Kenikmatan Mencairnya Identitas Menjadi Indonesia

Buku Identitas dan KenikmatanJudul    : Identitas dan Kenikmatan
Penulis  : Ariel Heryanto
Penerbit  : KPG    
Cetakan  : I, 2015
Tebal  : 350 halaman
ISBN  : 978-979-91-0886-9
Peresensi  : Muhammad Khambali
Pegiat di Pustaka Kaji, Jakarta.
Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Indonesia selama milenium baru ini menampilkan wajah zaman yang sama sekali berbeda.  Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, tontonan yang bernuasa islam memenuhi layar televisi, bioskop, dan kini layar telepon pintar melalui saluran video Youtube. Seolah membawa pesan kesalehan yang bukan hanya disukai, namun menjadi kenikmatan identitas bagi para kelas menengah baru di Indonesia.
Mereka adalah para kelas menengah perkotaan yang relatif masih muda. Dengan gaya hidup yang dikelilingi praktek mengonsumsi budaya layar atau screen culture. Telepon genggam pintar dan media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya keseharian. Kemunculan tontonan bernafas islami, dibarengi dengan euforia islamisasi yang ditunjukkan dengan ramainya perempuan berjilbab dan balutan pakaian muslim-muslimah.
Fenomena demikian menjelasnya bagaimana pertautan antara politik budaya layar di Indonesia dengan tampilan budaya populer yang marak,. Hal ini kemudian yang diteliti oleh Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan. Melalui penuturan yang mudah dipahami dan gaya bahasa yang memikat, Ariel mencoba mengungkapkan fenomena kultural ini sebagai gejala menguatnya efek globalisasi, mediatitasi, amerikanisasi, dan asianisasi di Indonesia pasca keruntuhan rezim otoriter Orde Baru.
Pasca Orde Baru tidak pernah kita temukan betapa cairnya identitas dibandingkan zaman sebelumnya. Runtuhnya sebuah rezim yang ototarian seperti membuka keran demokrasi yang sebelumnya dihambat itu mengalir deras. Membuat pelbagai identitas yang di masa itu dikerdilkan, pelan-pelan bangkit dan menjelma dalam perkembangan budaya populer di Indonesia saat ini.
Mencairnya Identitas ini bagi Ariel dapat kita telisik melalui tontonan layar seperti film. Menurutnya pada dekade 1980-an, tak terbayangkan sebuah film menggambarkan seorang pegawai pemerintah menerima uang sogok, apalagi menjadi objek olok-olok seperti dalam film Ada Apa dengan Cinta (2000). Film yang mengisahkan siswa SMA di Jakarta yang berbicara dalam bahasa gaul dan secara terang-terangan menyinggung perilaku orang tua pelaku kekerasan domestik. Gaya bicara serta muatan seperti itu pasti disensor jika dibuat pada masa Orde Baru (hlm 82).
Setelah itu film Ayat-ayat Cinta menjadi film yang memiliki dampak dahsyat terhadap kaum muda. Tidak hanya mengenai rekor jumlah penjualan tiket penonton, Ayat-ayat Cinta menjadi tolok ukur bangkitnya Islam di Indonesia. Sukses besar Ayat-ayat Cinta merupakan tanda bagi era baru dalam kehidupan publik. Bagaimana Islamisasi telah menjadi satu-satunya ciri paling mencolok yang mewarnai dekade pertama Indonesia sesudah Orde Baru.
Sementara di masa lalu orang memandang ketaatan dan hiburan sebagai hal yang tak cocok satu sama lain, muslimah generasi baru melihat ketaatan beragama dan modernitas sama menariknya dan tak selalu keduanya saling bertentangan (hlm 47). Bagaimana ketaatan beragama menemukan dialektika dengan kapitalisme industri Indonesia yang memberikan tanggapan terhadap pasar yang sedang tumbuh bagi revitalisasi dan gaya hidup islami. Ternyata islam dan kapitalisme dapat saling bersekutu (hlm 48).
Akan tetapi  kenikmatan atas mencairnya identitas tersebut menjadi kenikmatan yang melupakan sejarah. Maraknya gerakan islamisasi dan post-islamisme di Indonesia berbarengan dengan melekatnya kebencian terhadap komunisme. Komunisme seperti hantu masa lalu yang dicincang dan dilupakan. Dan Ariel melihat peran yang sangat menentukan yang dimainkan oleh film sebagai medium propaganda di tangan pemerintah rezim Orde Baru.
Ariel mengatakan propaganda ideologis tersebut sebagai dosa asal masa lalu. Dia mencontohkan tidak ada materi propaganda, di layar maupun di luar layar, yang menimbulkan dampak sedahsyat film Pengkhianatan G 30 September (hlm 120). Film yang menjadi tontonan wajib di Orde Baru tersebut telah melekatkan pandangan negatif dan kebencian yang mendalam terhadap PKI dan komunisme sebagai kaum yang anti-agama, tak manusiawi dan jahat.
Anehnya, dalam pertentangan ideologis antara islam dengan komunisme, remaja muslimah kelas menengah perkotaan justru menunjukkan sikap berbeda terhadap budaya K-pop Korea dan Asia lainnya. Fenomena ini dimulai ketika mereka menggandrungi film Taiwan Meteor Garden di tahun awal dekade 2000-an. Lantas Ariel menemukan bagaimana kini demam K-pop turut melanda para perempuan jilbab muslimah yang “tanpa malu-malu” memuja para artis K-pop Korea sebagai idola oriental non-muslim (hlm 270-272).
Runtuhnya budaya maskulin yang kuat menyusul kejatuhan pemerintah Orde Baru dan kekosongan budaya yang mengiringinya menjadi salah satu faktor tumbuh dan diterimanya K-Pop dan asianisasi di Indonesia (hlm 276). Bagi Ariel, kita menyaksikan bagaimana politik identitas di Indonesia telah mencapai tahap hibriditas baru.
Sejatinya masih banyak fenomena budaya pop yang diulas dalam buku ini. Ariel meyakini, dalam beberapa hal, Indonesia pasca-1998 mengingatkan kita pada negara ini ketika berada di dekade pertama kemerdekaan. Dalam dua periode yang berbeda ini, Indonesia mencoba membangun ulang dirinya sebagai negara-bangsa. Buku ini menjelaskan bagaimana kelas menengah perkotaan mencoba merumuskan ulang identitas mereka sesudah berakhirnya rezim represif orde baru

                                                                                                                   ———– *** ———–

Tags: