Korupsi : Aceh dan Permintaan Din Minimi

Ramli PrayogaOleh:
Ramli Prayoga
Aktivis Pers Ilmu Pemerintahan Asal Gayo Lues, Aceh ; Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Berbicara mengenai korupsi di negeri ini memang tidak pernah habisnya. Korupsi yang mematikan rakyat secara perlahan sudah menjadi darah daging bagi sebagian orang yang telah melakukannya. Korupsi adalah suatu kegiatan mengambil uang atau barang yang bukan hak pribadi atau kelompok, biasanya atas keserakahan dan nafsu yang tidak bisa dikendalikan. Sehingga tanpa pikir panjang mengambil (mencuri) hak orang lain demi kepentingan pribadi sebagai cara memperkaya diri dan kelompok.
Jika Robert Klitgaard memandang korupsi itu sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi.
Pandangan Robert Klitgaard ini memusatkan pada urusan administratif dalam sebuah lembaga pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya. Sehingga dalam hal ini berpedoman pada hukum positif negara Indonesia seperti Undang-undang dan peraturan atau keputusan pemerintah.
Berbeda dengan ajaran Islam, korupsi menurut pandangan Hafidhuddin dalam Hikmah termasuk perbuatan fasad (perbuatan yang merusak tantanan kehidupan). Pengertian al-fasad dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup seperti teror, membunuh, melukai atau merampas hak orang lain (korupsi). Hal ini dipertegas dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41. Terjemahan ayat tersebut bisa ditafsirkan sebagai korupsi. Karena Allah menyuruh manusia untuk memperhatikan dan mengamati peristiwa dilingkungan sekitarnya. Penekanan perbuatan korupsi lebih pada moralitas yang tidak baik, karena mengandung unsur perusakan terhadap negara.
Kasus dugaan korupsi yang dihimpun GeRAK Aceh 2014 oleh Divisi Advokasi dan Korupsi mengungkapkan 43 kasus dugaan korupsi yang telah terjadi di negeri Serambi Mekah.
Berbagai bentuk dan model kasus korupsi yang dilakukan, mulai dari indikasi Korupsi Pembebasan Lahan Lapangan Bola dan Lahan Puskesmas di Kabupaten Aceh Selatan yang merugikan negara senilai Rp 8.100.000.000,- melibatkan Mantan Bupati Aceh Selatan dan Anggota DPRK melaluisumber APBA dan APBK tahun 2009-2013 yang saat ini sedang ditangani oleh KPK, Dugaan Korupsi Bansos di daerah Gayo Lues yang merugikan negara senilai Rp22.000.000.000,- melibatkan Bupati Gayo Lues melaluisumber APBK 2013 saat ini sudah dilaporkan ke Polda Aceh melalui Erlin Tangjaya, Kasus dugaan tidak pidana korupsi bantuan Dana Mesjid di Kabupaten Bener Meriah yang merugikan negara senilai Rp 10.000.000.000,- melibatkan Bupati dan Wakil Bupati Bener Meriah melalui sumber APBK 2013 dan saat ini ditangani pihak Kejari Bener Meriah. Kemudian sampai pada kasus dugaan korupsi dana pemberdayaan Ekonomi masyarakat (BPR) pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sambee Meusampe Aceh Utara yang merugikan negara senilai Rp 20.000.000.000,-melibatkan Mantan Bupati Aceh Utara dan Mantan Direksi BPR bersumber dari APBK-P 2007 dan sedang di monitoring Media oleh GeRAK Aceh.
Data GeRAK diatas menunjukkan bahwa kondisi Propinsi Aceh sedang dalam keadaan darurat. Bukan lagi darurat Militer (DOM) yang diberlakukan ketika Presiden Megawati Soekarno Putri, tapi darurat moral dalam kasus penyimpangan, penggelapan, penyelewengan, atau lebih populernya dengan kata “Darurat Korupsi”. Dimana dari ke 43 data kasus dugaan korupsi di atas hanya beberapa kasus yang dimunculkan dalam tulisan ini. GeRAK Aceh menyebutkan kalkulasi indikasi kerugian negara sebesar Rp. 796.631.009.150,-. Namun, dari 43 kasus dugaan korupsi di Aceh, 7 diantaranya belum diketahui indikasi besarnya kerugian negara akibat penyelewengan uang negara tersebut.
Permintaan Din Minimi
Melihat data yang di ungkapankan GeRAK Aceh membuat bulu roma merinding. Mengapa tidak, daerah Aceh adalah penerima Anggaran yang sangat luar biasa besar. Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh pada tahun 2008 s.d. 2010 sebesar Rp 10,6 Triliun, dana otsus ini akan bergulir dari tahun 2008 s.d. 2027 mendatang dan nilai transfer ke Aceh juga setiap tahun terus bertambah, rata-rata Rp. 5 Triliun sampai Rp6 Triliun per tahun anggaran. Karena ditambah dengan dana otsus, mestinya lebih baik dari daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Terunggul, adalah kata yang mestinya disandang oleh Aceh karena memiliki anggaran yang fantastis untuk membantu terselenggaranya berbagai kebijakan yang mensejahterakan masyarakat Aceh.
Pembangunan fisik Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia di Aceh mestinya sudah merata sampai pelosok Aceh yang terdiri dari 24 Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh. Sehingga kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial tidak terjadi di negeri Serambi Mekah.Anggaran yang melayang Rp. 796.631.009.150,- atau bisa dikalkulasikan Rp 1 Triliun, karena masih adanya kasus dugaan korupsi yang belum terdeksi, berapa kerugian negara didalamnya. Penyunatan anggaran yang muncul kepermukaan ini hanya sebagian kecil dari kasus korupsi yang terjadi, sebagian besarnya masih bersembunyi di balik Jas dan Dasi warna pelangi.
Oleh karena itu, tidak dipungkiri munculnya teror seperti Nurdin Bin Ismail alias Din Minimi yang menuntut keadilan. Karena kesenjangan sosial yang berkepanjangan belum usai dilalui oleh anak nangroe. Mulai dari tahun 1962 ketika rezim Presiden Soekarno pada era orde lama, Presiden Soeharto era Orde baru 1998 sampai era reformasi zaman Presiden Baharuddin Jusuf Habibi hingga Presiden Joko Widodo. Kesenjangan daerah Aceh masih saja tercium bau yang menyengat di masyarakat.
Namun, pada tahun 2005 silam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menemukan solusi dinamika konflik yang berkepanjangan dengan negara Republik Indonesia (RI) yang di sebut dengan MoU Helsingki untuk perdamaian Aceh. Sehingga seluruh masyarakat Aceh dan Indonesia mengucapkan ”Amin” dari setiap kata semoga dalam isi perdamain tersebut. Sehingga masyarakat Aceh mengharapkan tidak adanya lagi kesenjangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh. Begitu juga dengan pemerintah Aceh tidak adanya lagi kesenjangan di antara masyarakat Aceh sendiri.
Tapi realita berkata tidak demikian, sehingga salah satu kelompok (Din Minimi) mengangangkat senjata kembali akibat  merasa haknya dan hak sekelilingnya telah dirampas dan tidak diperlakukan dengan adil. Tapi pada tanggal 28 Desember 2015 yang lalu, Kepala BIN Sutiyoso mampu membujuk kelompok Din Minimi turun gunung untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia khususnya pemerintah Aceh. Melalui berbagai bujukan dan rayuan oleh Sutiyoso atau biasa di sebut dengan Bang Yos, akhirnya kelompok Din Minimi bersedia untuk kembali dari medan pertempuaran.
Dengan demikian, Din Minimi mengajukan beberapa persyaratan untuk kembali dari perjuangannya untuk melawan kebijakan melalui pertempuran. Salah satu yang paling menarik adalah meminta KPK untuk turun seacara intensif ke Propinsi Aceh. Tujuannya untuk menuntaskan dan melacak keberadaan koruptor yang ada di Aceh. Bukan berlebihan, tapi memang Aceh perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal pengamanan uang negara. Sehingga penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme bisa teratasi. Harapannya, daerah Aceh tidak perlu mendapatkan Anugrah Award dari KPK sebagai daerah terkorup seluruh Indonesia.  Semoga

                                                                                                         ——— *** ———-

Tags: