Kepastian Hukum Darurat Kesehatan

Oleh :
Hananto Widodo
Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya
Setelah tidak ada kepastian hukum dalam penanganan secara konkrit dampak dari Covid 19, Presiden Jokowi akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19, dan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Covid 19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Lahirnya ketiga produk hukum itu paling tidak telah memberikan kepastian hukum dalam penanganan pandemic Covid 19, karena meskipun sudah ada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan , tetapi UU ini belum mengatur hal-hal yang bersifat teknis terkait dengan penanganan pandemi Covid 19 ini. Persoalan kepastian hukum ini menjadi sangat penting tatkala penyebaran Covid 19 sudah cukup massif di beberapa daerah. Sedangkan dasar hukum secara teknis belum ada, sehingga seringkali daerah-daerah terkesan melakukan gerakan-gerakan sendiri dalam rangka pencegahan Covid 19. Padahal kebijakan dari daerah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid 19 ini dapat dikatakan bertentangan dengan UU Kekarantian Kesehatan, karena berdasarkan UU ini kebijakan dalam hal penanganan Covid 19 ada di tangan pemerintah pusat.
Kebijakan daerah dalam menangani pencegahan penyebaran Covid 19 sebelum keluarnya ketiga produk hukum yang diterbitkan oleh Presiden harusnya hanya bersifat himbauan semata. Padahal penyebaran Covid 19 sangat cepat dan sudah pada titik membahayakan. Oleh karena itu, tindakan pemerintah daerah jika dilihat pada aspek masifnya penyebaran Covid 19 tidak dapat disalahkan begitu saja. Apalagi setelah keluarnya Maklumat Kapolri yang salah satunya adalah akan menertibkan kegiatan yang mengundang massa, maka tindakan pemerintah daerah dalam menangani penyebaran Covid 19 menjadi wajar meskipun secara hukum tidak dapat dibenarkan. Namun demikian, secara yuridis keluarnya ketiga produk hukum meskipun telah memberikan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam penanganan Covid 19, tetapi secara materi muatan khususnya PP No. 21 Tahun 2020 tetap menimbulkan problematik.
Paling tidak ada dua isu yang muncul ketika PP No. 21 Tahun 2020 itu terbit. Pertama, mengapa PP ini baru keluar setelah hampir dua tahun UU Kekarantinaan Kesehatan ini berlaku. Kedua, mengapa judul dari PP ini secara eksplisit menyebut Covid 19? Bukankah PP ini berlaku terus menerus, sedangkan keberadaan Covid 19 ini hanya berlaku sementara ?
Untuk menjawab kedua isu di atas maka kita harus membaca kembali Pasal 10 UU Kekarantinaan Kesehatan.. Maksud dari keluarnya PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) UU ini bukan untuk mengatur mengenai penanganan suatu pandemi di masyarakat, tetapi materi muatan yang harus diatur adalah terkait dengan tata cara penetapan dan pencabutan status kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu PP ini harusnya berisi tentang tata cara dan syarat-syarat suatu kondisi itu dapat dinyatakan sebagai darurat kesehatan.
Dengan demikian, PP No. tentang penangan Covid 19 ini berada di luar yang ditentukan oleh UU Kekarantinaan Kesehatan, sehingga keberadaan PP ini justru menimbulkan ketidakjelasan dalam penanganan penyebaran Covid 19 di daerah. Apalagi PP ini hanya mengatur sedikit pasal yang kemudian secara teknis lanjutannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19.
Kepastian hukum terkait syarat-syarat dan tata cara penetapan status darurat kesehatan ini sangat penting sebab bagaimanapun juga status darurat akan berdampak pada terampasnya hak-hak masyarakat. Sebab pada masa berlakunya status darurat kesehatan ini, pemerintah diberi kewenangan yang sangat besar termasuk dalam melakukan pembatasan-pembatasan interaksi sosial dalam masyarakat. Memang tujuan dari diberinya kewenangan yang besar ini adalah untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas agar dapat terhindar dari penyebaran virus Covid 19 ini. Namun demikian, pemberian kewenangan yang besar pada pemerintah bisa berpotensi pada tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan. Oleh karena itu, lahirnya PP tentang cara dan syarat-syarat penetapan status darurat kesehatan ini menjadi lebih penting.
Kewenangan yang besar dari pemerintah terkait dengan penanganan Covid 19 adalah berupa pemberian diskresi yang besar dari pemerintah. Meskipun ada pengaturan secara lebih detail dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 yang antara lain mengatur permohonan persetujuan dari pemerintah daerah terkait dengan penetapan PSBB tetapi bentuk secara teknis dari PSBB sendiri tidak secara jelas diatur dalam Permenkes ini. Dalam Permenkes ini memang bentuk PSBB diatur seperti peliburan sekolah, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, tetapi bagaimana teknis dari pelaksanaan PSBB sehingga berbeda dengan Karantina Wilayah tidak jelas nampak dalam Permenkes ini.
Pilihan PSBB dibanding karantina wilayah disebabkan sebagian besar dari masyarakat Indonesia bekerja pada sektor informal seperti Ojek Online, Pedagang kaki lima dan usaha menengah kecil lainnya. Jika diberlakukan karantina wilayah maka konsekuensinya banyak dari masyarakat akan kehilangan mata pencahariannya. Dengan diberlakukannya PSBB saja, tingkat perekonomian di segmen masyarakat bawah sudah sangat terdampak, apalagi jika diterapkan karantina wilayah. Oleh karena itu, pembedaan secara tegas terhadap PSBB dan karantina wilayah harus tegas, sehingga jangan sampai secara kebijakan adalah PSBB tetapi secara praktik yang terjadi adalah karantina wilayah.

Rate this article!
Tags: