Kisah dan Orasi Para Maestro Sastra

Buku Maestro SastraJudul Buku    : Menggali Sumur dengan Ujung Jarum
Penerjemah    : Tia Setiadi
Penerbit        : DIVA Press
Cetakan        : I, 2015
Tebal        : 208 halaman
ISBN          : 978-602-255-852-1
Peresensi    : Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Dalam jagat kesusastraan telah muncul ribuan sastrawan meramaikan blantika kepenulisan. Dari abad ke abad, para sastrawan itu menganggit karya bersama pandangan hidupnya, idealismenya, misi dan kepentingannya, bahkan kebahagiaan dan kenestapaannya.
Dengan menghadirkan karya dan ceramah para maestro sastra yang pernah hadir di dunia, buku ini menyuguhkan spirit, inspirasi, sekaligus cermin refleksi. Sebut misalnya kisah Jorge Luis Borges (1899-1986). Dia dianggap sebagai salah satu tokoh sastra terbesar dari abad ke-20. Heroiknya, dia mengalami kebutaan Kebutaan yang dideritanya bukanlah sekonyong-konyong kehilangan penglihatan, tetapi terjadi secara lambat yang dimulai tatkala dirinya mulai bisa melihat. Pada tahun 1955, momen yang menyedihkan datang ketika dia menyadari telah kehilangan penglihatan, baik untuk membaca maupun untuk menulis (hlm. 94).
Menurutnya, mengartikan kegelapan sebagai kehitaman sebagaimana baris Shakespeare, “Menatap ke kegelapan yang dilihat si buta”  adalah salah besar. Dia percaya bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah instrumen demi suatu tujuan yang mesti diterima. Penghinaan, rasa malu, kemalangan, dan segala yang terjadi bagaikan lempung, ibarat bahan untuk karya seninya. Menurutnya, jika seorang buta berpikir dengan cara demikian, maka akan selamat.
Dia mengaku bahwa kebutaannya adalah hadiah. Kebutaan telah memberinya Anglo-Saxon, memberinya sastra Skandinavia, memberinya pengetahuan tentang sastra Abad Pertengahan yang sebelumnya dia abaikan. Kebutaan mengenalkannya pada berbagai karya yang baik dan buruk (hlm. 113). Penulis kelahiran Argentina ini telah menghasilkan beberapa karya, yang terkenal adalah Ficciones dan El Aleph.
Mungkin tidak ada di antara para sastrawan yang memastikan reputasi dan karyanya akan diakui dunia, atau mendapatkan Nobel Prize bidang sastra. Lewat dedikasi, kegigihan, dan komitmen berkarya, pencapaian brilian itu dirasakan sastrawan seperti Orhan Pamuk, Gabriel Garcia Marques, dan Naguib Mahfouz.
Dengan kata-kata manis yang diucapkan di hadapan Akademi Swedia dan panitia Nobel pada tahun 2006, Orhan Pamuk menegaskan bahwa dia menulis karena dorongan batin. Menulis karena menyukai bau kertas, pena, dan tinta. Menulis karena percaya pada sastra dan pada seni novel, lebih dari kepercayaan pada yang lainnya. Menulis karena kebiasaan dan gairah. Menulis karena takut dilupakan. Menulis karena ingin dibaca. Menulis untuk bahagia (hlm. 165-166).
Dia juga berkata, “Saya menulis karena saya ingin orang-orang lain, kita semua, seluruh dunia, mengetahui kehidupan seperti apa yang kami jalani, dan terus kami jalani, di Istanbul, di Turki.” Ada hasrat pribadinya yang berkelindan dengan misi menyiarkan tempat kelahirannya kepada dunia. Dia yang lahir pada 7 Juni 1952 telah menulis banyak karya yang umumnya diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti The White Castle, The Black Book, The New Life, My Name Is Red, Snow, dan The Museum of Innocence.
Baginya, rahasia penulis bukanlah inspirasi-sebab tak jelas betul dari mana gerangan datangnya-melainkan kekeraskepalaan dan kesabarannya. Pepatah Turki “menggali sumur dengan sebuah jarum” menjadi bingkai para penulis. Produktivitas berkaitan dengan kesungguhan berkarya dan bersabar untuk mengeksplorasinya. Banyak yang bisu harus disuarakan, yang tidak terkabar harus disampaikan. Memberitahu tentang segala sesuatu yang semua orang tahu, namun tidak tahu bahwa mereka tahu.
Dalam orasinya bertajuk “Anak Dua Peradaban” saat penerimaan penghargaan Nobel pada tahun 1988, Naguib Mahfouz (1911-2006) dengan bangga menyebut dirinya lahir dari peradaban Fir’aun dan peradaban Islam. Itulah takdirnya dilahirkan dalam dua pangkuan peradaban tersebut untuk menyerap air susunya serta melahap kesusastraan dan keseniannya. Yang menarik dari ceramahnya adalah keprihatinan dan pembelaan terhadap fakta Dunia Ketiga. Dengan lantang, dia menyampaikan pesan atas Dunia Ketiga: Janganlah menjadi penonton atas kesengsaraan-kesengsaraan kami.
Dalam pidatonya itu, dia berucap, “Kita telah cukup berkata-kata. Kini saatnya untuk bertindak. Inilah saatnya untuk mengakhiri zaman perampokan dan riba. Kita hidup di zaman yang para pemimpinnya bertanggung jawab atas seluruh bumi manusia. Hentikan perbudakan di Afrika Selatan! Selamatkan mereka yang kelaparan di Afrika! Selamatkan bangsa Palestina dari deru peluru dan penyiksaan! Juga, hentikan bangsa Israel yang mencemari warisan spiritual mereka yang agung! Selamatkan mereka yang berhutang dari hukum-hukum ekonomi yang keras! (hlm. 176-177).
Lewat buku ini, pembaca juga bisa menggali ide, hasrat, dan imajinasi dari Seamus Heaney (1939-2013) dalam pidato Nobelnya pada tahun 1995 bertajuk “Menghargai Puisi”. Dilengkapi pula beberapa cerita pendek dari empat cerpenis dunia. Selamat memetik inspirasi.

                                                                                                  —————- *** —————-

Rate this article!
Tags: