Kontra-Terorisme dan Keterlibatan Multiaktor

Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Pemberitaan tentang terorisme di Jawa Timur kembali mengemuka dalam tiga hari terakhir setelah Polri menangkap terduga teroris di tiga wilayah, yakni Lamongan, Tuban, dan Surabaya. Penangkapan dan perburuan teroris ini menunjukkan bahwa Jawa Timur masih menjadi salah satu basis dari jaringan terorisme. Hal ini sekaligus menunjukkan perlunya memperkuat upaya kontra-terorisme melalui keterlibatan multiaktor.
Tiga Kasus
Pertama, Jumat (7/4), tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiterror Polri menangkap Zainal Anshori, Hendis Efendi, dan Zaenal Hasan di Paciran, Lamongan. Ketiganya merupakan terduga teroris yang memiliki keterlibatan dalam jaringan teror di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompol, mereka diduga menjadi bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan terlibat aksi teror bom Thamrin awal 2016 lalu. Istilah teror Thamrin merujuk pada serangan teror di sekitar Plaza Sarinah Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016 silam.
Kedua, Sabtu (8/4), enam orang terduga teroris tewas dalam baku tembak dengan polisi di sebuah ladang jagung di Siwalan, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Mereka sebelumnya menyerang pos polisi di Pereng Jati Peteng, Jenu, Tuban. Setelah serangannya gagal, pelaku meninggalkan mobil yang ditumpanginya dengan nomor polisi H 9037 BZ dan melarikan diri ke ladang jagung. Pengejaran polisi berakhir setelah enam orang pelaku tewas dalam drama baku tembak dengan aparat. Menurut Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Machfud Arifin, enam terduga teroris yang tewas tersebut memiliki keterkaitan dengan aksi terorisme di Indonesia.
Ketiga, Sabtu (8/4), anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Pasuruan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhamad Nadir Umar ditangkap tim Densus 88. Umar ditangkap di terminal dua kedatangan internasional Bandara Internasional Juanda, Surabaya sesaat setelah mendarat dari Kuala Lumpur menggunakan pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan XT 327. Umar ditangkap tanpa perlawanan atas dugaan keterlibatan dengan jaringan ISIS. Apalagi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Sudiono Fauzan, menegaskan bahwa keberangkatan Umar ke luar negeri bukan untuk kepentingan dinas.
“Rahim” Terorisme
Tiga kasus di atas menjadi menarik karena semuanya diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme yang di Indonesia, salah satunya dan terutama adalah jaringan ISIS. Terlebih lagi, aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia dalam dua tahun terakhir banyak dikaitkan sebagai bagian dari ISIS. ISIS sendiri sejak 2014 telah dinyatakan oleh pemerintah Indonesia bahwa eksistensinya adalah ancaman bagi kesatuan bangsa dan karena itu keberadaannya baik secara formal dan informal dilarang. Lebih dari itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang memasukkan ISIS sebagai organisasi terorisme internasional yang harus dilawan oleh seluruh negara.
Lebih lanjut, dalam konteks Jawa Timur, isu dan jaringan terorisme bukanlah hal yang baru. Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 2014 lalu pernah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2014 tentang Larangan ISIS. Pergub ini muncul sejatinya bukan hanya karena ancaman ISIS melainkan karena wilayah Jawa Timur dipandang sebagai “rahim” terorisme.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Jawa Timur Zainal Muhtadien pada 2014 lalu membenarkan bahwa Jawa Timur dikatakan sebagai “rahim” pergerakan dan paham terorisme. Sebab, rata-rata pembenihan paham dilakukan di Jawa Timur kemudian dikembangkan dan melakukan aksi keluar Jawa Timur. Adapun daerah yang mendapat perhatian sebagai “lahan” persemaian terorisme di antaranya adalah Lamongan, Magetan, Sidoarjo, Pasuruan, Surabaya, dan Malang  (Antara, 4/9/2014).
Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Ali Fauzi, mantan pejuang di Afghanistan, Moro, dan Ambon. Ali Fauzi menyebut bahwa sejumlah teroris dan terduga teroris berasal dari daerah di Jawa Timur (Tempo, 4/9/2014). “Hasil penelitian saya, memang Jatim menjadi wilayah reproduksi bagi mereka yang punya kemauan untuk bertindak dan bergabung dengan paham ISIS,” kata Ali Fauzi.
Kontra-Terorisme dan Multiaktor
Tiga kasus di atas menambah sederet daftar panjang penangkapan jaringan terorisme di Jawa Timur. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sel-sel terorisme terus berkembang biak dan memiliki rantai jaringan yang kompleks. Apalagi jaringan teroris bergerak “di bawah tanah” dan bersifat senyap (silent) sehingga tidak mudah untuk ditindak dan mata rantai jaringannya sulit untuk diputus.
Oleh karena itu, upaya kontra-terorisme harus terus dilakukan dan diperkuat dengan beragam cara. Sebab, menurut Gus Martin (2004), beragam cara dan upaya perlu diintegrasikan sebagai usaha kontra-terorisme karena tidak ada upaya tunggal yang dapat dilakukan untuk menghadapi terorisme. Untuk itu, upaya kontra-terorisme perlu mengintegrasikan antara pendekatan hard dan soft. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan upaya hard adalah pendekatan yang represif, sementara soft merupakan pendekatan yang persuasif.
Pendekatan represif dilakukan oleh aparat keamanan, dalam hal ini adalah Densus 88 Antiteror dan Polri, melalui penangkapan, pengawasan terhadap lokasi dan target tertentu, serta penegakan aturan hukum. Namun, sekuat apapun upaya represif dilakukan untuk menumpas jaringan terorisme belumlah cukup mengingat kelompok terorisme memiliki sel jaringan yang rapi dan kuat.
Untuk itu, menghadapi terorisme juga perlu dilakukan dengan cara persuasif, dengan melakukan berbagai bentuk sosialisasi dan penyebaran informasi kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai stakeholders. Hal ini menjadi penting karena salah satu cara kelompok teroris untuk meneguhkan eksistensinya adalah melalui perekrutan anggota baru di masyarakat. Upaya persuasif dibutuhkan untuk membentengi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh propaganda ide-ide yang dilancarkan oleh kelompok terorisme.
Artinya, meminimalisir aksi-aksi dan perluasan jaringan terorisme tidak boleh hanya berfokus pada tindakan represif terhadap pihak-pihak yang terduga memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme. Tetapi, juga menjadi penting untuk mematikan benih-benihnya yang terus ditabur di masyarakat, terutama di ladang subur persemaian jaringan teroris di berbagai wilayah di tanah air.
Untuk hal tersebut di atas, keterlibatan multiaktor dari berbagai jenis dan level adalah hal yang utama. Multiaktor dari multilevel yang dimaksud bukan hanya dari aktor pemerintah dengan berbagai organ-organnya mulai pusat, provinsi, hingga daerah. Tetapi juga, aktor non-pemerintah melalui keterlibatan organisasi masyarakat dan masyarakat sipil. Seluruh pihak, baik pemerintah maupun non-pemerintah, perlu goes hand by hand, berjalan beriringan untuk menghadapi terorisme.

                                                                                                             ———— ooo ————–

Tags: