Kebebasan Pers yang Terancam

(Refleksi Hari Pers Nasional, 9 Februari)

Oleh:
Hendrizal SIP MPd
adalah Dosen PPKn FKIP Universitas Bung Hatta Padang, mahasiswa Program Doktor/S3 UNP.

Setiap 9 Februari, masyarakat Indonesia biasa memperingati Hari Pers Nasional. Dalam momen ini ada baiknya kita mendiskusikan kebebasan pers di Indonesia, yang belakangan ini memang hangat dibicarakan.
Sejumlah tokoh pers nasional misalnya pernah mendeklarasikan kebebasan pers di Medan, beberapa waktu lalu, menyusul kian maraknya tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang mengarah mengancam kebebasan pers. Pernah terjadi, misalnya, 5 wartawan harian Indopos luka-luka menyusul penyerbuan sekelompok masyarakat ke kantor redaksi harian itu di Jakarta Selatan. Sekelompok massa itu datang karena merasa keberatan dengan pemberitaan Indopos yang membahas masalah premanisme di kawasan Tanah Abang.
Beberapa waktu lalu, penyerbuan massa yang terdiri dari para preman dan anak buah seorang pengusaha besar terjadi pula terhadap kantor redaksi majalah Tempo. Kejadian itu sangat disesalkan banyak pihak. Terlebih mereka melakukan aksi kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan Tempo sebagai ekses dari pemberitaan di majalah itu yang dianggap memfitnah seorang pengusaha. Cara-cara premanisme seperti itu bisa dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.
Tokoh-tokoh pers yang ikut mendeklarasikan kebebasan pers tersebut adalah Atmakusumah Astraatmadja, Goenawan Mohamad, dan sejumlah tokoh nasional lainnya. Rekomendasi yang mereka sampaikan antara lain perlunya mengadakan pertemuan nasional seluruh wartawan dan wakil-wakil organisasi wartawan untuk mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar menghapus pasal-pasal hukum yang represif terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Kebebasan pers yang dipersoalkan karena ada kecenderungan hal itu akan terancam, memang penting kita diskusikan. Apalagi mengingat kebebasan pers merupakan pilar keempat demokrasi, setelah kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan berpendapat, dan wacana publik yang intensif tentang kebijaksanaan publik (G Bingham Powell, 1982:3; Robert A Dahl, 1989:233). Bila eksistensi kebebasan pers terancam, itu berarti juga ada ancaman terhadap demokrasi yang sedang kita bangun dengan susah payah.
Apa bangsa kita ini tidak malu membuat ancaman terhadap kebebasan pers? Kok berani-beraninya segelintir orang di negeri ini mau mengekang kebebasan pers! Padahal, secara internasional, kebebasan pers juga sudah banyak dijamin selama ini. Misalnya Pasal 19 Deklarasi HAM (hak asasi manusia) dan Pasal 19 Konvenan Hak-hak Politik Sipil yang secara tegas menyatakan, kebebasan pers merupakan bagian integral dari HAM paling generik, yaitu hak untuk tahu dan hak berpendapat bagi warga masyarakat.
Sementara pers merupakan institusi yang menjalankan peran mengorganisasikan dan menyebarkan informasi ke ruang publik dalam kerangka memenuhi HAM yang paling generik itu. Artinya, pers merupakan institusi yang memperoleh mandat menjalankan peran fiduciary dari masyarakat di negara demokrasi. Kebebasan pers di negara demokratik mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang perlu, sepanjang tidak memiliki elemen menghina, menghasut, ataupun mengadu domba sesama warga masyarakat (Afan Gaffar, 1999:9). Jadi tegasnya, pers harus selalu memperoleh hak kebebasan, sebab membawa kepercayaan dan harapan dari masyarakat.
Karena perannya tersebut, pers memerlukan kebebasan untuk dapat mengemas informasi dan menyebarkannya ke ruang publik secara baik. Jadi, kebebasan pers sejatinya adalah prasyarat bagi terwujudnya kebebasan masyarakat untuk secara leluasa bisa menerima dan menyampaikan informasi.
Tanpa kebebasan pers, daya nalar, sistem kognisi, dan ekspresi warga masyarakat akan menjadi kacau, sehingga peradaban dan kebudayaan masyarakat yang terbentuk pun akan dapat menjadi runyam. Karena itu, sesungguhnya kebebasan adalah suatu ‘struktur objektif’ (blueprint) bagi warga masyarakat (politik dan budaya) yang ingin mendambakan ketersediaan informasi bebas di ruang publik. Ia seperti acuan bagi terbentuknya pola relasi antarmanusia yang beradab dan menjadi dasar bagi terwujudnya the survival condition of humanities.
Karena itu, salah besar kalau muncul anggapan bahwa kebebasan pers sekadar menjadi hak profesional wartawan dan newspeople lain untuk menyampaikan informasi. Kebebasan pers bukanlah hanya punya wartawan. Bukan juga hanya punya pekerja pers, apalagi kaum pemilik modal pers. Tapi ia punya kita semua yang terkait dengan usaha memenuhi interes kita sebagai warga masyarakat politik dan budaya.
Itu penting kita catat. Apalagi mengingat pers kerap mengalami gangguan atas kebebasannya dalam menjalankan peran memenuhi hak-hak publik. Ancaman tersebut bisa datang dari 2 sisi: intramedia dan ekstramedia. Ancaman intramedia bisa datang karena gangguan profesionalisme wartawan dan alih fungsi pers oleh pemilik modal ke tujuan-tujuan ekonomi-politik yang tak relevan dengannya.
Adapun ancaman ekstramedia bisa datang dari institusi politik, birokrasi, aparat keamanan, komunalisme, dan sebagainya yang secara sistematis melakukan pendisiplinan terhadap ritme kerja pers. Karenanya, publik harus peka dan cermat dalam mengawasi setiap ancaman terhadap kebebasan pers.
Siapapun boleh menggunakan pers dalam rangka menyampaikan sekaligus memperoleh informasi yang bebas. Juga boleh bagi siapa pun memanfaatkan pers untuk membentuk opini dalam kerangka mewujudkan eksistensi diri dan kelompoknya. Tapi kalau hal itu bukan dimaksudkan dalam kerangka memenuhi interes publik, itu berarti telah keluar dari konteks kebebasan pers itu sendiri.
Ketika ada wartawan melalui proses kerja dengan standar jurnalistik yang tinggi menulis fakta, tidaklah ada alasan bagi masyarakat untuk tidak turut membelanya. Dalam hal seperti ini, pembaca berkewajiban pula memaksa mereka yang terkait dengan tindakan yang tak terpuji seperti mengancam kebebasan pers untuk mengambil burden proof-nya dan membuktikan bahwa wartawan yang membongkar kasus yang dimaksud tidak melakukan kesalahan.
Tapi, harap juga dicatat, wartawan bukanlah profesi yang tak terjamah oleh tangan hukum. Sebagai warga masyarakat biasa, mereka sama posisinya dengan warga negara lain di hadapan hukum. Kalau ketahuan melakukan tindak pidana, misalnya memeras, menipu, memperkosa, meneror, bahkan membunuh, jangan ragu-ragu bagi siapapun untuk mengirimnya ke penjara.
Tapi kalau yang dipersoalkan adalah karya jurnalistiknya, saat itulah aparat hukum dituntut sanggup bertindak ekstra cermat dan hati-hati dalam menangani kasusnya. Ini karena, untuk memahami kasus seperti itu, diperlukan pemahaman jurnalisme yang tidak sederhana. Mereka bisa dipersalahkan bila dalam karya jurnalistiknya terkandung niat buruk yang terselubung (actual malice) tanpa tujuan membela interes publik. Interes publik itu contohnya membongkar penyalahgunaan wewenang yang melibatkan elite politik.
Jika actual malice tersebut ternyata tak dapat dibuktikan, berarti tidak pada tempatnya wartawan dipersalahkan. Bila ada putusan hakim yang tetap mempersalahkan, bisa dipastikan putusan tersebut mengandung cacat hukum atau maksud-maksud tertentu yang tidak wajar.
Ilustrasi berpikir demikian amatlah relevan, khususnya kalau dihubungkan dengan mencuatnya beragam kasus jurnalistik yang memperoleh serangan dari dalam dan luar media, termasuk kasus Tempo beberapa waktu lalu. Bila tak digunakan cara berpikir tadi untuk menilai karya jurnalistik, suatu saat nanti wartawan yang baik akan punah, sebab mereka tak mampu (dan tak mau) lagi mengambil risiko menjalankan profesi yang tak dimengerti aparat hukum. Para pekerja pers di negeri ini bisa kehilangan nyali untuk tetap memberitakan segala sesuatu sesuai ritme perkembangan pers yang bebas dan tentunya harus bertanggung jawab.
Akhirnya, dikhawatirkan, yang tersisa nanti cuma wartawan yang hanya menghamba pada penguasa, uang dan mafia. Lenyaplah peradaban kita. Apakah kita mau itu terjadi? Ini sangat penting kita renungkan dalam memelihara kebebasan pers yang tengah terancam di negeri kita sekarang.
———- *** ————

Rate this article!
Tags: