Kerjasama Ulama Menjaga NKRI

(Istighotsah Kolosal Hari Lahir NU Ke-91)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Puluhan ribu majelis (pengajian) umat mulai digelar beruntun, diikuti jutaan warga nahdliyin (NU) di berbagai daerah se-Indonesia. Seluruh pengajian (dan istighotsah) bertema “Ukhuwah Wathaniyah,” kerukunan nasional. Ini akan menjadi suasana selama peringatan Harlah (hari lahir) NU ke-91. Berkait dengan suasana kehidupan sosial (bernegara) yang tengah terancam aksi in-toleran antar kelompok masyarakat. Serta suburnya penyebaran berita bohong (hoax).
Kekhawatiran itu tercermin dari indikasi perilaku sosial, terutama kalangan pejabat dan tokoh masyarakat. Media sosial berbasis internet dijadikan jagad pencitraan, sekaligus menistakan pihak lain. Dinamika politik, makin meng-khawatirkan. Terutama menjelang pemilu (pemilihan umum). Masyarakat terasa “di-adu” secara diametral pada saat pilpres, pemilu legislatif dan pilkada. Maka diperlukan prakarsa lebih luas mencegah perpecahan sosial kebangsaan.
Tema “ukhuwah wathaniyah” bagai mengingat kembali hasil muktamar NU ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Pucuk pimpinan NU (Rais Aam) terpilih, mengumumkan: bahwa Pancasila sebagai dasar kenegaraan telah final. Ketetapan muktamar itu menjadi perdebatan, tidak sedikit yang men-cemooh. Seolah-olah “mem-paralel-kan” diri dengan pemerintah. Sebab dulu, NU menjadi “incaran” pemerintah. Karena selama tiga kali pemilu “ber-hadap-hadapan” secara politis dengan rezim.
Pada tataran teori bernegara, terdapat asas Pactum Unionis. Yakni perjanjian antara masyarakat dan kelompok masyarakat untuk membentuk suatu negara yang melindungi warganya. Sebagaimana di “negara” Madinah, dahulu dikenal adanya perjanjian Shahifah Madinah, ditulis tahun 622 masehi. Tujuannya untuk seluruh warga Madinah, tanpa pembedaan suku dan agama. Prinsipnya adalah egalitarian, persamaan hak setiap rakyat yang dijamin oleh negara.
Peng-gagas-an Pancasila juga senafas dengan Shahifah Madinah. Senafas denegan Magna Carta, milik Inggris yang digagas pada 15 Juni 1215. Senafas pula dengan Declaration of Independence of USA (Kemerdekaan Amerika Serikat). Juga senafas dengan deklarasi revolusi Perancis “La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen,” yang digagas oleh Marquis de Lafayette. Melalui dasar negara, sistem penyelenggaraan negara diatur sesuai adat dan budaya bangsa.
Maka penerimaan asas Pancasila dalam muktamar NU memiliki reasoning brilian. Yakni, bahwa kelima sila Pancasila, berselarasan dengan kaidah agama (Islam). Penjelasan penerimaan Pancasila, disiarkan live (langsung) oleh televisi pemerintah (satu-satunya stasiun televisi saat itu). Melalui Rais Aam Pengurus Besar NU (KH Achmad Shiddiq), disampaikan pula agar umat islam Indonesia memiliki tiga sikap dalam kehidupan sosial.
Mengukuhkan Toleransi
Tiga perilaku sosial, merupakan pilar pluralisme (ke-bhineka-an) Indonesia, menyokong Pancasila. Yakni, tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan tawasuth (di tengah, tidak ekstrem kanan dan tidak kiri). Terbukti, setelah muktamar NU berlalu 33 tahun, ketiga sikap tetap dibutuhkan. Bahkan pada harlah (peringatan hari lahir NU) ke-91 saat ini, ulama di seluruh Indonesia kembali men-sosialisasi-kan ketiga sikap tersebut. Bersamaan dengan situasi kenegaraan yang gaduh karena melemahnya toleransi.
Namun harus diakui, ada pula (semacam) sindikat yang seolah-olah menyulut in-toleran. Bagai memancing di air keruh. Menyebabkan perlawanan ekstremitas, menyulut kegaduhan sosial. Terutama melalui media sosial berbasis internet. Serta melalui penyiaran media cetak dan media elektronik partisan. Antaralain penerbitan ke-kiri-kiri-an, terang-terangan disebarkan. Seolah-olah menantang penyelenggara negara, sekaligus menantang kekuatan “kanan.”
Sering pula, pejabat politik yang tidak cerdas juga menyulut kegaduhan sosial. Misalnya anggota DPR yang menyokong aksi ekstrem kiri, berdalih HAM (Hak Asasi Manusia). Padahal Indonesia telah memiliki pengalaman pahit menghadapi aksi ekstrem kiri. Ingat, gubernur Jawa Timur (yang pertama) RMT Soerjo, dihadang oleh gerombolan ekstrem kiri (PKI) dalam perjalanan dinas. Jasadnya ditemukan dalam keadaan terkoyak, di hutan desa Kedung-galar, Ngawi.
Bahkan banyak tokoh yang coba memutar balikkan fakta. Misinya, diperoleh pencitraan, bahwa ekstrem kiri tidak bersalah. Isu sokongan terhadap ekstrem kiri, niscaya menyulut ekstremitas kanan. Ditambah situasi maraknya kemaksiatan, juga memicu radikalisme kanan (berdalih dakwah agama). Fakta lain, dakwah radikalisme tak kalah merepotkan tataran grass-root. Misalnya, dakwah agama yang meng-kafir-kan umat yang berbeda madzab.
Maka penyelenggara negara, mesti meningkatkan kerjasama dengan ulama, dan guru-guru masyarakat. Melemahnya toleransi antar-golongan berpotensi mengoyak persatuan nasional. Begitu pula dinamika sosial, juga terancam krisis teladan. Banyak anggota DPR membanting kursi menggebrak meja pada saat rapat musyawarah.
Tak salah presiden KH Abdurrahman Wahid (gus Dur) sampai menggelari DPR sebagai arena TK (taman kanak-kanak). Ironisnya, pertarungan (politicking) di DPR makin kental. Pada situasi lain, ribuan anggota DPR (dan DPRD terjerat kasus gratifikasi, serta. Setidaknya, kepercayaan masyarakat terhadap anggota legislatif makin merosot. Karena kerapnya kunjungan kerja yang tidak berguna, hanya berupa plesiran.
Ideologi Negara
Bahkan parlemen hasil pemilu 2014 lalu, pernah terpecah menjadi dua kubu besar. Kelompok Indonesia hebat (KIH), dan kelompok merah putih (KMP). Keduanya dalam posisi diametral, saling menjegal. Bersyukur, kini bisa “di-akur-kan.” Di luar ranah parlemen, banyak pula tokoh masyarakat berlaku bagai sindikat, memicu kegaduhan sosial. Menistakan saudara sebangsa nyaris menjadi kebiasaan. Sampai terjebak penyebaran berita bohong (hoax) dan fitnah.
Siapa tak miris (dan prihatin)? Maka wajar dua lembaga tertinggi negara, ke-presidenan dan MPR, meng-inisiasi pemantapan ideologi ber-negara. Memberi wadah (kelembagaan) meluaskan sosialisasi Pancasila. Agar seluruh masyarakat Indonesia melaksanakan “pesan” Pancasila. Terutama elit politik, serta “yang bermain” pada kancah politik.
Seperti dahulu, rezim presiden Soeharto, memiliki lembaga yang mengurusi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P4 atau Eka Prasetya Pancakarsa menjadi panduan kehidupan bernegara. Tetapi hukum itu (tentang P-4) kini tidak berlaku lagi. Dicabut dengan Ketetapan MPR (Nomor XVIII tahun 1998). Lebih dikukuhkan lagi melalui Ketetapan MPR (Nomor I tahun 2003). Konon P-4, dianggap menjadi “pesaing” kaidah agama.
Namun seharusnya, tuduhan kemiripan dengan ajaran agama, tidak menyurutkan tekad memperbarui pe-lembaga-an ideologi negara. Sebab, sila pertama Pancasila, pun merupakan inti ajaran agama. Bahkan seluruh sila Pancasila merupakan ajaran agama. Maka seharusnya dipahami, bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bukan negara sekuler. Melainkan negara berdasar Pancasila bersendi ajaran agama.
Peng-gagas-an dasar negara (Pancasila) oleh para pendiri negara, terbukti sesuai dengan ke-bhineka-an Indonesia. Dan sesungguhnya Pancasila merupakan “potret” sosial sejak awal adanya suku-suku bangsa Indonesia. Hebatnya, para pendiri negara memasukkan Pancasila dalam mukadimah UUD 1945, yang tak dapat diubah oleh siapapun. Kini, pe-lembaga-an Pancasila telah disepakati bersama. Bermisi mengukuhkan pesan ideologi kenegaraan.
Boleh jadi pe-lembaga-an ideologi negara, akan beda dengan BP-7 (yang dahulu). Kelembagaan (yang baru) seyogianya lebih berupa pembangunan karakter kebangsaan. Antaralain ke-santun-an dalam berpolitik, serta gotong-royong dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: