ternak oleh petani hanya sebatas satu hingga empat ekor sapi. Pakan ternak sudah cukup dengan rumput yang tumbuh tanpa ditanam. Begitu pula tanaman perdu lain bisa tumbuh tanpa ditanam. Termasuk dengan menambahkan daun tebu atau batang tanaman jagung. Iklim hujan tropis, menjadi berkah tumbuh subur-nya berbagai tanaman.
Pada masa kini, hewan ternak (sapi) tidak lagi memiliki fungsi ganda. Dulu, sapi digunakan pula sebagai pengolah tanah sawah. Bahkan menjadi penggerak “roda” transportasi. Namun fungsi sapi pada pengolahan sawah telah digantikan hand-tracktor, atau buruh tani pencangkul. Sedangkan fungsi sebagai sarana transportasi telah digantikan truk. Sehingga fungsi hewan ternak menjadi penyangga penghasilan. Menjadi “simpanan” dan simbol kekayaan.
Seiring perubahan (pe-mulia-an) fungsi sapi, seharusnya di-ikuti perubahan cara beternak yang lebih memberikan nilai tambah. Antaralain dengan penyediaan tanaman rumput unggul yang diusahakan secara berkelompok. Melalui paradigm beternak, maka hasilnya akan menjadi siklus perekonomian. Misalnya, kotoran hewan dapat digunakan sebagai pupuk kandang. Serta banyak kemanfaatan lain.
Siklus perekonomian peternakan sapi itulah yang mesti di-masyarakat-kan secara masif. Pemerintah berkewajiban mendorong meningkatkan perekonomian (kesejahteraan) petani sekaligus peternak. Diantaranya melalui fasilitasi pengadaan induk sapi unggul, serta sapi bakalan yang di-impor dari Australia. Dalam jangka menengah (10 tahun mendatang) kebutuhan daging sapi dapat disuplai peternak dalam negeri. Tidak perlu impor lagi.
Saat ini harga daging sapi di pasar Indonesia (rata-rata Rp 130 ribu per-kilogram) termahal di dunia. Namun mahalnya harga daging tidak selaras dengan tingkat kesejahteraan peternak. Ini terbukti dari nilai tukar pternak (NTP) kurang dari 100. Artinya, usaha ke-peternakan tergolong tidak feseable. Padahal patokan angka 100 ditetapkan pada tahun 2007. NTP makin tergencet manakala kuota impor selalu ditambah.
Harga daging sapi, bagai buah simalakama. Bahkan upaya menurunkan harga daging senilai Rp 80 ribu per-kilogram, dapat berarti “membunuh” peternak. Namun presiden Jokowi, memiliki perhitungan berdasar “keadilan” harga, yang disesuaikan dengan tataniaga daging sapi. Diantaranya, yang paling vital adalah ongkos transportasi. Kini mulai dirintis dengan sebuah KM Camara Nusantara.
Dengan angkutan khusus itu, ongkos angkutan yang semula antara Rp 1,5 juta sampai Rp 1,8 juta per-ekor, bisa ditekan. Biaya ongkos angkos menjadi Rp 350 ribu. Renteng distribusi juga wajib dipangkas.

                                                                                                                 ———   000   ———-

Rate this article!
Tags: