Kenaikan Tunjangan DPRD, Pertimbangkan Asas Kepatutan

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Anggota DPRD Jatim tampaknya harus ekstra sabar untuk dapat merevisi Perda Nomor 5 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Sebab, hingga saat ini Pemprov Jatim masih harus melakukan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kendati kapasitas fiskal Jatim tidak ada masalah terhadap usulan kenaikan sejumlah tunjangan DPRD, konsultasi perlu dilakukan untuk mempertimbangkan asas kepatutan maupun pemenuhannya terhadap regulasi yang berlaku.
Kepala Badan Pengelola Kuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jatim Bobby Sumiarso mengakui, usulan untuk perubahan Perda tersebut masih dibahas dengan Kemendagri. “Terkait dengan proses penganggaran kita akan melihat dari kapasitas fiskal nanti bagaimana. Tapi setelah ada persetujuan dari Kemendagri karena itu masih harus dilihat asas kepatutan dan pemenuhan terhadap aturan bagaimana?,” ungkap Boby saat dikonfirmasi kemarin, Selasa (25/2).
Jika asas kepatutan dan pemenuhan terhadap regulasi terpenuhi, Pemprov selanjutnya baru bisa menyimpulkan apakah APBD akan cukup untuk menerima usulan kenaikan tunjangan. “Kita belum bisa berandai-andai untuk itu. Karena Kemendagri akan melihat secara nasional, dengan angka yang bervariasi pada setiap daerah. Jatim posisinya ada di mana yang tahu kemendagri, kalau kita sudah melihat akan tampak perbandingannya dengan provinsi lainnya,” sambung Bobby.
Bobby meyakini, apa yang menjadi pertimbangan Kemendagri akan melihat banyak faktor. Kalau itu dipandang mengganggu fiskal daerah, pasti Kemendagri akan memberikan pertimbangan. “Dan kita harus mengikuti (Pertimbangan Kemendagri). Karena setiap pasal akan dilihat,” tutur Bobby.
Ditanya mengenai nominal kenaikan tunjangan, Bobby menolak. “Saya belum bisa bicara angka. Karena semua masih belum bisa dipastikan angkanya,” singkat Bobby.
Sebelumnya, dalam pendapat Gubernur Jatim terhadap usulan Raperda terdapat sejumlah muatan baru yang meliputi perubahan waktu reses dari paling lama enam hari menjadi delapan hari. Untuk daerah yang memiliki kondisi alam yang sulit diangkau, maka reses dapat ditambah maksimal enam hari dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi.
Kedua, penambahan fasilitas kegiatan reses berupa pendampingan dari unsur masyarakat non PNS sebagai pendamping lokal. Ketiga, penambahan dan perubahan besaran tunjangan perumahan anggota DPRD. Empat, Perubahana besaran biaya perjalanan dinas. Lima, perubahan kuantitas pelaksanaan peningkatan kapasitas dan profesionalisme sumber daya manusia. Dalam pendapatan Gubernur Jatim tersebut, persetujuan baru diberikan untuk penambahan waktu reses anggota DPRD Jatim karena sesuai dengan PP Nomor 12 tahun 2018. Sementara usulan perubahan lainnya, dijelaskan Gubernur Khofifah perlu mendapatkan perhatian lebih serius dan berhati-hati karena akan mempengaruhi kondisi keuangan daerah.
Sementara itu, pengamat dari Parliament Watch Umar Solahudin mengatakan, keingingan DPRD Jatim untuk kenaikan sejumlah fasilitas dan tunjangan dinilai memanfaatkan politik aji mumpung. Pihaknya menilai, kenaikan tunjangan dan fasilitas tersebut tidak selayaknya untuk disetujui. Sebab, tunjangan yang saat ini diterima dinilai telah cukup besar. “Alangkah lebih baik kalau anggaran itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Apakah untuk pemberdayaan petani atau masyarakat nelayan,” kata Umar.
Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma tersebut menegaskan, misi anggota DPRD saat ini harusnya menunjukkan kinerjanya terlebih dahulu. Karena secara normativ, kenaikan tunjangan juga harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah. “Tunjukan dulu kinerjanya baru minta naik. Jangan minta naik dulu baru janji tingkatkan kinerja,” tegas Umar. [tam]

Tags: